Cuaca cerah menyapa semesta di hari Minggu siang, saat seharusnya sudah memasuki musim hujan. Aku mencari posisi di sebuah sofa cokelat di ruang televisi. Tangan kananku tenggelam ke dalam toples yang berisi keripik talas, berusaha menemukan potongan keripik yang diselimuti bumbu barbeque paling tebal. Sedangkan tangan kiriku menggenggam erat remote TV, bersiap mengganti saluran acara kalau tiba-tiba sosok penampakannya muncul di layar kaca. Ya, selain keripik talas, siang itu aku memilih untuk melahap film horror yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi dalam negeri.
Tok tok tok. "Assalamualaikum." terdengar suara dari arah pintu ruang tamu yang terbuka. Aku berjalan santai menghampiri sumber suara.
"Waalaikumsalam." sambutku sambil mengamati tiga orang yang berdiri di ambang pintu. Seorang bapak penuh wibawa dan terlihat sangat bijaksana, seorang ibu berparas cantik dengan hijab syar'i membalut tubuhnya, serta seorang pemuda yang manis dengan lesung pipi mendampingi senyumnya. Kurasa mereka adalah satu keluarga.
"Eh Ibu Hana, Pak Joko dan... Ryan kan? Ayo mari masuk!" kata Ibuku yang tiba-tiba muncul di belakangku. Sepertinya Ibu memang sudah sejak tadi menanti tamu.
'Oh, jadi mereka teman Ibu.' batinku. Aku pun ngeloyor pergi untuk kembali menikmati acara TV. Memanjakan diriku sendiri sebelum besok kembali masuk kantor lagi.
Tiba-tiba Ibu sudah berdiri di sampingku, mencubit pipiku dan tersenyum. Senyumnya aneh, menurutku. Mencurigakan. Kemudian Ibu langsung menarik tanganku dan mengajakku masuk ke kamar Ibu. Seolah tidak akan ada masalah, Ibu antusias menceritakan bahwa kedatangan tiga orang itu adalah untuk melamar.
"Kak, Ibu Hana itu sahabat Ibu dari pas kuliah dulu. Dia dateng ke sini dampingin anaknya karena mau ngelamar putri ibu yang pertama." kata Ibu. Terlihat jelas binar di matanya berpadu serasi dengan senyum bahagia. Aku baru saja akan bergabung dalam kebahagiaan Ibu, ketika kemudian aku tersadar kalau putri pertama Ibu adalah aku.
"Tunggu, tunggu! Maksud Ibu, tujuan mereka adalah untuk melamarku?" tanyaku kikuk. Ibu pun mengangguk. "Tapi kan aku udah punya pacar, Bu." lanjutku.
"Iya, Ibu tau. Tapi pacarmu itu nggak ada kejelasannya. Kalian udah pacaran lama, tapi masih disitu-situ aja. Lebih baik sama yang udah pasti kan? Ibu udah ngomong ke Ayah. Kita udah sepakat. Lagipula, pamali nolak orang yang dateng ngelamar. Nyatanya Ryan yang dateng ngelamar lebih dulu. Kemana aja pacarmu?" tegas Ibu panjang lebar.
"Tapi, Bu..."
*****
Aku terbangun, kemudian tertegun. "Astaga, mimpi macam apa itu!" ucapku setengah berteriak seraya menepuk dahiku. Aku langsung mengambil smartphoneku dan melihat jam yang tertera di layar itu. Pukul 02.35 dini hari. Aku membuka aplikasi WhatsApp dan mencari sebuah nama di daftar kontak.
*is typing...*
"Aku mimpi. Mimpinya horror. :(
Aku mau dijodohin sama orang lain."
Aku mengirim pesan itu ke Tio, pacarku. Walaupun aku tahu Tio pasti baru akan membacanya ketika dia terbangun pagi nanti. Aku menutup aplikasi WhatsApp dan berpaling ke aplikasi lain, Facebook. Ibu jari kananku membelai lembut layar smartphone, dari bawah ke atas, berulang-ulang. Mataku menjelma sebagai sebuah mesin scanner, melahap setiap kata dan gambar yang muncul di sepanjang timeline.
