Senin, 27 Juli 2015

Rumah Impian yang Nyaris Hilang

Ada sebuah rumah sederhana. Namun terselip mimpi dibalik kesederhanaan bangunannya. Pemiliknya, seorang wanita, bermimpi dapat menempati rumah itu bersama pria pujaannya. Dari jauh hari sebelumnya, sang pria dan wanita mengucap janji bersama. Pada bulan Maret tahun 2014, rumah itu akan ditempati oleh mereka. Ya, mereka berdua.


Maret 2014
Sang wanita datang ke rumah itu sambil menggenggam erat impiannya. Ia membuka pintu rumahnya, tapi tak menemukan sosok pria pujaannya. Mungkinkah pria itu melupakan janjinya?
Sang wanita pun memutuskan untuk berdiri di ambang pintu, membiarkan pintunya terbuka. Ia percaya pria pujaannya akan datang sesuai janjinya.
Benar saja. Pria pujaannya tiba. Kehadirannya sungguh mempesona. Sang wanita menyiapkan senyum terbaik untuk menyambutnya.
Namun sayang, pria pujaannya hanya melambaikan tangan dari sebrang jalan. Ia menyampaikan pesan bahwa ia masih memerlukan waktu untuk pulang, kurang lebih 6 bulan.
Sang wanita diminta untuk bersabar.

Kecewa? Mungkin iya.
Tapi sang wanita tetap percaya, akan tiba mimpinya menjadi nyata.


September 2014
Sang wanita masih berdiri di pintu yang sama, di rumah yang sama dan masih menanti orang yang sama.
Nggak usah ditanya bagaimana rasanya berdiri sekian lama.
Hingga waktu yang dinanti-nanti pun tiba.
Pria pujaannya datang. Ya, dia datang! Sang wanita senang karena pria pujaannya akan pulang.
Namun sayang...
Untuk kedua kalinya, pria pujaannya seolah hanya menyetorkan muka. Ia meminta sang wanita bersabar lagi untuk 6 bulan lamanya.
"Maaf, aku belum bisa pulang," katanya.

Apa daya, meski kecewa, sang wanita mencoba tetap memberikan senyumnya.
Berdoa, semoga pria pujaannya tetap menggenggam janji mereka.


Maret 2015
Sang wanita masih berdiri di pintu yang sama, di rumah yang sama dan masih menanti orang yang sama.
Kakinya seolah sudah mati rasa karena berdiri terlalu lama. Tapi jangan sampai remehkan hatinya.
Sang wanita masih mendamba kehadiran pria pujaannya, sebagaimana janji yang sempat diucapkan oleh mereka.
Meski waktu sudah tak lagi sama. tapi tak ada yang berubah dengan mimpinya.
Masih menanti pria pujaannya untuk menempati rumah itu bersama-sama.
Hingga pada akhirnya, pria pujaannya kembali menemuinya.
Ya ya ya, sama dengan sebelumnya, pria pujaannya hanya melambaikan tangan dari jauh dan berkata, "Maaf, masih bisakah aku meminta waktu lagi? Aku masih belum bisa pulang kali ini."

Apa yang terjadi?
Sang wanita tetap mencoba tersenyum dan menyemangati sebelum pria pujaannya itu pergi.
Meski sesungguhnya ia sudah tak dapat lagi merasakan nyerinya kaki karena terlalu lama berdiri.
Bahkan kali ini, sang wanita merasa ada bagian di hatinya yang lebih nyeri.
"Kalau sampai 6 bulan lagi kamu nggak juga kembali ke sini, mungkin waktunya aku yang akan pergi," ucap sang wanita penuh arti.


Juni 2015
Pria pujaannya datang.
Pria pujaannya pulang.
Sang wanita pun riang bukan kepalang.
"Aku nggak sia-sia menunggunya. Tiba waktunya mimpiku menjadi nyata. Terlebih lagi, kali ini hanya membutuhkan waktu 3 bulan menantinya, nggak seperti sebelumnya. Aku bahagia. Sangat bahagia!" ucapnya seraya bursyukur pada Sang Pencipta. Tak terasa, pipinya basah dengan air mata. Ya, air mata bahagia.

Penantian yang panjang, kini terbayar karena pria pujaannya telah datang.

Namun sayang...
Pria pujaannya datang bukan untuk yang dibayangkan.
Pria pujaannya hanya singgah, ia bukan pulang ke rumah.

"Maaf, aku hanya singgah. Tunggu aku 9 bulan lagi, bersedia kah?"

DEG!



