Namanya Hatra. Aku pertama kali melihatnya ketika aku sedang menjemur pakaian di teras rumah. Dia melintas dan tatapan kami saling beradu sekilas. Kemudian dia sempat mencuri waktu untuk tersenyum ke arahku. Seolah sengaja ingin meninggalkan kesan di benakku kala itu.
'Siapa ya? Kok baru liat? Ah, paling cuma kebetulan lagi nongkrong bareng anak-anak lain di tongkrongan dekat sini.' gumamku. Aku bahkan tidak terpikir untuk segera membalas senyumnya.
***
Beberapa hari kemudian aku tau kalau dia adalah tetangga baru tepat di sebrang rumahku. Ya, tepat di sebrang. Dan balkon di lantai dua masing-masing rumah kami menjadi saksi semakin seringnya kami saling mencuri pandang.
Seringkali Hatra membiarkan pintu teras atasnya terbuka, kemudian duduk sambil bermain gitar di sana atau bahkan hanya sekedar untuk bersantai sambil menikmati cemilannya. Ah, dia sengaja! Sengaja supaya aku melihatnya. Dan sialnya, aku memang sering memerhatikannya dari balik jendela. Aku suka.
Sesekali aku pun membuka jendela kamar dan memutar musik dengan volume yang cukup kencang. Ya, aku juga sengaja. Sekedar ingin memberitahu Hatra kalau aku ada.
Di pagi hari, biasanya Hatra akan agak berteriak ketika menyapa teman yang menjemputnya ke rumah. Kemudian mereka akan berdiri berlama-lama di depan rumah sebelum berangkat ke sekolah. Lagi dan lagi seperti disengaja. Seperti sebuah cara menyampaikan pamit ala Hatra. Ah, aku bahkan mulai hafal dengan suaranya! Kemudian aku, dengan seragam putih-biruku, akan segera berlari menuju jendela dan diam-diam memandangi Hatra, dengan seragam putih-hitamnya. Lagi dan lagi aku suka.
Begitulah. Hal-hal seperti itu seolah menjadi cara kami untuk saling berkomunikasi. Hhmm, mungkin lebih tepatnya untuk saling menunjukkan eksistensi.
Pernah di satu kesempatan kami berpapasan. Setelah saling beradu pandang dan bertukar senyuman, untuk pertama kalinya Hatra memulai percakapan.
"Hai! Kenalin, gue Hatra." katanya.
"Iya, gue udah tau kok." timpalku santai.
"Gue juga udah tau nama lo Deya."
"Ya udah, berarti nggak perlu kenalan kan?" kataku meledeknya.
"Ya biar berasa resmi aja sih." jawabnya mulai kikuk.
"Oke." kataku. Kemudian kami berjabat tangan sambil mengucapkan nama masing-masing, selayaknya orang yang berkenalan.
***
Berhari-hari berlalu setelah pertemuan itu. Tapi tidak banyak yang berubah. Kami masih menjaga tradisi komunikasi ala kami.
Hingga di suatu sore, ketika aku memilih untuk bersantai di balkon lantai dua rumahku, ternyata Hatra pun melakukan hal yang sama di lantai dua rumahnya. Kami bisa saling melihat dengan begitu jelas. Saat itu hanya hujan yang menjadi tirai diantara kami. Tirai pemanis, tolong catat, bukan tirai penghalang. Hujan pun membuat jalanan di depan rumah kami sepi karena tidak ada yang berlalu lalang. Untuk beberapa saat, hanya ada aku, Hatra dan Hujan. Manis.
"Deya!" suara Hatra mengejutkanku. Aku menoleh ke arahnya tanpa mengucap satu kata pun. "Mau nggak jadi pacar gue?" tanyanya. Dia melafalkan kalimat itu dengan sangat jelas. Tentu saja agak berteriak karena kami sedang bersebrangan, bukan bersebelahan. Mungkin anggota keluarga di dalam rumahnya pun bisa dengar. Tapi aku berharap anggota keluarga di dalam rumahku tidak!
Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Di sebrang sana, Hatra mencoba tetap so(k) cool, meski ternyata ekspresi bahagianya urung sembunyi. Lucu sekali! Dan aku mengakui, aku memang sudah jatuh hati.