Ada sebuah foto tangan yang sedang diinfus dengan latar belakang kain sprei berwarna biru. Khas Rumah Sakit. Di bagian atas foto itu tertera caption, "Semoga besok udah bisa pulang. Nggak mau di sini lama-lama."
Ketika melihat nama pemilik akun itu, aku terpaku. Tanganku berhenti membelai layar. Kaku. "Apa-apaan nih? Dika dirawat di Rumah Sakit? Sakit apa? Sejak kapan?" ucapku setengah berteriak. Ya, lagi. Kalau saja aku sedang berdiri di depan cermin mungkin aku akan menatap jijik ke diriku sendiri. Bayangkan, ini kedua kalinya aku dibikin setengah berteriak padahal masih dini hari. Aku punya dosa apa sih?
Aku menutup aplikasi Facebook dan kembali membuka WhatsApp.
*is typing...*
"Sahabat macam apa? Gue sampe nggak tau kalo lo dirawat di RS! Udah sejauh inikah kita sekarang?"
Pesan itu aku kirim ke Dika. Aku tidak peduli meskipun ini masih terlalu pagi. Setelah aku menutup aplikasi WhatsApp, aku menyadari bahwa perasaan aneh itu muncul lagi. Ya, memang ada rasa yang aneh, yang menggangguku beberapa waktu belakangan ini. Aku sadar ini berhubungan dengan Dika.
*****
Saat aku masih kelas satu Sekolah Dasar, keluargaku memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Sejak itulah aku menjadi anak kota. Tinggal di bagian selatan Jakarta, tepat di samping rumah Dika. Itulah kenapa hampir semua fase perkembangan anak-anak sampai remaja aku lewati bersama Dika.
Aku dan Dika tidak pernah satu sekolah, apalagi satu kelas. Dika dua tahun lebih tua di atasku, jadi kurasa wajar kalau dia seringkali bersifat melindungi layaknya seorang kakak. Meskipun tidak pernah merasakan belajar di satu sekolah yang sama, Ibu dan Emak, panggilanku untuk Ibunya Dika, pernah mendaftarkan kami di sebuah lembaga les Bahasa Asing dekat rumah. Di sana, aku dan Dika setidaknya bisa memiliki gambaran tentang bagaimana rasanya satu sekolah.
Semasa masih menjadi bocah ingusan yang culun dan cupu, sore hari menjadi waktu favorit kami. Biasanya aku dan Dika akan bermain sepeda ke taman komplek, bermain kelereng, atau bermain galasin bersama teman-teman yang lain. Ya, aku dan Dika pernah merasakan serunya berlari-larian di jalan, tanpa mempedulikan paparan sinar matahari yang membuat kami banjir keringat dan tidak wangi lagi. Fase perkembangan anak-anak memang menyenangkan. Ceria tanpa kekang.
Memasuki fase perkembangan remaja, aku dan Dika sudah tidak bermain lari-larian lagi. Kami sudah tidak mengenakan seragam putih merah lagi. Tapi bukan berarti aku dan Dika tidak punya cerita untuk dibagi.
Ini waktunya kami mengenal rasa. Ya, rasa tertarik pada lawan jenis, misalnya. Aku dan Dika tidak pernah kehabisan bahan cerita. Aku selalu tahu untuk siapa dia merajut rasa. Begitu pun dia selalu tahu dengan siapa aku jatuh cinta. Hal sekecil apa pun kami selalu cerita. Terlepas dari hal itu penting atau tidak. Tanpa peduli itu cerita baru atau sudah kadaluarsa.
*****
"Eh Leq, gue lagi deket sama cewek." kata Dika ketika kami sedang duduk santai di teras rumah. Lucunya, aku dan Dika memang tidak pernah saling menyebut nama. Kami saling memanggil dengan sebutan 'jeleq'. Entahlah, rasanya aneh kalau memanggil nama asli.