Wanita : "9 bulan? Mungkin sebaiknya kamu nggak usah pulang."
Pria   : "Kenapa?"
Wanita : "Sesuai dengan ucapanku 3 bulan lalu, aku hanya akan memberikan waktu 6 bulan lagi untukmu. Aku takut sudah tak kuat lagi menunggu."
Pria   : "Aku sudah datang ke sini sekarang. Bahkan aku menyempatkan untuk singgah kan? Tidak bisa kah kamu menghargai usaha yang sudah aku lakukan?"
Wanita : "Menghargai? Tidak bisa kah kamu menghargaiku yang telah berdiri menunggumu di ambang pintu selama 15 bulan? Berdiri di pintu yang sama, berdiri untuk menanti orang yang sama, berdiri untuk waktu yang lama?"
Pria   : "Aku tidak memintamu untuk berdiri menungguku. Kalau lelah, kamu boleh duduk. Istirahatlah."
Wanita : "Entahlah. Aku berdiri karena aku terlalu antusias menunggu kedatanganmu. Tapi kalau kamu masih juga meminta waktu, aku takut kakiku akan menjadi lumpuh dan justru tak bisa menyambut kedatanganmu."
Pria   : "Kalau begitu, kamu tak perlu menyambutku. Aku yang akan menghampirimu."
Wanita : "Dengan keadaanku yang lumpuh, nantinya aku tak akan mampu merawat rumahku. Mungkin saja kelak ketika kamu pulang, rumah ini sudah akan dipenuhi dengan banyak sabang."
Pria   : "Kalau begitu, kita akan membersihkannya bersama-sama. Bukankah ini rumah kita?"
Wanita : "Tidak bisa. Aku sudah lumpuh."
Pria   : "Kalau begitu, biarkan aku saja sendiri yang membersihkannya. Sebagai caraku menebus kesalahanku."
Wanita : "Bisa saja karena aku sudah tak mampu lagi merawat diriku sendiri, kelak ketika kamu ke sini, kamu tak akan menemukanku lagi di rumah ini."
Pria   : "Berarti aku salah rumah. Selama tak ada kamu di dalamnya, itu bukan rumah yang aku punya."
Wanita : "Semakin lama menunggumu, aku menjadi ragu. Mungkin ini bukan mimpi kita. Aku yang terlalu jauh terlena. Ini hanyalah mimpiku. Mimpiku sendiri."
Pria   : "Hey! Kamu boleh memimpikannya, ijinkan aku yang mewujudkannya."

Pada akhirnya, sang wanita membiarkan pria pujaannya meninggalkan rumah itu untuk yang kesekian kalinya.
Akankah sang wanita sanggup untuk menunggunya?

Senin, 20 Juli 2015

Jodohmu Cerminan dari Dirimu



Ada seorang wanita. Usianya kira-kira dua tahun lebih tua. Hobinya adalah membaca buku dan menulis cerita. Perjalanan hidupnya membuatku semakin percaya akan cinta-Nya. Membuatku semakin percaya akan janji-Nya. Aku banyak belajar darinya tentang kegigihan dalam mencapai tujuan hidup, kepatuhan terhadap orang tua, serta ketakwaan terhadap Sang Pencipta.

Dia sudah memutuskan untuk berhijab sejak masih duduk di bangku SMP, yakni sekitar tahun 2003. Sepak terjang hijrahnya pun luar biasa. Aku bahkan tidak bisa mengingat kapan pernah melihat dia menggunakan celana jeans ketat sebagai paduan busananya. Dibandingkan denganku yang membutuhkan waktu berbulan-bulan, seolah-olah dia hanya memerlukan waktu beberapa jam untuk membulatkan tekadnya, membalut tubuhnya dengan busana syar'i sesuai perintah-Nya. Masya Allah... Semoga Allah selalu melindungi ia di jalan-Nya. Aamiin...

Dia juga seorang wanita yang begitu konsisten memegang prinsip 'tidak boleh berpacaran', sebagaimana agama kami mengajarkannya. Berbeda denganku yang sudah bergelut dalam 'dunia pacar-pacaran' ini sekian lama, dia justru bisa tetap tenang menggenggam prinsipnya tanpa tergoda. Luar biasa!

Pernah suatu ketika dia bercerita. Tentang seorang pria yang sedang berusaha mendekatinya. Tapi pria itu sama sekali tak berhasil menarik simpatinya. Aku masih sangat ingat ekspresi bencinya ketika menceritakan betapa pria itu menyebalkan di matanya. Ketika pria itu justru beberapa kali mencoba untuk menyentuhnya, seolah ingin membelai lembut kepala dalam balutan hijab syar'i yang dikenakannya.

"Pria itu aku rasa memiliki sayap di tangannya. Tangannya tidak bisa diam! Mencuri-curi kesempatan untuk memegang tanganku, atau mengusap kepalaku. Betapa menyebalkannya dia!" ceritanya padaku di satu kesempatan.

Kesungguhannya menjaga kehormatan membuatku salut padanya. Bahkan sekedar tersentuh pun ia tak rela. Masya Allah... betapa mahalnya dia!

Hingga di satu titik, muncul kekhawatiran di dalam diri orang tuanya, "Kalau ia seperti ini, apakah mungkin ia akan mendapatkan jodoh? Bahkan keluar rumah pun hanya sebatas berangkat dan pulang kerja."

Kekhawatiran itu sempat menimbulkan semacam paksaan dari pihak orang tua, untuk menerima 'si pria dengan tangan bersayap' yang mendekatinya. Tapi ia tetap tidak bisa. Hatinya tidak terbuka.

