Rabu, 09 Maret 2016

Cinta Dibalik Gerhana


"Kalau memang cinta, perbanyaklah berdoa. Bukan berdua."
Kalimat itu kudengar dari seorang manusia.

Aku tersenyum jenaka,
terpancing untuk memamerkan kisah cinta yang kita punya.

Lihatlah, meski jarak ratusan ribu mil membuat kita terpisah,
ada cinta-Nya yang selalu menghibur dikala resah.

Kita saling menyelipkan nama di dalam doa,
sebagai cara terindah mengobati luka rindu yang menganga.

Bukankah Dia pernah berjanji akan mempertemukan kita lagi?
Haruskah kita sangsi, padahal tak ada satu pun janji yang pernah Dia ingkari?

Percayalah,
setelah mengumpulkan setiap lantunan doa, Dia akan mengijinkan kita untuk berjumpa.
Duduk dalam satu singgasana, berdua. Bahagia.

Hingga nanti saatnya tiba,
Bertemunya kita akan menunjukkan kepada manusia tentang arti cinta yang sesungguhnya.
Tentang keihklasan tunduk dan patuh pada ketetapan-Nya.
Rela berpisah sekian lama, untuk dipertemjkan sesaat saja.

Tak ada yang lebih menyempurnakan kebahagiaan kita, selain melihat para manusia bersujud dan berdoa.

Mengakui kebesaran-Nya.

-Nici-
(Jakarta, 9 Maret 2016 | 04.04 AM)

---------------------
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)

Senin, 07 Maret 2016

Ini (Bukan) Cinta kan?

Cuaca cerah menyapa semesta di hari Minggu siang, saat seharusnya sudah memasuki musim hujan. Aku mencari posisi di sebuah sofa cokelat di ruang televisi. Tangan kananku tenggelam ke dalam toples yang berisi keripik talas, berusaha menemukan potongan keripik yang diselimuti bumbu barbeque paling tebal. Sedangkan tangan kiriku menggenggam erat remote TV, bersiap mengganti saluran acara kalau tiba-tiba sosok penampakannya muncul di layar kaca. Ya, selain keripik talas, siang itu aku memilih untuk melahap film horror yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi dalam negeri.

Tok tok tok. "Assalamualaikum." terdengar suara dari arah pintu ruang tamu yang terbuka. Aku berjalan santai menghampiri sumber suara.

"Waalaikumsalam." sambutku sambil mengamati tiga orang yang berdiri di ambang pintu. Seorang bapak penuh wibawa dan terlihat sangat bijaksana, seorang ibu berparas cantik dengan hijab syar'i membalut tubuhnya, serta seorang pemuda yang manis dengan lesung pipi mendampingi senyumnya. Kurasa mereka adalah satu keluarga.

"Eh Ibu Hana, Pak Joko dan... Ryan kan? Ayo mari masuk!" kata Ibuku yang tiba-tiba muncul di belakangku. Sepertinya Ibu memang sudah sejak tadi menanti tamu.

'Oh, jadi mereka teman Ibu.' batinku. Aku pun ngeloyor pergi untuk kembali menikmati acara TV. Memanjakan diriku sendiri sebelum besok kembali masuk kantor lagi.

Tiba-tiba Ibu sudah berdiri di sampingku, mencubit pipiku dan tersenyum. Senyumnya aneh, menurutku. Mencurigakan. Kemudian Ibu langsung menarik tanganku dan mengajakku masuk ke kamar Ibu. Seolah tidak akan ada masalah, Ibu antusias menceritakan bahwa kedatangan tiga orang itu adalah untuk melamar.

"Kak, Ibu Hana itu sahabat Ibu dari pas kuliah dulu. Dia dateng ke sini dampingin anaknya karena mau ngelamar putri ibu yang pertama." kata Ibu. Terlihat jelas binar di matanya berpadu serasi dengan senyum bahagia. Aku baru saja akan bergabung dalam kebahagiaan Ibu, ketika kemudian aku tersadar kalau putri pertama Ibu adalah aku.