***
Hari-hari setelah itu tidak pernah menjadi kelabu untukku. Hatra sangat baik. Bahkan bisa dibilang terlalu baik!
Jangan bayangkan aku dan Hatra adalah sepasang remaja yang kemana-mana selalu berdua. Jangan! Karena nyatanya Hatra lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya dibandingkan denganku. Begitu pun aku.
Hatra lebih sering di rumah Maul, teman sekaligus tetangga kami. Orang tua Maul membuka usaha rental PS di rumahnya. Jadi, di sanalah Hatra dan anak-anak laki lainnya senang berkumpul.
Sedangkan aku lebih sering di rumah Ria, yang juga teman sekaligus tetangga kami. Orang tua Ria membuka usaha warung makanan ringan dan menjual minuman jus di rumahnya. Jadi, di sanalah aku dan anak-anak perempuan lainnya senang berkumpul.
Begitulah.
Kami memiliki tempat berkumpul bersama teman kami masing-masing. Ya walaupun sebenarnya Ria dan anak-anak perempuan lainnya adalah teman Hatra juga. Begitu pun dengan Maul dan anak-anak laki lainnya. Mereka temanku juga. Kami semua kan bertetangga. Hanya beda tongkrongan saja. Tapi sesekali kami juga nongkrong bersama-sama karena terkadang Hatra, Maul dan kawan-kawan lainnya suka ke rumah Ria.
***
Meski aku dan Hatra tidak melulu ketemu, Hatra selalu saja tau tentang aku. Entahlah, mungkin dapat informasi dari teman-temanku. Didukung dengan usianya yang dua tahun lebih tua, terkadang aku justru merasa lebih seperti adiknya ketimbang pacarnya. Tapi aku suka. Usahanya untuk selalu menjagaku sangat luar biasa.
Pernah suatu hari, ketika aku sedang berkumpul di rumah Ria, aku mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Riko, salah satu remaja sepantaranku yang tinggal di dekat rumah Ria, lewat dan secara sengaja menyenggol bagian bokongku dengan tangannya. Aku kaget! Tentu saja aku tidak terima!
"Heh! Kurang ajar!" teriakku ke arah Riko. Tapi Riko sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Dia justru menoleh ke arahku dan melemparkan senyum kepuasan. Sakit! Ingin rasanya aku menyumpah serapah, tapi aku teringat bahwa Riko adalah seorang anak tanpa Ayah. 'Ah, apa untungnya aku membalas dengan kata? Ditujukkan kepada anak yatim pula!' Kemudian yang terjadi, aku hanya bisa menangis. Menangisi diri sendiri. Menangisi bentuk pelecehan yang baru saja aku alami. Teman-temanku, termasuk Ria, sibuk menenangkanku setelahnya. Tanpa Hatra.
***
"Kamu lagi dimana? Aku di rumah Ria. Mau ke sini nggak?"
sebuah pesan singkat masuk dari Hatra. Kabar itu sudah sampai ke telinga dia rupanya.
Tanpa membalas pesannya, aku bersiap-siap keluar rumah. Aku bilang pada Mama kalau aku ingin ke rumah Ria. Tentu saja aku tidak bilang akan menemui Hatra. Orang tuaku bisa murka! Tidak ada pacar-pacaran dalam kamus mereka. Itu sebabnya aku tidak pernah bercerita tentang Hatra.
Sesampainya di rumah Ria, Hatra menyambutku dengan senyumnya. Dia mencubit pipi tembamku dan berkata, "Mata sembabnya udah mau ngalahin pipi tuh!" Aku pun refleks tersenyum.
Setelah itu dia mengajakku untuk duduk di depan rumah Ria. Bertiga dengan Ria juga. Kami membicarakan tentang banyak hal dan banyak tertawa. Termasuk membicarakan tentang rencana pendidikanku selanjutnya. Memilih antara seragam putih-abu seperti kakakku, atau seragam putih-hitam seperti Hatra dan Ria. Ah, tentang kekurangajaran Riko pun aku sampai lupa dibuatnya!
Begitulah, Hatra. Jangan harapkan dia akan datangi Riko kemudian melakukan adu jotos di luar sana. Hatra akan lebih memilih untuk bertemu denganku dan membuatku lupa tentang luka itu. Begitulah cara Hatra menjagaku. Walaupun aku tau, setelah itu hubungan Riko dan Hatra menjadi tidak sebaik sebelumnya. Ada jarak diantara mereka.