"Bocah mana lagi yang berhasil lo kibulin?" godaku menimpali ucapannya.
"Hahaha. Asem lo!" kata Dika sambil menoyor kepalaku.
"Masih kaku aja lo, Leq. Semua kartu lo kan ada di gue!" balasku. Kalimat itu memang selalu berhasil menjadi ancaman jitu.
Obrolan kami pun berlanjut tentang asal muasal gebetan Dika yang baru. Kemudian beralih ke topik pembahasan tentang pacarku. Selayaknya remaja tingkat SMA, kami jadi lebih sering bercerita tentang cinta. Percaya atu tidak, Dika bisa gonta-ganti pacar sampai tiga kali, disaat aku bahkan merasa bosan bertemu pacar yang itu-itu lagi.
******
Sore itu awan kehabisan tenaga untuk menahan jutaan liter air di atas punggungnya. Akhirnya awan merelakannya jatuh, meski hanya tetes demi tetes. Cuaca membuat guling minta dipeluk manja.
Aku menuju sebuah warung dekat rumah untuk mencari cemilan. Memanjakan perut di kala hujan. Baru saja keluar dari pagar, aku berpapasan dengan Dika yang baru saja pulang.
"Mau kemane, lo?" sapa Dika dengan logat betawinya.
"Ke warung. Jajan." jawabku singkat seraya berlari kecil. Berusaha melindungi tubuhku dari rintik-rintik hujan kala itu.
"Eh, entar dulu. Nih, buat lo!" ucap Dika sambil memukul kepalaku dengan sesuatu. Cokelat.
"Asik! Daritadi kek, kan gue jadi nggak usah ke warung. Thanks, Dik!" kataku, sebelum menjulurkan lidah ke arah Dika.
"Hahaha. Yaudah sana, masuk! Ujan, nanti sakit." ucap Dika menunjukkan sisi ke-kakak-an dari dirinya.
Aku pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Di dalam kamar, aku membuka cokelat yang tadi diberikan Dika. Ternyata ada sebuah kertas yang diselipkan di bungkusnya.
"Leq, gue tau mungkin kita udah sahabatan dari dulu. Tapi, jujur, gue sayang sama lo. Gue berharap kita bisa lebih dari sekedar sahabat."
Aku membaca tulisan di kertas itu pelan-pelan. Uh, lagi. Ini adalah yang keempat kalinya Dika menyatakan hal ini. Tiga kali sudah aku menjawab bahwa aku hanya menganggapnya sebagai sahabat. Mungkin aku tetap akan memberikan jawaban yang sama kali ini. Dika hampir selalu melakukan ini di saat aku baru saja patah hati. Dia seolah sengaja hadir untuk memperbaiki hatiku, supaya tidak patah lagi.
Meski berulang kali ada pernyataan cinta dan aku memberikan jawaban yang selalu sama, Dika tetap menjadi Dika yang biasanya. Persahabatan kami tetap berjalan tanpa drama. Dika seolah-olah tidak merasakan ada luka di hatinya. Mungkin itu sebabnya aku beranggapan bahwa Dika tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang dia rasa. Bukankah selama ini pun dia berganti-ganti pacar dengan mudahnya?
*****
"Sorry, Leq. Belom sempet ngabarin lo." Aku membaca balasan pesan WhatsApp dari Dika. Ternyata dia masih terjaga. Mungkin karena situasi Rumah Sakit membuatnya tidak bisa tidur dengan leluasa.
Dalam fase perkembangan dewasa kami, seharusnya kami semakin mudah untuk berkomunikasi. Saat ini kecanggihan teknologi menyuguhkan banyak sekali aplikasi, sehingga tidak ada alasan untuk berhenti berbagi informasi. Tapi kenyataanya bukan itu yang terjadi.
"Sakit apa lo?" tanyaku melanjutkan pembicaraan.
"Demam berdarah. Besok ke sini ya, Leq. Di sini juga ada Nesha." balas Dika.