"Tunggu, tunggu! Maksud Ibu, tujuan mereka adalah untuk melamarku?" tanyaku kikuk. Ibu pun mengangguk. "Tapi kan aku udah punya pacar, Bu." lanjutku.

"Iya, Ibu tau. Tapi pacarmu itu nggak ada kejelasannya. Kalian udah pacaran lama, tapi masih disitu-situ aja. Lebih baik sama yang udah pasti kan? Ibu udah ngomong ke Ayah. Kita udah sepakat. Lagipula, pamali nolak orang yang dateng ngelamar. Nyatanya Ryan yang dateng ngelamar lebih dulu. Kemana aja pacarmu?" tegas Ibu panjang lebar.

"Tapi, Bu..."

*****

Aku terbangun, kemudian tertegun. "Astaga, mimpi macam apa itu!" ucapku setengah berteriak seraya menepuk dahiku. Aku langsung mengambil smartphoneku dan melihat jam yang tertera di layar itu. Pukul 02.35 dini hari. Aku membuka aplikasi WhatsApp dan mencari sebuah nama di daftar kontak.

*is typing...*
"Aku mimpi. Mimpinya horror. :(
Aku mau dijodohin sama orang lain."

Aku mengirim pesan itu ke Tio, pacarku. Walaupun aku tahu Tio pasti baru akan membacanya ketika dia terbangun pagi nanti. Aku menutup aplikasi WhatsApp dan berpaling ke aplikasi lain, Facebook. Ibu jari kananku membelai lembut layar smartphone, dari bawah ke atas, berulang-ulang. Mataku menjelma sebagai sebuah mesin scanner, melahap setiap kata dan gambar yang muncul di sepanjang timeline.

Ada sebuah foto tangan yang sedang diinfus dengan latar belakang kain sprei berwarna biru. Khas Rumah Sakit. Di bagian atas foto itu tertera caption, "Semoga besok udah bisa pulang. Nggak mau di sini lama-lama."


Ketika melihat nama pemilik akun itu, aku terpaku. Tanganku berhenti membelai layar. Kaku. "Apa-apaan nih? Dika dirawat di Rumah Sakit? Sakit apa? Sejak kapan?" ucapku setengah berteriak. Ya, lagi. Kalau saja aku sedang berdiri di depan cermin mungkin aku akan menatap jijik ke diriku sendiri. Bayangkan, ini kedua kalinya aku dibikin setengah berteriak padahal masih dini hari. Aku punya dosa apa sih?

Aku menutup aplikasi Facebook dan kembali membuka WhatsApp.

*is typing...*
"Sahabat macam apa? Gue sampe nggak tau kalo lo dirawat di RS! Udah sejauh inikah kita sekarang?"

Pesan itu aku kirim ke Dika. Aku tidak peduli meskipun ini masih terlalu pagi. Setelah aku menutup aplikasi WhatsApp, aku menyadari bahwa perasaan aneh itu muncul lagi. Ya, memang ada rasa yang aneh, yang menggangguku beberapa waktu belakangan ini. Aku sadar ini berhubungan dengan Dika.

*****

Saat aku masih kelas satu Sekolah Dasar, keluargaku memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Sejak itulah aku menjadi anak kota. Tinggal di bagian selatan Jakarta, tepat di samping rumah Dika. Itulah kenapa hampir semua fase perkembangan anak-anak sampai remaja aku lewati bersama Dika.

Aku dan Dika tidak pernah satu sekolah, apalagi satu kelas. Dika dua tahun lebih tua di atasku, jadi kurasa wajar kalau dia seringkali bersifat melindungi layaknya seorang kakak. Meskipun tidak pernah merasakan belajar di satu sekolah yang sama, Ibu dan Emak, panggilanku untuk Ibunya Dika, pernah mendaftarkan kami di sebuah lembaga les Bahasa Asing dekat rumah. Di sana, aku dan Dika setidaknya bisa memiliki gambaran tentang bagaimana rasanya satu sekolah.