***
Hatra itu manis. Belakangan aku tau bahwa dia seringkali menanyakan pada Ria tentang aku. Bahkan untuk sekedar memastikan aku sudah pulang dari rumah Ria sebelum jam 09.00 malam. Hatra juga pernah datang ke sekolahku di jam pulang sekolah hanya untuk menyapa dan menyampaikan agar aku hati-hati di jalan. Ya, hanya untuk itu! Tentu saja karena Hatra sudah tau kalau aku tidak akan bisa pulang bersamanya. Hatra tau aku harus ikut mobil-antar-jemput-sekolah, yang memang sudah sejak aku SD seperti itulah peraturannya. Lagi dan lagi, cara Hatra melindungiku begitu manis.
***
Menjelang dua tahun usia hubungan kami, Hatra menyampaikan bahwa dia dan keluarganya harus pindah ke Magelang. Dia harus meninggalkan Jakarta. Itu artinya aku dan Hatra tidak lagi bertetangga. Tentu saja aku tidak bisa melarang. Sedih memang karena akhirnya kami harus LDR-an.
Beberapa hari sebelum Hatra berangkat ke Magelang, aku berpapasan dengan Maminya Hatra di depan rumah. Setelah saling berbalas senyum, Maminya Hatra merangkulku dan berkata, "Maaf ya Deya, kami harus pindah dari Jakarta. Kamu sama Hatra akan baik-baik aja kan?"
"Mudah-mudahan, Mi." jawabku meyakinkan. Ya, aku memang sudah terbiasa memanggil Maminya Hatra dengan sebutan Mami juga, sama seperti Hatra.
"Mampir ke rumah, yuk! Ada Hatra tuh di dalam." ajak Mami.
"Iya, Mi. Aku lagi mau ke rumah Ria. Nanti main deh ke rumah Mami. Aku ajak Ria juga boleh kan, Mi?" tanyaku.
"Boleh, dong! Ditunggu, ya!" jawab Mami. Kemudian aku pamit dan bergegas ke rumah Ria.
Begitulah Mami. Beliau selalu terbuka dan menerimaku dengan sangat ramah. Mami sudah tau dari dulu tentang hubunganku dengan Hatra. Beliau seperti memaklumi dunia anak remaja. Gaul sekali! Berbeda dengan orang tuaku yang tidak menoleransi soal itu.
Meski Mami selalu terbuka dan membebaskanku untuk bermain di rumahnya, tapi aku selalu saja mengajak komplotan kalau mau datang ke sana. Aku tidak pernah mau datang sendirian ke rumah Hatra. Entahlah, seperti akan canggung saja rasanya. Jadi aku selalu mengajak Ria, Maul dan beberapa teman lainnya ketika bermain ke sana.
***
Hubungan jarak jauh Jakarta-Magelang antara aku dan Hatra ternyata tidak berumur panjang. Bukan, bukan karena Hatra melakukan hal yang macam-macam di sana. Tapi karena aku yang memang tidak bisa. Rasanya aneh jauh dari Hatra.
Setelah kepindahannya, selama apa pun aku berdiri di balik jendela, aku tidak lagi bisa melihat sosok Hatra. Meski Hatra tetap menjaga dan memantauku melalui Maul dan Ria, tapi tetap saja rasanya berbeda. Aku kehilangan.
Hingga di satu hari, aku menyampaikan kepada Hatra melalui pesan singkat bahwa aku ingin kami berteman saja. Aku ungkapkan semua hal yang aku rasa berbeda sejak kepindahannya. Kemudian Hatra mencoba meyakinkanku untuk memikirkan lagi keputusan itu. Tapi aku tetap bersikeras dengan egoku.
Esok harinya, Ria datang ke rumahku dan mengajakku ke luar rumah. Aku menurut saja tanpa ada firasat apa-apa. Dari kejauhan, aku melihat Maul dan beberapa teman lainnya sedang berkumpul. Aku pikir Ria hanya ingin mengajakku berkumpul bersama yang lainnya seperti biasa. Hingga kemudian aku menyadari bahwa ada Hatra di tengah-tengah mereka. Ya, ternyata Hatra ada di Jakarta.