"Diusahain ya." aku kembali membalasnya. Singkat. Aku kehilangan selera untuk melanjutkan percakapan setelah melihat nama Nesha muncul di sana. Nesha adalah pacarnya Dika. Wanita bermata bulat, berambut lurus panjang sebahu dan memiliki bibir tipis berwarna pink yang membuatnya terlihat semakin manis. Aku pernah bertemu dengannya satu kali. Iya, hanya satu kali.
Dika dan Nesha sudah menjalin hubungan selama satu tahun delapan bulan. Itu rekor yang cukup luar biasa untuk seorang Dika. Aku turut berbahagia melihat Dika akhirnya bisa menjalin hubungan serius dengan satu wanita. Tapi entah kenapa seperti ada goresan luka yang bersembunyi dibalik rasa bahagia.
Aku tidak tahu pasti sejak kapan, aku mulai mengenal adanya tembok pembatas dalam persahabatan. Aku dan Dika sudah semakin jarang bertemu, apalagi untuk sekedar bercerita tentang ini dan itu. Bermula dari hadirnya Nesha, si 'wanita satu tahun delapan bulan', aku mulai merasakan adanya jembatan. Dika ada di sana, di sudut yang jauh, di ujung jembatan itu.
Pernah suatu ketika aku kehilangan jejak Dika. Mungkin karena dia terlalu rajin berkunjung ke konter handphone hanya untuk sekedar membeli nomor baru yang dia suka. Ya, Dika memang senang melakukan hal itu sejak masih SMP dulu.
*****
"Nesha, punya nomernya Dika nggak?" sapaku melalui sebuah pesan singkat. Aku dan Nesha memang pernah saling bertukar kontak.
"Ada yang mau disampein? Biar nanti aku sampein ke Dika." balasan Nesha membuatku tercengang.
'Astaga, haruskah aku menyampaikan pesan melalui dia? Bagaimana kalau ada yang ingin aku ceritakan ke Dika dan itu adalah sebuah cerita yang panjang? Apa Nesha akan merekam ucapanku, baru kemudian meminta Dika untuk mendengarkannya? Lalu Dika harus menanggapi ceritaku dengan cara yang sama juga?' aku mengumpat di dalam hati. Oh, come on! Aku merasa seperti balik ke zaman alat komunikasi pager, dengan Nesha sebagai mbak-mbak operator.
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi mencoba untuk mendapatkan kontak Dika. Kupikir, biar saja Dika yang menemukanku kalau memang dia ada perlu. Aku sudah terlalu malas berbasa-basi dengan Nesha.
*****
Aku sedang menjemur baju di Minggu pagi yang cerah ketika aku melihat sosok Nesha lewat di depan rumah. Seingatku, ini bukanlah yang pertama kali aku melihat penampakan Nesha gentayangan di sekitar perumahan.
"Kak, kontrakan yang di belakang itu udah ada yang ngisi ya? Ibu denger-denger, katanya yang ngontrak itu pacarnya Dika. Emang bener, kak?" tanya Ibu yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku sambil memegang tumpukkan gantungan baju. Entah kenapa Ibuku selalu muncul tiba-tiba bagai hantu.
"Kayaknya sih bener, Bu. Aku beberapa kali liat pacarnya Dika lewat sini." jawabku mencoba untuk senormal mungkin. 'Oh, jadi sekarang Nesha tinggal di dekat sini?' batinku.
*****
Sesuai dugaan, jembatan itu kini terasa semakin panjang. Hampir setiap kali terjebak berpapasan, aku dan Dika hanya bisa bertegur sapa sekedarnya. Bahkan terkadang hanya saling berlalu tanpa kata. Kaku. Tidak lagi seru.
Rumahku dan rumah Dika memang berdekatan. Tembok rumah kami pun saling menempel tanpa penghalang. Tapi seolah ada jembatan yang tidak bisa disebrangi oleh aku ataupun Dika. Terlalu jauh. Terlalu bahaya.