Semasa masih menjadi bocah ingusan yang culun dan cupu, sore hari menjadi waktu favorit kami. Biasanya aku dan Dika akan bermain sepeda ke taman komplek, bermain kelereng, atau bermain galasin bersama teman-teman yang lain. Ya, aku dan Dika pernah merasakan serunya berlari-larian di jalan, tanpa mempedulikan paparan sinar matahari yang membuat kami banjir keringat dan tidak wangi lagi. Fase perkembangan anak-anak memang menyenangkan. Ceria tanpa kekang.

Memasuki fase perkembangan remaja, aku dan Dika sudah tidak bermain lari-larian lagi. Kami sudah tidak mengenakan seragam putih merah lagi. Tapi bukan berarti aku dan Dika tidak punya cerita untuk dibagi.

Ini waktunya kami mengenal rasa. Ya, rasa tertarik pada lawan jenis, misalnya. Aku dan Dika tidak pernah kehabisan bahan cerita. Aku selalu tahu untuk siapa dia merajut rasa. Begitu pun dia selalu tahu dengan siapa aku jatuh cinta. Hal sekecil apa pun kami selalu cerita. Terlepas dari hal itu penting atau tidak. Tanpa peduli itu cerita baru atau sudah kadaluarsa.

*****

"Eh Leq, gue lagi deket sama cewek." kata Dika ketika kami sedang duduk santai di teras rumah. Lucunya, aku dan Dika memang tidak pernah saling menyebut nama. Kami saling memanggil dengan sebutan 'jeleq'. Entahlah, rasanya aneh kalau memanggil nama asli.

"Bocah mana lagi yang berhasil lo kibulin?" godaku menimpali ucapannya.

"Hahaha. Asem lo!" kata Dika sambil menoyor kepalaku.

"Masih kaku aja lo, Leq. Semua kartu lo kan ada di gue!" balasku. Kalimat itu memang selalu berhasil menjadi ancaman jitu.

Obrolan kami pun berlanjut tentang asal muasal gebetan Dika yang baru. Kemudian beralih ke topik pembahasan tentang pacarku. Selayaknya remaja tingkat SMA, kami jadi lebih sering bercerita tentang cinta. Percaya atu tidak, Dika bisa gonta-ganti pacar sampai tiga kali, disaat aku bahkan merasa bosan bertemu pacar yang itu-itu lagi.

******

Sore itu awan kehabisan tenaga untuk menahan jutaan liter air di atas punggungnya. Akhirnya awan merelakannya jatuh, meski hanya tetes demi tetes. Cuaca membuat guling minta dipeluk manja.

Aku menuju sebuah warung dekat rumah untuk mencari cemilan. Memanjakan perut di kala hujan. Baru saja keluar dari pagar, aku berpapasan dengan Dika yang baru saja pulang.

"Mau kemane, lo?" sapa Dika dengan logat betawinya.

"Ke warung. Jajan." jawabku singkat seraya berlari kecil. Berusaha melindungi tubuhku dari rintik-rintik hujan kala itu.

"Eh, entar dulu. Nih, buat lo!" ucap Dika sambil memukul kepalaku dengan sesuatu. Cokelat.

"Asik! Daritadi kek, kan gue jadi nggak usah ke warung. Thanks, Dik!" kataku, sebelum menjulurkan lidah ke arah Dika.

"Hahaha. Yaudah sana, masuk! Ujan, nanti sakit." ucap Dika menunjukkan sisi ke-kakak-an dari dirinya.

Aku pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Di dalam kamar, aku membuka cokelat yang tadi diberikan Dika. Ternyata ada sebuah kertas yang diselipkan di bungkusnya.

"Leq, gue tau mungkin kita udah sahabatan dari dulu. Tapi, jujur, gue sayang sama lo. Gue berharap kita bisa lebih dari sekedar sahabat."