Aku, Ria, Maul, Hatra dan beberapa teman lainnya berkumpul bersama. Kami bercanda dan tertawa. Semua terlihat baik-baik saja. Aku rasa tidak ada teman-teman yang menyadari bahwa sebenarnya aku dan Hatra sudah tidak lagi bersama. Mungkin Hatra memang belum cerita.
Euforia kedatangan Hatra jelas sekali terasa. Aku pun menyadari bahwa ternyata bukan cuma aku yang merindukan Hatra, tapi teman-teman yang lain pun juga.
"Eh, gue ijin bentar ya, mau ngomong berdua sama Deya!" kata Hatra tiba-tiba seraya pamit ke teman-teman yang lainnya. Aku tidak menyangka, tapi mencoba untuk merespon sewajarnya. Teman-teman yang lain mengerti dan memberikan waktu untuk kami berdua.
Aku dan Hatra menjauh dari kerumunan itu beberapa langkah. Dan untuk beberapa saat kami cuma saling diam dan beradu tatap sebelum akhirnya Hatra membuka kalimat,
"Dey, aku salah apa?" tanya Hatra.
"Nggak. Kamu nggak salah apa-apa. Aku cuma nggak bisa aja." kataku. Ah, berat sekali rasanya melihat ekspresi Hatra kala itu.
"Tapi aku yang nggak bisa kalau harus kayak gini." ucap Hatra mencoba membujuk. Sayangnya percakapan di antara kami tidak menunjukkan tanda-tanda akan rujuk. Kusut.
Jangan salahkan Hatra. Dia sama sekali tidak bersalah. Bahkan selama aku menjalani hubungan dengannya, mengecewakan aku pun dia tidak pernah. Apalagi masalah orang ketiga. Tidak! Tidak ada yang perlu diragukan dari kesetiaan seorang Hatra. Dia baik. Bahkan mungkin terlalu baik! Hanya saja aku tetap bersikeras dengan egoku. Aku tidak bisa tanpa sosoknya di dekatku.
Aku pamit pada Hatra dan bergegas pulang ke rumah. Aku tidak kembali berkumpul dengan teman-teman yang lainnya karena mood-ku sedang kurang bagus rasanya. Beberapa saat kemudian, Maul dan Ria datang dan mengajakku mengobrol di teras rumah. Sepertinya Hatra sudah cerita tentang keadaan hubungan kami yang sebenarnya.
"Dey, lo serius?" tembak Ria dengan pertanyaannya. Aku hanya diam.
"Nggak mau coba dipikirin lagi, Dey? Itu Hatra sampe bela-belain ke Jakarta lho!" kata Maul mengompori.
"Iya ih, kurang sayang apa lagi coba dia! Masih kurang bukti?" kata Ria terlihat mulai emosi. Tapi aku tetap memeluk egoku. Angkuh.
***
Empat tahun berlalu sejak hubunganku dan Hatra kandas karena egoku. Aku sedang sibuk dengan dunia mahasiswa, sedangkan Hatra sibuk bekerja di salah satu hotel di Jakarta. Ya, Hatra bekerja di Jakarta. Rupanya sudah satu tahun belakangan, dia dan keluarganya tidak lagi di Magelang. Mereka tinggal di Bekasi. Jadi, Hatra pulang pergi Jakarta-Bekasi setiap hari.
Komunikasiku dengan Hatra kembali membaik. Begitu pula komunikasiku dengan Maminya. Hatra beberapa kali mampir ke lingkungan tempat tinggalku, untuk sekedar menjalin silaturahmi dengan teman-teman nongkrongnya dulu. Bahkan, Hatra pernah juga bertamu ke rumahku. Ya, aku sudah mulai berani terbuka pada orang tuaku. Toh, aku dan Hatra tidak berpacaran. Orang tuaku pun menganggap Hatra hanya seorang tetangga lama yang sekedar ingin berkunjung ke rumah.
Hatra tidak berubah. Meski aku bukan lagi pacarnya, tapi Hatra tetap saja peduli dan melindungiku dengan caranya. Hatra selalu cerewet menasehatiku tentang bahaya pergaulan di Jakarta. Sampai kenyang aku dibuatnya karena dijejali dengan kata-kata, "Dey, kamu kalau bergaul jangan aneh-aneh! Pilih temen yang bener ya! Apalagi dunia mahasiswa," dan bla bla bla. Rasanya sudah berulang kali dia mengucapkannya. Tapi aku suka. Aku suka karena masih dipedulikan oleh Hatra.