Rasanya aneh. Sekian tahun aku mengenal Dika, aku kira dunia kami sama. Dulu kami selalu bertukar cerita tanpa mengenal rahasia. Tapi kini semua berbeda. Terlalu banyak rahasia antara aku dan Dika. Aku tidak tahu hal menarik apa saja yang sudah dilalui oleh seorang Dika dewasa. Ya, aku semakin tidak mengenal Dika.
Aku sadar sedang merasakan kehilangan. Tapi...
Kehilangan sahabat seperti Dika atau kehilangan cinta?
'Ah, cinta? Tidak mungkin! Kalau memang aku cinta sama Dika, aku sudah menerima pernyataan cintanya dari dulu bukan?' batinku. Aku mencoba menepis pikiranku sendiri.
*****
"Ah, persahabatan antara cewek dan cowok itu bullshit! Pasti salah satunya ada yang baper." Tidak sengaja aku mendengar ucapan salah seorang wanita di meja sebelah, saat aku dan Tio sedang bersantai sore di sebuah cafe.
"Iya, bener! Kalo nggak ceweknya, ya cowoknya baperan. Bedanya cuma ada yang berani ngungkapin, ada yang milih didiemin." sahut seorang wanita lagi. Sepertinya mereka adalah kumpulan wanita-wanita muda yang sedang arisan.
'Uh! Pembahasan macam apa itu?' aku membatin. Anganku mengembara, mengingat apa yang terjadi antara aku dan Dika. Di saat yang sama, aku menemukan sebuah tanya, "Kalau selama ini aku merasa Dika berubah sejak ada Nesha, apa Dika juga merasakan hal yang sama tentang aku dan Tio?" Jangan-jangan iya.
"Sayang, kamu nggak cemburu kalo aku deket sama Dika?" tanpa berpikir panjang, aku langsung menodongkan pertanyaan itu ke Tio.
"Hem, enggak. Kan Dika yang lebih dulu kenal kamu. Sama aja aku bikin malu diri sendiri dong kalo aku cemburu." jawab Tio santai. Kata-katanya menyadarkanku sesuatu.
'Ternyata benar. Laki-laki lebih menggunakan logika daripada perasaan. Beda dengan wanita!'
Beberapa saat kemudian aku segera menepis anggapanku barusan. Kurasa pola pikir laki-laki tidak terlalu mempesona. Terkadang mereka hanya terlalu gengsi untuk mengakui . Aku bisa melihat usaha Tio menyembunyikan kecemburuan dibalik sikap tenangnya. Sudah tiga tahun aku menjalin hubungan dengan Tio. Aku bisa menangkap sinyal kebohongan dari gelagatnya.
Aku curiga selama ini Nesha cemburu. Makanya dia mengambil semua waktu yang Dika punya, hanya untuknya, tanpa sisa. Aku tidak menyalahkan Nesha kalau memang dia tidak nyaman dengan kedekatanku dan Dika. Bagaimana pun aku juga seorang wanita. Aku saja tidak yakin akan tetap bisa bersikap santai kalau Tio memiliki seorang sahabat berjenis kelamin berbeda. Iya, seperti aku dan Dika.
'Bisa-bisa nanti sahabat jadi cinta!' umpatku dalam hati.
"Kayaknya emang harusnya nggak usah ada persahabatan antara cowok dan cewek deh! Daripada nantinya cuma akan nyakitin perasaan pasangan masing-masing. Iya kan?" Kembali aku mendengar ucapan dari arah sekumpulan wanita-wanita muda tadi.
'Astaga, kenapa ucapan mereka selalu pas sih?' ucapku dalam hati. Kurasa seharusnya aku duduk bergabung saja dengan mereka, bukan dengan Tio.
*****
Aku memutuskan untuk membiarkan jembatan antara aku dan Dika tetap ada. Anggap saja jembatan terlarang yang tidak boleh, atau bahkan tidak perlu disebrangi. Oleh aku ataupun Dika. Mungkin ini yang terbaik.
Kurasa memang waktuku dan Dika saja yang sudah habis untuk bisa seenak atau seseru dulu lagi.
*****
Iya, benar.
Waktu kami telah habis.