Aku membaca tulisan di kertas itu pelan-pelan. Uh, lagi. Ini adalah yang keempat kalinya Dika menyatakan hal ini. Tiga kali sudah aku menjawab bahwa aku hanya menganggapnya sebagai sahabat. Mungkin aku tetap akan memberikan jawaban yang sama kali ini. Dika hampir selalu melakukan ini di saat aku baru saja patah hati. Dia seolah sengaja hadir untuk memperbaiki hatiku, supaya tidak patah lagi.

Meski berulang kali ada pernyataan cinta dan aku memberikan jawaban yang selalu sama, Dika tetap menjadi Dika yang biasanya. Persahabatan kami tetap berjalan tanpa drama. Dika seolah-olah tidak merasakan ada luka di hatinya. Mungkin itu sebabnya aku beranggapan bahwa Dika tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang dia rasa. Bukankah selama ini pun dia berganti-ganti pacar dengan mudahnya?

*****

"Sorry, Leq. Belom sempet ngabarin lo." Aku membaca balasan pesan WhatsApp dari Dika. Ternyata dia masih terjaga. Mungkin karena situasi Rumah Sakit membuatnya tidak bisa tidur dengan leluasa.

Dalam fase perkembangan dewasa kami, seharusnya kami semakin mudah untuk berkomunikasi. Saat ini kecanggihan teknologi menyuguhkan banyak sekali aplikasi, sehingga tidak ada alasan untuk berhenti berbagi informasi. Tapi kenyataanya bukan itu yang terjadi.

"Sakit apa lo?" tanyaku melanjutkan pembicaraan.

"Demam berdarah. Besok ke sini ya, Leq. Di sini juga ada Nesha." balas Dika.

"Diusahain ya." aku kembali membalasnya. Singkat. Aku kehilangan selera untuk melanjutkan percakapan setelah melihat nama Nesha muncul di sana. Nesha adalah pacarnya Dika. Wanita bermata bulat, berambut lurus panjang sebahu dan memiliki bibir tipis berwarna pink yang membuatnya terlihat semakin manis. Aku pernah bertemu dengannya satu kali. Iya, hanya satu kali.

Dika dan Nesha sudah menjalin hubungan selama satu tahun delapan bulan. Itu rekor yang cukup luar biasa untuk seorang Dika. Aku turut berbahagia melihat Dika akhirnya bisa menjalin hubungan serius dengan satu wanita. Tapi entah kenapa seperti ada goresan luka yang bersembunyi dibalik rasa bahagia.

Aku tidak tahu pasti sejak kapan, aku mulai mengenal adanya tembok pembatas dalam persahabatan. Aku dan Dika sudah semakin jarang bertemu, apalagi untuk sekedar bercerita tentang ini dan itu. Bermula dari hadirnya Nesha, si 'wanita satu tahun delapan bulan', aku mulai merasakan adanya jembatan. Dika ada di sana, di sudut yang jauh, di ujung jembatan itu.

Pernah suatu ketika aku kehilangan jejak Dika. Mungkin karena dia terlalu rajin berkunjung ke konter handphone hanya untuk sekedar membeli nomor baru yang dia suka. Ya, Dika memang senang melakukan hal itu sejak masih SMP dulu.

*****

"Nesha, punya nomernya Dika nggak?" sapaku melalui sebuah pesan singkat. Aku dan Nesha memang pernah saling bertukar kontak.

"Ada yang mau disampein? Biar nanti aku sampein ke Dika." balasan Nesha membuatku tercengang.

'Astaga, haruskah aku menyampaikan pesan melalui dia? Bagaimana kalau ada yang ingin aku ceritakan ke Dika dan itu adalah sebuah cerita yang panjang? Apa Nesha akan merekam ucapanku, baru kemudian meminta Dika untuk mendengarkannya? Lalu Dika harus menanggapi ceritaku dengan cara yang sama juga?' aku mengumpat di dalam hati. Oh, come on! Aku merasa seperti balik ke zaman alat komunikasi pager, dengan Nesha sebagai mbak-mbak operator.

