Kegiatan pesantren kilat tahun 2014 lalu memang sudah selesai, tapi bagi kami (peserta pesantren kilat itu) justru semuanya baru akan dimulai. Saat itu kami mengantri, menunggu giliran untuk mendaftarkan diri. Jangan ditanya kenapa aku mau ikutan kegiatan itu. Kalian tau kan kenapa? Yap, lagi dan lagi, kakakku yang mengajakku! Aku belum paham kegiatan seperti apa yang dimaksud itu. Sedikit yang kutau, Ustad Fatih Karim (salah satu narasumber saat itu) menawarkan sebuah kajian intensif, untuk yang mau bangkit dari posisi umat muslim yang pasif.
*FYI, buat yang masih roaming, baca dulu postinganku sebelumnya tentang Pesantren Kilat
Kajian intensif. Direncanakan pertemuannya setiap dua kali dalam sebulan. Pesertanya nggak boleh lebih dari 50 orang. Kenapa sih dibatasin jumlah pesertanya? Karena konsep kajian ini beda sama tabligh akbar atau semacamnya. Kajian ini harus konsisten! Konsisten datang di setiap pertemuannya, konsisten semangat cari ilmunya, konsisten sama niat untuk istiqomahnya. Materi yang akan dibahas itu saling berkaitan di setiap pertemuan, makanya diharapkan bisa hadir secara rutin. Biar ilmunya nyambung! Kalimat yang Ustad Fatih pernah bilang itu begini, "Ibarat kita mau install software di komputer, berarti kita harus install sampai 100%. Kalau belum 100% udah berenti, ya jadinya software-nya error, nggak bisa dipake. Begitu juga sama diri kita. Kalau kita mau install diri kita dengan software islam, jangan setengah-setengah, harus full! Biar diri kita nggak error."
Jadi peraturannya begini:
1. Konsisten hadir di setiap pertemuan (boleh nggak hadir kalau alasannya syar'i, contoh: menemani orang tua yang sakit, nggak diijinin sm suami, memenuhi undangan resepsi kerabat, saudara/kerabat ada yang meninggal, atau alasan-alasan syar'i lainnya)
2. Apabila nggak hadir lebih dari 3x atau selama 2x pertemuan berturut-turut, maka dipersilahkan mengundurkan diri (karena kemungkinan udah ketinggalan materi---susah nyambung lagi)
3. Ada hafalan yang harus disetorkan di setiap pertemuan. Kemudian di pertemuan terakhir nantinya peserta harus menyetorkan hafalan dari awal sampai akhir
4. Selama kajian berlangsung, handphone harus di-silent, kalau terdengar suara handphone selama kajian berlangsung, maka handphone-nya akan disedekahkan :p
Ya jadi kira-kira begitulah beberapa peraturannya. Awalnya aku sempat berpikir, 'Wow, peraturannya ketat juga! Tapi, aku tertantang...'
Saat itu, aku dan kakakku memutuskan untuk mendaftarkan seluruh anggota keluargaku (mama, papa dan kedua adikku). Kapan lagi kan bisa ngaji sekeluarga? Toh, kajiannya juga diadakan setiap Hari Minggu, jadi nggak bentrok sm waktu kerja.
Aku juga menyempatkan diri untuk share informasi ini ke teman-temanku yang lain. Tapi, yah, yang namanya kegiatan keagamaan, sedikit lah yang tertarik untuk ikut. Apalagi dengan peraturan yang cukup ketat, yakni harus hadir di setiap pertemuan. Berat, coy! Alhamdulillah, ada dua orang yang berhasil aku hasut untuk ikut.
Oh iya, waktu itu jumlah peserta yang terdata melebihi 50 orang. Padahal kan Ustad Fatih sudah menetapkan batas maksimal peserta. Tapi, Ustad Fatih bilang, 'Karena banyak yang mau belajar islam, masa' sih ditolak?' Akhirnya diputuskanlah kajian intensif ini membuka dua kelas, yaitu kelas siang dan kelas sore.
Singkat cerita, pertemuan pertama diadakan di salah satu ruangan di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu hari Minggu, tanggal 14 September 2014. Di pertemuan pertama itulah disampaikan lebih rinci mengenai peraturan-peraturannya dan buku apa yang akan dipakai. KDII adalah sebutan untuk kajian ini. Apa sih KDII? Kajian Dasar Islam Intensif. Di kajian ini kita belajar sama-sama untuk memahami Islam, dari akar hingga daunnya.