Hatra juga tidak bosan-bosan menanyakan padaku tentang siapa lelaki yang menjadi pacarku. Hatra selalu ingin tau lelaki itu serius menyayangi dan bisa melindungi aku atau tidak. Jangan bayangkan Hatra seperti lelaki over-protective yang mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Karena sama sekali tidak seperti itu! Hatra menanyakan dengan sangat lembut. Terasa sekali dia hanya ingin memastikan bahwa aku tidak akan dikecewakan atau disia-siakan. Ah, Hatra. Dia tetap saja terlalu baik.
"Mami nyuruh kamu main ke rumah di Bekasi." kata Hatra di satu kesempatan.
"Oh. Iya, nanti aku coba atur waktunya." jawabku menimpali.
"Kalau emang kamu mau main ke sana, bilang aja. Nanti aku jemput."
"Oke." jawabku sekedarnya. Padahal sebenarnya aku antusias sekali ingin main ke sana. Aku rindu sama Maminya Hatra. Diam-diam aku pun menyusun rencana untuk mengajak Ria.
***
Hingga di satu hari, aku, Ria dan beberapa teman lain sepakat untuk berkunjung ke rumah Hatra di Bekasi. Kami juga mengajak Tante Nana, sahabat Mami waktu masih tinggal di dekat rumahku dulu. Kami berangkat naik kereta menuju Stasiun Bekasi. Kemudian kami menyambung dengan angkot berwarna merah menuju Babelan. Sesampainya di titik lokasi yang sesuai dengan arahan, kami turun dari angkot dan berjalan kaki menuju sebuah perumahan. Di depan perumahan itulah kami dijemput oleh Hatra dan Maminya. Kemudian kami berjalan kaki bersama-sama menuju rumah Hatra.
Di pertengahan jalan, ada yang menghampiri kami dengan mengendarai motor Honda CBR 150R berwarna merah. Ternyata itu kak Denis, kakaknya Hatra. Kemudian kak Denis turun dan gantian Hatra yang siap mengendarai motornya.
"Yuk, Dey!" ajak Hatra. Aku kaget dan bingung. Merasa tidak enak kalau aku harus naik motor dengan Hatra, sedangkan yang lainnya berjalan kaki.
"Mikirin apa, Dey? Sama Hatra gih, biar bisa nyampe duluan. Ada Papi kok di rumah." kata Mami seolah bisa membaca pikiranku. Mami pun seperti paham kalau aku tidak akan mau di rumah berduaan saja dengan Hatra.
"Aku nggak enak, Mi. Masa' aku naik motor, sedangkan Mami jalan kaki." jawabku agak kikuk.
"Nggak apa-apa, sayang. Mami sekalian mau ngobrol nih sama Tante Nana. Kan udah lama nggak ketemu" kata Mami menimpali.
"Udah Dey, nggak apa-apa. Lo sama Hatra aja, gih!" Ria pun tidak mau kalah mengompori. Akhirnya aku pun menurut.
Setelah semua rombongan tiba di rumah Hatra, kami mengobrol dan makan bersama. Kami bercanda, tertawa, juga nostalgia. Seru sekali! Ba'da ashar kami pun pamit pulang ke Jakarta. Sebelum berangkat, Mami memelukku erat sekali. Hangat. Ah, ternyata tidak cuma Hatra yang tidak berubah, tapi seluruh keluarganya juga. Mereka tetap hangat, ramah dan terbuka.
***
Itu mungkin adalah pengalaman pertamaku bertemu lagi dengan keluarga Hatra setelah sekian tahun tidak bertatap muka. Lebih tepatnya, setelah hubunganku dan Hatra berakhir. Tapi itu bukanlah pengalaman terakhir. Aku pernah berkunjung lagi ke rumah Hatra setelahnya. Tapi tidak dengan Ria ataupun Tante Nana.
Saat itu aku sedang bermain di rumah Tia, teman kuliahku. Kebetulan rumahnya di Bekasi juga, tepatnya di Perumnas III. Aku bermain di rumah Tia bersama dua orang teman kuliahku yang lain, namanya Chacha dan Ana.