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi mencoba untuk mendapatkan kontak Dika. Kupikir, biar saja Dika yang menemukanku kalau memang dia ada perlu. Aku sudah terlalu malas berbasa-basi dengan Nesha.

*****

Aku sedang menjemur baju di Minggu pagi yang cerah ketika aku melihat sosok Nesha lewat di depan rumah. Seingatku, ini bukanlah yang pertama kali aku melihat penampakan Nesha gentayangan di sekitar perumahan.

"Kak, kontrakan yang di belakang itu udah ada yang ngisi ya? Ibu denger-denger, katanya yang ngontrak itu pacarnya Dika. Emang bener, kak?" tanya Ibu yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku sambil memegang tumpukkan gantungan baju. Entah kenapa Ibuku selalu muncul tiba-tiba bagai hantu.

"Kayaknya sih bener, Bu. Aku beberapa kali liat pacarnya Dika lewat sini." jawabku mencoba untuk senormal mungkin. 'Oh, jadi sekarang Nesha tinggal di dekat sini?' batinku.

*****

Sesuai dugaan, jembatan itu kini terasa semakin panjang. Hampir setiap kali terjebak berpapasan, aku dan Dika hanya bisa bertegur sapa sekedarnya. Bahkan terkadang hanya saling berlalu tanpa kata. Kaku. Tidak lagi seru.

Rumahku dan rumah Dika memang berdekatan. Tembok rumah kami pun saling menempel tanpa penghalang. Tapi seolah ada jembatan yang tidak bisa disebrangi oleh aku ataupun Dika. Terlalu jauh. Terlalu bahaya.

Rasanya aneh. Sekian tahun aku mengenal Dika, aku kira dunia kami sama. Dulu kami selalu bertukar cerita tanpa mengenal rahasia. Tapi kini semua berbeda. Terlalu banyak rahasia antara aku dan Dika. Aku tidak tahu hal menarik apa saja yang sudah dilalui oleh seorang Dika dewasa. Ya, aku semakin tidak mengenal Dika.

Aku sadar sedang merasakan kehilangan. Tapi...
Kehilangan sahabat seperti Dika atau kehilangan cinta?

'Ah, cinta? Tidak mungkin! Kalau memang aku cinta sama Dika, aku sudah menerima pernyataan cintanya dari dulu bukan?' batinku. Aku mencoba menepis pikiranku sendiri.

*****

"Ah, persahabatan antara cewek dan cowok itu bullshit! Pasti salah satunya ada yang baper." Tidak sengaja aku mendengar ucapan salah seorang wanita di meja sebelah, saat aku dan Tio sedang bersantai sore di sebuah cafe.

"Iya, bener! Kalo nggak ceweknya, ya cowoknya baperan. Bedanya cuma ada yang berani ngungkapin, ada yang milih didiemin." sahut seorang wanita lagi. Sepertinya mereka adalah kumpulan wanita-wanita muda yang sedang arisan.

'Uh! Pembahasan macam apa itu?' aku membatin. Anganku mengembara, mengingat apa yang terjadi antara aku dan Dika. Di saat yang sama, aku menemukan sebuah tanya, "Kalau selama ini aku merasa Dika berubah sejak ada Nesha, apa Dika juga merasakan hal yang sama tentang aku dan Tio?" Jangan-jangan iya.

"Sayang, kamu nggak cemburu kalo aku deket sama Dika?" tanpa berpikir panjang, aku langsung menodongkan pertanyaan itu ke Tio.

"Hem, enggak. Kan Dika yang lebih dulu kenal kamu. Sama aja aku bikin malu diri sendiri dong kalo aku cemburu." jawab Tio santai. Kata-katanya menyadarkanku sesuatu.

'Ternyata benar. Laki-laki lebih menggunakan logika daripada perasaan. Beda dengan wanita!'

Beberapa saat kemudian aku segera menepis anggapanku barusan. Kurasa pola pikir laki-laki tidak terlalu mempesona. Terkadang mereka hanya terlalu gengsi untuk mengakui . Aku bisa melihat usaha Tio menyembunyikan kecemburuan dibalik sikap tenangnya. Sudah tiga tahun aku menjalin hubungan dengan Tio. Aku bisa menangkap sinyal kebohongan dari gelagatnya.