Materi pertama yang dibahas adalah tentang perjalanan hidup manusia, yakni memahami hakikat hidup hingga akhir perjalanan kehidupan. Ngena banget pembahasan ini! Aku masih ingat sampai sekarang isi materinya. Benar-benar menjadi dasarnya! Tepat banget deh dijadiin materi pertama. Bikin nagih buat ikut kajian berikutnya!
Pertemuan pertama itu menjadi pertemuan pertama dan terakhir di Masjid Agung Sunda Kelapa. Loh, kenapa? Karena untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya, kami pindah lokasi. Di sebuah ruko (milik Mas Mono) di daerah Tebet, namanya Rumah Ilmu. Rumu, begitu biasa kami menyebutnya. Alhamdulillah lokasinya semakin dekat dengan rumah. Terima kasih Mas Mono sudah berbaik hati meminjamkan tempat untuk kami. Semoga semakin barokah usaha Ayam Bakar Mas Mono-nya. Aamiin...
Pertemuan demi pertemuan berlanjut. Materinya nggak pernah mengecewakan. Aseli, nagih! Alhamdulillah aku dan keluargaku bisa konsisten ikut kajian ini, walaupun papa sempat nggak hadir satu atau dua kali karena bentrok dengan tugas dinas ke luar kota, mama juga sempat nggak hadir karena kondisi kesehatan kurang oke, adikku juga sempat nggak hadir karena bentrok dengan agendanya ke Jepang, aku pun sempat nggak hadir karena bentrok dengan hari pernikahan sahabatku di Purwakarta dan Tambun. Berbeda dengan kakakku dan adik bontotku yang selalu hadir konsisten di setiap pertemuan. Bahkan si bontot ketika bentrok dengan kegiatan kampus di luar kota, dia menyempatkan mengejar pertemuan kajian di kelas sorenya. Salut! (FYI, kami sekeluarga mengambil jadwal kelas siang).
Yah yang namanya kegiatan keagamaan, pasti ada aja godaan untuk malas datang. Tapi mungkin karena aku ikut kajian sekeluarga, jadi nggak ada alasan untuk bermalas-malasan. Kami saling mengingatkan ketika diantara kami lagi diserang rasa malas ikut kajian. Kami berangkat bersama-sama, konvoi tiga motor karena jumlah anggota keluarga kami genap berenam! Alhamdulillah nikmatnya.... Meskipun pernah juga kami berpencar, ada yang datang kelas siang, ada yang datang kelas sore. Itu karena kami berbeda kesibukan, berbeda waktu luang. Alhamdulillah Ustad Fatih memberi kemudahan untuk pindah kelas kalau ada agenda yang bentrok, karena materi pembahasan antara kelas siang dan kelas sore sama. Fleksibel!
Kalau ditanya, 'Bagaimana kesannya ikut KDII?'
Aku ngerasa nggak akan ada cukupnya mengucap 'Alhamdulillah...' karena ini salah satu nikmat yang luar biasa! Tertulis dalam skenario-Nya dan dengan ijin-Nya, aku bisa mengaji sekeluarga, memperdalam ilmu agama, sekaligus mereparasi jiwa. Walaupun hampir di setiap pertemuan akan keringat dingin sih karena harus setor hafalan.. :p
Melalui KDII aku belajar banyak hal. Setiap kali datang ke kajian, setiap kali itu juga aku merasa tertampar. Kenapa? Aku disadarkan bahwa aku masih sangat jauh dari ketaatan.
Seperti yang sebelumnya aku bilang, materi di pertemuan pertama adalah materi yang paling menikam! Tentang perjalan hidup manusia. Di sini, aku disadarkan bahwa hidup di dunia itu benar-benar cuma sebentar. Nggak ada lagi waktu untuk santai atau serba 'entar'! Sebagaimana sebuah hadis yang mengatakan, "Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat." (HR. Bukhari)
Sejujurnya aku masih seringkali 'pura-pura' lupa tentang kematian. Aku masih asik menikmati tipu daya dunia. Salat sekedarnya, sedekah seadanya, melaksanakan sunnah sesempatnya, menutup aurat pun seperlunya. Ah, bagaimana bisa menjadi hamba dambaan-Nya? Jangan mimpi bisa bersama Rasul-Nya di surga! *selftalk*
Di pertemuan pertama itu, aku diingatkan lagi tentang kematian. Iya, kematian adalah gerbang untuk kehidupan yang kekal. Itu yang seharusnya dipersiapkan! Aku seringkali terlalu percaya diri seolah aku akan hidup berpuluh-puluh tahun lagi. 'Ah, aku kan masih muda. Perjalananku masih panjang.' Padahal dimana pun kita saat ini, ada 99 macam sebab kematian, entah kecelakaan, tertimpa reruntuhan bangunan, keracunan makanan, atau pun hal lainnya. Lantas, kenapa kita masih santai saja? Tertuang jelas dalam sebuah hadis, "Manusia itu seakan-akan dikepung oleh 99 macam sebab kematian. Jika semua itu gagal mengenainya, dia pasti tidak bisa mengelak dari USIA TUA".