Ketika aku menceritakan tentang Hatra, Chacha pun jahil menantangku untuk datang ke sana karena ternyata jarak rumah Tia cukup dekat dengan rumah Hatra di Karang Satria. Aku pun menyanggupi dengan catatan mereka mau ikut pergi bersamaku. Lagipula saat itu sedang jam kerjanya Hatra. Jadi, kupikir kami hanya akan bertemu dengan Maminya saja.
Akhirnya aku, Chacha, Ana dan Tia main ke rumah Hatra. Di sana kami mendapat sambutan hangat dari Maminya Hatra seperti biasa. Kami mengobrol di ruang tamu sambil kuperkenalkan teman-temanku satu per satu. Chacha yang paling klop mengobrol dengan Mami. Mereka berdua heboh sekali! Tidak heran sih, karena Chacha memang yang paling supel diantara kami.
"Kamu main ke sini kok kayak orang tau, Dey. Feeling ya?" tanya Mami padaku disela-sela obrolan.
"Maksud Mami?" aku justru balik bertanya.
"Hatra ada di kamar tuh!" jelas Mami.
"Loh, dia nggak kerja, Mi?" tanyaku. Kaget karena ternyata aku salah prediksi.
"Dia baru keluar dari Rumah Sakit kemarin. Jadi hari ini masih perlu istirahat." jawaban Mami membuatku jauh lebih kaget.
"Hatra sakit? Sakit apa, Mi?" tanyaku agak memburu. Aku sama sekali tidak tau kabar itu.
"Sakit Typus. Dia ngelarang Mami kasih tau ke kamu. Masuk aja ke kamarnya kalau kamu mau ketemu. Kamarnya ada di sebelah kiri ruang makan." kata Mami. Begitulah, Mami tidak berubah. Selalu saja percaya pada anak remajanya. Membiarkan aku masuk ke kamar Hatra seolah bukanlah sesuatu hal yang salah. Padahal itu adalah hal yang tabu bagiku dan keluargaku.
Meski sempat ragu, tapi akhirnya aku pun menuju ke kamar Hatra. Aku membuka pintu kamarnya dan mendapati Hatra sedang berbaring lemah sambil mencoba tersenyum ke arahku. Seolah dia memang sudah menungguku untuk masuk ke kamar itu. Mungkin dia sudah mendengar suaraku yang ber-haha-hihi di luar sana sedari tadi. Ah, sedih sekali melihat Hatra yang pucat di atas tempat tidurnya. Hatra yang berbeda dari biasanya.
"Kamu sama siapa ke sini?" tanya Hatra mendahului aku yang khawatir tentang keadaannya.
"Sama temen-temen kuliahku. Kebetulan rumah temenku di Perumnas III, jadi sekalian main ke sini."
"Oh. Kamu naik apa?" tanya Hatra lagi. Sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk menanyakan tentang dirinya sendiri.
"Aku naik motor tadi konvoi dari kampus. Tiga orang temenku ini semuanya orang Bekasi yang kuliah di Jakarta. Masa' mereka terus sih yang main di Jakarta. Aku juga kan mau sekali-kali main ke Bekasi." jelasku.
"Kamu bawa motor sendiri ke sini?!" tanya Hatra dengan nada yang agak meninggi. Aku pun mengangguk. "Dey, ini jauh lho!" lanjutnya dengan nada yang tidak kalah tinggi.
"Iya. Sekali-kali. Biar punya pengalaman." jawabku sambil cengengesan.
"Tadi lewatnya mana? Pulangnya jangan lewat Pulo Gadung, ya! Mobilnya besar-besar yang lalu lalang di sana. Ngeri!" pesan Hatra. Jelas sekali ekspresi khawatir di wajahnya.
"Iya." jawabku singkat. Kemudian kami saling terdiam. Aku pun mulai salah tingkah.
"Ngobrol di luar, yuk! Aku tau kamu nggak nyaman berduaan di kamar." ajak Hatra. Ah, dia selalu tau bagaimana aku. Aku pun menurut. Kami menuju ruang makan, kemudian mengobrol berdua di sana. Memang tetap berdua sih, tapi Mami, Chacha, dan yang lainnya bisa melihat kami dari ruang tamu. Tidak seperti di dalam kamar.