Aku curiga selama ini Nesha cemburu. Makanya dia mengambil semua waktu yang Dika punya, hanya untuknya, tanpa sisa. Aku tidak menyalahkan Nesha kalau memang dia tidak nyaman dengan kedekatanku dan Dika. Bagaimana pun aku juga seorang wanita. Aku saja tidak yakin akan tetap bisa bersikap santai kalau Tio memiliki seorang sahabat berjenis kelamin berbeda. Iya, seperti aku dan Dika.

'Bisa-bisa nanti sahabat jadi cinta!' umpatku dalam hati.

"Kayaknya emang harusnya nggak usah ada persahabatan antara cowok dan cewek deh! Daripada nantinya cuma akan nyakitin perasaan pasangan masing-masing. Iya kan?" Kembali aku mendengar ucapan dari arah sekumpulan wanita-wanita muda tadi.

'Astaga, kenapa ucapan mereka selalu pas sih?' ucapku dalam hati. Kurasa seharusnya aku duduk bergabung saja dengan mereka, bukan dengan Tio.

*****

Aku memutuskan untuk membiarkan jembatan antara aku dan Dika tetap ada. Anggap saja jembatan terlarang yang tidak boleh, atau bahkan tidak perlu disebrangi. Oleh aku ataupun Dika. Mungkin ini yang terbaik.

Kurasa memang waktuku dan Dika saja yang sudah habis untuk bisa seenak atau seseru dulu lagi.

*****

Iya, benar.
Waktu kami telah habis.

Minggu, 06 Maret 2016

Aku Rindu Pulang


Judul: Aku Rindu Pulang
Author: Nici
Genre: Comfort, Spiritual

Aku berbaring santai di atas tempat tidurku sambil memandang ke langit-langit kamar. Kosong. Aku berusaha menikmati belaian angin yang menyerbu masuk melalui jendela-jendela kamar yang terbuka. Ya, aku membuka lebar-lebar jendela kamar dengan sengaja. Sesekali aku berganti posisi, melihat ke luar jendela, memperhatikan perpaduan warna putih dan biru yang terbentang indah di luar sana. Lukisan alam ciptaan-Nya berpose dengan penuh pesona. Cantik.

Aku sadar ini bukanlah yang pertama kali. Akhir-akhir ini aku sering mengkhianati daftar agendaku hanya untuk berhenti. Entahlah. Hanya untuk sejenak berdiam diri. Ada rasa rindu yang memancing untuk dicumbu.

*****

Sebuah cafe di pusat Ibukota menjadi saksi bisu bagi kelima wanita muda yang saling menuntaskan rindu. Mereka memutuskan untuk bertatap muka sambil berbagi cerita yang seolah tidak akan ada akhirnya. Termasuk cerita tentang masa-masa jaya mereka saat masih menjadi mahasiswa. Senja itu cuaca cerah. Sinar matahari masih menari riang seolah enggan bertukar tempat dengan sang rembulan.

"Deya, kamu sekarang beneran udah mantep pake rok terus?" tanya Ika membuka percakapan.

"Iya. Hehe." jawabku.

"Celana jeansnya udah pada dibuang ceunah. Keren nggak tuh?" kata Bia mengompori situasi.

"Hah? Serius? Kok bisa sih, De? Sekarang kerudungmu juga udah panjang menutup dada ya? Keren, keren!" Rias, sahabatku yang paling cerewet itu, menyerocos sambil mengacungkan dua jempolnya.

"Wah, udah makin mirip Ustadzah dong nih! Sungkem dulu yuk sama Ustadzah Deya!" Tika menimpali tidak kalah hebohnya sambil berusaha meraih tanganku. Aku justru membalas dengan mencubit punggung tangannya.