See?
Masihkah harus jungkir balik mengejar dunia? Padahal jelas-jelas apa yang ada di dunia nggak akan kita bawa.
Di pertemuan pertama KDII itu, beberapa hal yang juga menjadi pengingat untuk diriku sendiri adalah:
1. "Kematian itu nomor cabut, bukan nomor urut". Jangan berpikir bisa santai dan serba entar mentang-mentang orang tua / nenek-kakek masih hidup. Kita nggak pernah tau jatah umur kita sampai berapa tahun.
2. "Setelah kita pergi dari dunia ini, pilihan kita cuma dua: SURGA atau NERAKA". Ya, cuma dua. Surga atau Neraka? Nggak ada yang tengah-tengah. Kalau memang mau masuk surga, ya dapetin tiket surganya, lakuin yang sesuai agama, jangan setengah-setengah! Ustad Fatih pernah bilang, "Ketika akan melakukan sesuatu, pikirkanlah, apa yang akan kamu lakukan itu akan menjadi tiket menuju surgamu, atau justru menjadi tiket menuju nerakamu? Jika kamu terus mempertimbangkan itu sebelum melakukan sesuatu, maka perbuatanmu akan selalu mengantarmu pada tujuanmu."
3. "Bayangkan ketika kamu akan pergi ke Bandung, kemudian kamu beristirahat di sebuah Rest Area. Apakah kamu akan menyewa hotel untuk beberapa malam di Rest Area, padahal Bandung adalah tujuanmu yang utama?" Begitulah, kenapa masih saja jungkir balik mengejar dunia, padahal tujuan akhirmu adalah akhirat. Bekal apa yang akan kamu bawa? Sebagaimana yang Umar Ibnu Khattab katakan, "Letakkan kehidupan dunia itu dalam genggaman tanganmu, jangan letakkan dunia di dalam hatimu". So, dunia sekedarnya, akhirat yang utama!
OUR TIME IS LIMITED!
Sejak kajian pertemuan pertama itu, aku disadarkan untuk lebih mempertimbangkan apa pun yang akan aku lakukan. Hanya sebatas untuk dunia, atau bisa menjadi bekalku nanti 'di sana'?
Materi berikutnya yang menamparku adalah mengenai kecintaan kepada Allah dan kepada Al-Qur'an. Malu! Iya, sungguh membuatku malu. Pernahkah kamu tertarik pada seseorang? Bagaimana rasanya ketika kamu dapat surat / sms / bbm / apa pun itu, dari dia? Senang? Merasa nggak sabar membacanya? Bahkan ketika kamu telah membacanya kesekian kali, kamu akan tetap senyum-senyum sendiri. Bukan begitu? Lantas, bagaimana dengan yang mengaku sayang / cinta sama Allah (bahkan levelnya sudah bukan 'tertarik' lagi)? Sudahkah senang membaca Al-Qur'an? Adakah keinginan membacanya berulang-ulang?
"Al-Qur'an itu surat cinta dari Allah, loh! Bukti cinta dan sayang Allah kepada hamba-Nya. Sudah seberapa sering membacanya?" -Ustad Fatih-
Aku tertampar. Aku seharusnya tau diri! Bagaimana bisa aku mengaku cinta Allah kalau aku lebih sering menggenggam smartphone-ku daripada surat cinta dari Rabb-ku? Bagaimana bisa aku mengaku sayang Allah kalau aku lebih rela nggak bawa 'surta cinta' itu dibandingkan nggak bawa smartphone-ku?
Aku lebih tertampar lagi ketika pembahasan menjadi lebih dalam mengenai iman. Di kelas KDII ditegaskan bahwa iman itu bukanlah sekedar ikut-ikutan. Diri kita ini perlu diperbaiki, bukan revolusi! Karena revolusi itu mengganti akarnya, sedangkan akar kita sudah bagus, yaitu Islam, dengan Al-Qur'an sebagai pedoman. Kamu mengerti maksudnya pedoman? Ya, semua perilakumu didasarkan padanya. Ya, SEMUANYA! Sedangkan aku, apa? Masih saja memilah-milah isi surat di dalamnya.