Ketika waktu sore tiba, aku dan teman-temanku pun pamit pulang. Aku mengenalkan teman-temanku kepada Hatra seraya pamitan. Kemudian Mami dan Hatra mengantar kami sampai pintu gerbang. Saat aku bersiap menyalakan mesin motorku, Hatra menarik tanganku dan bilang, "Kamu pulangnya aku anter aja, ya!"
"Jangan! Kamu kan masih sakit." jawabku menolak. Mana tega aku membiarkan Hatra mengantarku sampai Jakarta.
"Nggak apa-apa. Aku khawatir kamu pulang sendirian." kata Hatra.
"Tenang aja, aku bisa kok!" aku mencoba meyakinkan Hatra. Dia pun pasrah dan mencoba percaya.
"Kamu hati-hati, ya! Maaf aku nggak nganter kamu. Kabarin kalau udah di rumah." pesan Hatra.
"Iya. Kamu cepet sembuh ya!" timpalku sambil mengacak-acak rambutnya. Hatra pun mencoba menyunggingkan senyum di wajah pucatnya.
"Tenang aja, Tra! Gue anterin Deya kok sampe arah Mall Metropolitan. Nanti dari situ dia udah gampang." kata Icha mencoba ikut meyakinkan Hatra.
"Oke. Thanks ya, Cha!" jawab Hatra.
***
Setelah itu, aku tidak pernah lagi melihat Hatra. Kami memang masih berkomunikasi melalui pesan singkat untuk beberapa waktu setelahnya. Tapi tidak lagi intens seperti sebelumnya.
Hatra pernah menghubungiku dan mengharapkan bantuanku. Dia akan menikah dengan seorang wanita pilihannya. Tapi sayangnya, Mami tidak menyetujui keputusannya. Bahkan kabarnya, Mami sampai mengurung dirinya di kamar dan tidak mau keluar. Mami tidak mau makan. Hatra meminta tolong padaku untuk datang ke rumahnya dan membujuk Mami. Menurut Hatra, hanya aku yang bisa melakukan ini. Tapi aku tidak menyanggupi. Aku tidak ingin ikut campur terlalu jauh dalam urusan keluarganya. Tidak sampai hati rasanya.
Hingga kemudian aku dan Hatra tidak pernah lagi bicara, apalagi bertatap muka. Terakhir yang kuingat, Hatra mendoakan kelak aku akan mendapatkan lelaki yang baik, yang bisa menyayangi dan menjagaku melebihi dirinya, yang tidak hanya peduli padaku tapi juga kepada keluargaku. Aku pun meng-aamiin-kannya.
***
"Deya, ya? Masih inget gue?"
sebuah pesan masuk di media sosial Facebook. Dari Nino, sepupunya Hatra yang dulu menemani Hatra saat meluncur dari Magelang ke Jakarta.
"Iya, masih." jawabku.
"Gimana kabar?" tanya Nino.
"Baik. Lo gimana?" kataku, balik bertanya.
"Baik juga."
* Deya is typing... *
saat itu, aku mengetik satu kalimat tanya. Tapi rasanya harus berpikir berulang-kali untuk mengklik tombol kirimnya. Hingga akhirnya aku pun mantap mengirimkannya kepada Nino.
"Hatra apa kabar, No?" tanyaku. Satu kalimat tanya yang singkat, namun terasa mencekat.
* Nino is typing... *
Deg deg deg! Entah bagaimana rasanya saat itu. Antara takut dan penasaran bercampur aduk.
"Baik. Bulan kemarin baru banget nikah. Emang lo nggak diundang?" jelas Nino.
"Oh. Enggak, No. Hatra nggak bilang. :)" balasku. Lega. Setidaknya aku tidak lagi bertanya-tanya.
***
Hai, Hatra!
Kalau kamu baca ini, aku cuma mau bilang,
Aku (juga) udah nikah sekarang.
Tenang aja, aku nikah sama pria yang baik, insya Allah. Mungkin doa kamu yang waktu itu diijabah sama Allah.
Makasih ya udah nunjukkin ke aku bahwa disayangi sepenuh hati ternyata seindah itu. Dan lewat kamu, aku jadi tau kalau ternyata tulus itu nggak cuma gombalan semu.
Semoga Allah selalu melindungi kamu dan keluargamu.
-Deya-