Ya, aku memang seringkali dipanggil dengan sebutan Ustadzah oleh keempat sahabatku itu. Mereka bilang, akulah sosok yang paling religius. Tempat mereka berkonsultasi tentang agama dan hal lain yang bersifat serius.

*****

"Eh De, kamu nggak sholat qabliyah dulu?" tanya Bia saat melihatku sudah bersiap di posisi imam untuk melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Dia sedang bermain ke rumahku dan kami hanya berdua saat itu. Bia sudah selesai melaksanakan dua rakaat sunnahnya lebih dulu saat aku masih mengambil air wudhu.

"Enggak."

"Loh, kenapa?" Bia bertanya lagi.

"Ya... nggak apa-apa." jawabku. Entah kenapa aku menjadi kikuk saat itu. Sekilas aku melihat ada perubahan ekspresi di wajah Bia. Semacam kecewa atau entah apa. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.
Kami pun memutuskan untuk memulai sholat dzuhur berjamaahnya.

Melaksanakan sholat secara berjamaah memang menjadi kebiasaan sejak kami masih kuliah dulu. Walaupun hampir selalu dimulai dengan hom pim pa sebelum bismillah. Iya, hom pim pa untuk menentukan siapa yang akan menjadi imamnya. Percaya atau tidak, tanpa hom pim pa kami akan membutuhkan waktu yang lama hanya untuk saling tunjuk, saling melempar amanah sebagai imam dalam sholat berjamaah.

Saat sholat dzuhur berjamaah selesai, aku melihat Bia melaksanakan sholat ba'diah dzuhur. Aku melipat mukena sambil sesekali memperhatikan Bia diam-diam.

Bia sudah berubah. Semasa kuliah dulu, kami hanya melaksanakan sholat wajib berjamaah tanpa memikirkan sholat rawatibnya. Sekarang Bia berbeda. Ada rasa kagum dan sedih yang menari-nari di dalam hati. Aku kagum kini Bia sudah menjadi lebih baik dari yang aku kenal dulu. Aku sedih karena aku masih saja seperti ini. Bia sudah berlari memperbaiki diri, sedangkan aku masih ngaso di sini.

*****

Aku berjalan gontai memasuki kamar dan membanting tubuhku ke atas tempat tidur. Ini menjadi hari yang cukup melelahkan di kantor. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku sudah mengancam diriku sendiri akan segera mandi. Uh, rasanya badan ini sudah sangat lengket dan bau sekali! Tapi saat ini yang aku lakukan justru kembali berdiam sambil memandangi langit-langit kamar. Lagi.

Aku memaksa diriku untuk menikmati sebuah film dokumenter yang diputar oleh otakku sendiri. Aku mengingat-ngingat tentang kapan terakhir kali aku antusias menanti waktu sholat, mencintai Al-Quran sebagai obat di kala penat dan menjadikan puasa sebagai tameng dari perilaku maksiat. Seolah aku ditarik ke dalam sebuah mesin waktu untuk memilah-milah ingatan itu. Ah, ternyata bernostalgia dengan masa-masa ketika iman masih berjaya itu lelah juga. Aku memilih untuk beristirahat sejenak dan memejamkan mata.

Pukul 03.05 WIB dini hari aku terbangun. LED smartphoneku menyala dan memancing aku untuk membukanya. Ada sebuah pesan dan nama Bia muncul di sana.

"Deya, maaf ya baru bales lagi. Kemaren lagi banyak banget kerjaan. Nanti lanjutin lagi ya ceritanya, De. Eh, kamu udah tahajud belom nih? Bangun yuk! Sahur sekalian. :*" celoteh manis Bia dalam pesan itu menyadarkanku bahwa aku pun sudah melupakan indahnya bermunajat di sepertiga malam.

Mengenaskan! Kini aku paham apa yang membuatku semakin sering berhenti, hanya untuk sekedar berdiam diri. Aku sudah terlalu jauh meninggalkan kebaikan dan justru sangat menikmati bermain di kolam kenistaan.