Ketika Al-Qur'an menyatakan bahwa memakan babi itu haram, apakah kamu akan tetap memakan babi? Tentu saja tidak, aku tidak mau.
Ketika Al-Qur'an menyatakan bahwa tidak boleh meminum minuman yang memabukkan, apakah kamu masih meminumnya? Tidak, aku tidak berani meminumnya.
Ketika Al-Qur'an menyatakan bahwa riba itu dosa besar, apakah kamu masih melakukannya? Hem... *mikir* aku masih nabung di Bank konvensional sih. Tapi, mau gimana lagi...
Ketika Al-Qur'an menyatakan bahwa setiap muslimah harus menutup aurat, apakah kamu langsung melakukannya? Hem... *mikir* baru mulai 'membungkus' aurat sih, masih memamerkan lekuk tubuh. Tapi, yang penting kan auratnya nggak keliatan...
Ketika Al-Qur'an menyatakan jangan mendekati zina, apakah kamu langsung menjauhinya? Hem... *mikir* itu... anu... aku... Tapi, nggak macem-macem kok...
Nah, nah, nah!
Di pertanyaan-pertanyaan awal, kamu bisa menjawabnya dengan tegas. Kenapa di beberapa pertanyaan terakhir kamu menjawabnya dengan ragu dan penuh kata 'tapi'? Padahal kan semuanya sama-sama bersumber dari Al-Qur'an.
Kenapa? Kamu kurang setuju dengan hukum-hukum yang itu?
Sekarang coba kamu ambil Al-Qur'an, kamu cari ayat-ayat yang mengatur hukum itu, kalau kamu nggak suka, coba kamu ambil gunting untuk menggunting bagian itu. Kamu buang. Berani?
Diem. Kicep!
Merasa tertampar? Merasa tertikam?
Itu aku.
Betapa cacatnya akhlakku!
Aku pernah berpikir, "iri deh sama si A, yang bisa istiqomah di jalan Allah. Da aku mah apa atuh, masih ngelanggar hukum yang ini, hukum yang itu. Ah, tapi mungkin memang ditakdirkan Allah aku begini. Ya mau gimana lagi?"
Hey, jadi, semua karena takdir Allah?
Jangan main-main! Di kelas KDII ini nyaris semuanya dikupas habis.
Bahas apa tadi? Takdir Allah?
Menyalahkan takdir Allah?
Ada dua lingkaran dalam takdir Allah:
1. Lingkaran di dalam kuasa kita (bisa kita ubah)
2. Lingkaran di luar kuasa kita (tidak bisa kita ubah)
Contoh: Ada orang yang mencari nafkah sebagai pekerja seks komersial (PSK). Ketika ditanya, "mbak, kok mau kerja jadi beginian?" terus dia jawab, "ya mau gimana lagi, takdirnya begini".
Pertanyaannya, itu masuk lingkaran yang pertama atau yang kedua?
Pertama.
Yap, lingkaran pertama! Dia punya kuasa untuk berhenti dari lingkungan kerja itu dan mencari yang lebih baik.
Kalau ada yang bilang, "tapi kok Allah ngijinin aja manusia itu kerja di tempat yang 'kotor'?"
Sama halnya dengan pencuri. Ketika ada pencuri yang berhasil mendapatkan dompet / tas milik orang lain, mungkin dia berpikir, "Aku berhasil mencuri. Segala sesuatu kan terjadi atas ijin Allah, berarti Allah mengijinkan aku mencuri."
Tidak, tidak!
Bukan begitu. Kamu tau? Bukan itu yang seharusnya kamu tanyakan. Mungkin Allah memang mengijinkan itu terjadi, tapi apakah Allah ridho kamu melakukan hal keji? Mulai sekarang, ubah mindset-mu, bro!
Lantas, yang dimaksud lingkaran kedua itu seperti apa? Lingkaran kedua itu kan lingkaran yang di luar kuasa kita (tidak bisa kita ubah), contoh: kita terlahir sebagai perempuan (nggak bisa milih menjadi laki-laki), kita terlahir dari rahim ibu kita (nggak bisa milih kita mau ibu yang mana), manusia yang terlahir dengan kondisi tubuh yang tidak sempurna (tidak bisa memilih bagian tubuh mana yang mau dihilangkan) dan contoh-contoh serupa lainnya.