Pada suatu hari, hadir seorang pria lain yang dikenalkan oleh tantenya. Pria yang terlihat lebih mapan dan dewasa. Pria yang sepertinya memiliki prinsip yang sama dengan dirinya. Beberapa kali bertatap muka, bahkan sempat pergi bersama-sama menghadiri suatu acara keluarga. Sempat ada perbincangan ringan mengenai rencana ke jenjang berikutnya. Hingga pada akhirnya, pria itu menghilang tanpa berita.

"Dia tidak ada kabar. Terakhir dia bilang ada urusan pekerjaan yang membutuhkan waktu agak lama. Tapi sampai saat ini dia tak kunjung datang," begitu ceritanya.
Ada luka di hatinya.

"Mungkin nggak ya ini karma karena menolak pria sebelumnya?" ucap orang tuanya. Terlihat sekali semakin tebal kekhawatiran yang menyelimuti mereka.

Kemudian, seolah ingin menepis semua ke-sok-tahu-an manusia, Sang Pembuat Skenario Kehidupan menunjukkan jalan-Nya. Sebuah perkenalan sederhana dengan pria yang sepantaran dengannya, melalui perantara seorang sahabat di lain kota. Sebuah perkenalan sederhana yang menuntun pada proses pendekatan di antara mereka. Semua berjalan perlahan tanpa tergesa-gesa.


Siapa yang menyangka bahwa pria itulah jodohnya? Ya, pria itu jodohnya.
Beberapa bulan yang lalu mereka menjadi pasangan yang sah atas restu-Nya. Masya Allah... Betapa cantik rencana-Nya.

Di awal mula perkenalan mereka, yang kutahu, pria itu hampir sama dengan kebanyakan pria lainnya. Di satu kesempatan, pria itu sempat 'megajak' untuk berpacaran seperti pasangan-pasangan pada umumnya. Tapi dia tetap konsisten pada prinsipnya. Dia menantang pria itu untuk melamarnya saja jika memang serius padanya.

Selang beberapa waktu setelah itu, pria itu datang bersama keluarga besarnya. Kemudian merencanakan proses pernikahan mereka. Bagian yang lebih luar biasanya adalah ketika mengetahui bahwa pria itu justru sudah menjadi jauh lebih islami dari sebelumnya. Masya Allah...

Pria itu begitu menjaga kehormatan dirinya, dengan tidak bersentuhan dengan lawan jenis, meskipun dengan iparnya.
Pria itu begitu menjaga pandangannya, dengan memilih tidak masuk ke rumah saat ia tahu iparnya sedang tidak memakai kerudung di dalam sana.
Pria itu begitu menjaga cinta-Nya, dengan konsisten memenuhi panggilan 5 waktu secara berjamaah di Masjid dekat rumahnya.
Pria itu begitu menjaga kehormatan istrinya, dengan memperhatikan busana yang istrinya kenakan setiap kali akan keluar rumah, memastikan istrinya telah menutup auratnya dengan sempurna.

Allahu Akbar! 

Aku kurang lebih mengetahui bagaimana proses yang mereka alami, dari mulai perkenalan, lamaran, hingga mensahkan hubungan mereka atas restu-Nya.

Haru dan bahagia,
melihat bagaimana yang semula mereka bahkan tak pernah berani saling bertatap mata terlalu lama, kini bisa saling bertatap mata sepanjang waktu yang mereka punya, atas restu-Nya.

Haru dan bahagia,
melihat bagaimana yang semula mereka bahkan tak pernah berani saling bersentuhan, kini bisa saling bergenggaman tangan, atas restu-Nya.

Haru dan bahagia,
melihat bagaimana yang semula mereka bahkan tak pernah berani berdekatan terlalu lama, kini bisa berjalan saling berangkulan tanpa perlu takut akan dosa, atas restu-Nya.

 "Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, begitu pula sebaliknya".
Begitulah salah satu janji-Nya...

Kini aku semakin percaya.
Tak akan pernah habis cara-Nya dalam mempersatukan wanita yang menjaga kehormatannya, dengan lelaki yang menjaga imannya.
Semoga mereka selalu dalam lindungan-Nya dan selalu bahagia dalam berkah dan ridho-Nya. Aamiin...

***
Oh iya, di satu kesempatan aku pernah ke Masjid bersama mereka. Setelah selesai shalat berjamaah, aku melihat pria itu asik berbincang-bincang dengan beberapa pria lain yang juga baru selesai shalat berjamaah di sana. Masya Allah... Sejuk sekali rasanya memperhatikan mereka. Bangganya dia mendapatkan seorang suami yang ahli Masjid seperti pria itu.

Sempat terbersit, "Ya Allah, aku mau satu saja yang seperti itu. Boleh kah?"

Tapi sesaat setelah itu rasanya aku ingin menampar diriku sendiri.
'Ah, sudah sebaik apa agama aku? Sudah sekuat apa usahaku dalam menjaga kehormatanku? Pantas kah aku untuk lelaki seperti itu? Mimpi!'