Kini aku tahu dengan siapa rindu itu ingin dicumbu. Aku rindu pulang. Iya, aku rindu pulang. Aku ingin pulang ke istana kebesaran-Nya, memanjakan diri dengan kehangatan cinta-Nya dan menikmati keteduhan perlindungan-Nya.

"Iya, Bia. Ini aku udah bangun kok. Eh Bi, kamu bersediakah jadi alarm khusus untukku? Sering-sering ajak aku kayak gini. Aku udah mulai lalai nih..." pintaku melalui balasan pesan itu.

"Dengan senang hati! Mau dibangunin jam berapa Ibu Peri?" goda Bia dalam balasan singkatnya. Aku pun tersenyum. Haru. Bagaimana pun, aku sudah tertinggal beberapa langkah dari Bia. Sungguh, aku tidak ingin tertinggal semakin jauh.

'Tunggu aku pulang ya, Bia.' ucapku dalam hati.

*****

Apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga, lalu mereka tidak menemukan sahabat-sahabat mereka yang selalu bersama mereka dahulu di dunia, mereka bertanya tentang sahabat mereka kepada Allah.

"Ya Allah, kenapa kami tidak melihat sahabat-sahabat kami yang sewaktu di dunia sholat bersama kami, puasa bersama kami dan berjuang bersama kami?"
Maka Allah berfirman, "Pergilah ke neraka lalu keluarkan sahabat-sahabatmu yang di hatinya ada iman walau hanya sebesar zarrah."

(HR. Ibnu Mubarak dalam kitab "Az-Zuhd")

*****

Semoga Bia akan menjemputku jika dia tidak menemukanku di surga-Nya kelak.

Sabtu, 05 Maret 2016

Filosofi Nici (Bukan Filosofi Kopi)

Aku Nici. Nici Kurniawaty. Hem, bukan, bukan. Sebenernya sih Nia Kurniawaty.

Sebutan Nici nongol sekitar 12 tahun yang lalu. Yap, di awal tahun ajaran baru, pas wali kelas lagi ngabsen anak-anak didiknya di kelas itu. Aku udah jaim maksimal bangetlah pas itu. Berharap bisa ngasih kesan pertama yang keren di depan temen-temen baru. Agak deg-degan juga sih nunggu dipanggil (karena aku kan nggak tau namaku ada di nomer urut berapa).

Tik tok tik tok... "Nici Kurniawaty."

JENG! JENG! *melongo*
'Hah? Nici? Siapa dah tuh? Aku salah denger nggak sih?'

Aku mau angkat tangan, tapi takut beneran ada yang namanya Nici. Nanti wali kelas sama anak-anak yang lain bingung, "Kok yang angkat tangan ada dua orang?" Kan tengsin!

Aku nggak angkat tangan, tapi ternyata yang lain nggak ada yang angkat tangan juga. Pas anak-anak lain mulai celingak-celinguk nyari sang pemilik nama, aku putusin buat angkat tangan. Kebayang dong gimana tampang dungunya aku pas itu? Ah, rusaklah sudah citra kesan pertama!

Ternyata di daftar absen emang namaku ditulis Nici Kurniawaty! Yak, terima kasih bapak-bapak Tata Usaha yang udah salah baca. Padahal aku udah ukir tulisan namaku di formulir pendaftaran pas daftar ulang. Apalah daya hasil ukirannya kelewat berkelas! N-i-a dibaca jadi N-i-c-i. 

Yak begitulah, akhirnya nama Nici masih kepake sampe sekarang. Ada satu orang yang tetep setia manggil aku dengan nama Nici. Apalagi dia seolah menularkan ke orang-orang untuk ikut memanggilku dengan sebutan itu. :D

Beberapa hari yang lalu, aku gabung dalam sebuah Kampus Menulis. Dia, iya orang itu, mengenalkanku sebagai Nici di dalam Kampus itu. Hem, Nici? Not badlah ya... Aku putusin pake nama itu sebagai nama penaku. Kayaknya udah harus membiasakan nih dipanggil (oleh lebih banyak orang) dengan nama Nici. ^^