Oh iya, pada tahapan ini, ada kisah nyata yang luar biasa, yang dialami langsung oleh jamaah KDII. Dia seorang laki-laki. Awalnya bekerja di salah satu bank ternama, dengan jabatan yang oke punya! Tapi ternyata materi di kelas KDII (tepatnya tentang riba dan takdir) telah mengobrak-abrik hati kecilnya. Dia tersiksa dengan kenyataan bahwa penghasilan yang selama ini dia dapatkan adalah hasil riba. Kemudian dia menjadikan materi tentang takdir itu sebagai pedomannya. Dia menyadari kalau apa yang dia alami masih berada pada lingkaran pertama, yakni semua masih dalam kuasanya. Oleh karena itu, dia memilih resign dan kembali mencari kerja. Luar biasa! Kini, dia sudah bekerja di sebuah perusahaan mobil dengan gaji yang ternyata lebih oke punya!
Masya Allah... Janji Allah itu memang benar. Ketika kita meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Sering kali kita kekeuh sama pilihan kita, ngerasa sok tau kalau itu yang terbaik. Padahal cuma Allah Yang Maha Tau. Da kita mah apa atuh...
Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah, ayat 216: "...Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."
Jadi, perbuatan manusia itu dinilainya sama Allah karena yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya. Tapi dari kitab Allah kita bisa tau hukum-hukum syara' sebagai pedoman perilaku kita. Nggak usah dibikin pusing sama 'apa kata orang', lakukan segala sesuatunya sesuai hukum syara', insya Allah nggak akan salah jalan. Kalem, sis! :D
Tapi sekarang ini, banyak umat islam yang malas belajar tentang ilmu islam itu sendiri. Ini nih yang jadi problematika internal buat kita, umat islam. Parahnya lagi dimeriahkan dengan problematika eksternal, semacam racun dari kaum yahudi, pemurtadan, misionaris dan lain sebagainya.
Apa kabar Islam kalau begini ceritanya? Yakin rela kalau Islam 'dijajah' secara halus kayak begini terus? Habis lama-lama Islam digerus!
Ya, mentang-mentang sih ya di Al-Qur'an dikatakan bahwa kelak Islam akan berjaya lagi. Dan kalian percaya kan kalau janji Allah itu pasti benar? Lantas, kita malah berpikir, "Yaudah sih, kan Allah udah menjanjikan, nantinya Islam akan bangkit. Islam akan penuh kemenangan! Kalem."
Terus, kita cuma ongkang-ongkang kaki gitu aja sambil nunggu semuanya terjadi? Hellow! Jangan mental yang kayak begitu ah yang dipelihara. :p
Ayo, belajar dari sosok Muhammad Al-Fatih! Ketika waktu itu dikatakan bahwa akan ada seseorang yang meruntuhkan Kerajaan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih langsung menanamkan pada dirinya, "Itu aku, itu aku, itu aku!". Dan ternyata terbukti dia berhasil! Nah, mental yang kayak gini nih yang harus kita punya! Beli dimana ya mental yang kayak begitu? *ups :D
Yuk sama-sama action! Jangan cuma ongkang-ongkang kaki aja. Emang situ juragan? :p
Lakukan apa yang bisa kamu lakukan. Bukankah setiap orang punya caranya masing-masing?
Menulis dan memposting di media sosial adalah langkah kecilku untuk memulai, bagaimana dengan caramu? :D
Sampaikanlah...
"Jika sekiranya seorang muslim tidak memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat."
(Hasan Al-Bashri rahimahullah)
Apa?
Kamu ngerasa ilmu yang kamu punya masih terlalu dangkal untuk memulai?
Hey, kamu pikir aku udah sebaik apa?
Come on!
"Sampaikanlah walau hanya 1 ayat,"
1 ayat, coy! Masa' 1 ayat aja nggak bisa juga? Emang situ anak balita? Hafidz Qur'an cilik aja udah merajalela.. Malu ah kalo udah tua, masih ngumpet aja :p
Yuk, kita mulai dari sekarang!
Sampai bertemu di gerbang kemenangan, kawan! Barakallah... ^^
----------------------------------------------------------------
FYI, KDII nggak cuma diadain di Tebet loh!
Ustad Fatih pernah cerita kalau ngebuka juga kelas KDII di Bintaro, bahkan Bandung pun ada.
Insya Allah, setelah lebaran nanti kelas KDII akan dibuka lagi di Tebet.
Ada yang mau join?
Oh iya, di setiap pertemuannya memang ada biaya
(kurang lebih untuk konsumsi),
tapi dijamin nggak akan seberapa nilainya dibanding ilmu yang akan didapet! ^^
----------------------------------------------------------------
Terima kasih KDII atas bekalnya untuk berbenah diri,
Terima kasih Ustad Fatih atas ilmunya untuk dibagi, atas waktunya untuk berbagi...