Hati
ini sesak dengan kebimbangan dan dibanjiri tanda tanya yang tertuju untuk diri
sendiri. Setelah cukup merasa tertampar dengan buku karangan seorang ustad yang
mualaf, aku tertarik pada buku lain karangan seorang muslimah yang anggun.
Muslimah dengan jilbab ‘lebar’-nya ini memaparkan berbagai kisah nyata dari para
perempuan, khususnya para istri, mengenai perjuangan mereka yang luar biasa
dalam mempertahankan bahtera rumah tangga mereka masing-masing.
Berbagai
macam kisah yang menggetarkan hati terangkum dalam buku itu. Buku kedua yang
seolah menyampaikan salam-Nya untuk menegurku. Salah satu kisah dalam buku itu
adalah mengenai seorang istri yang memperjuangkan rumah tangganya selama lima
belas tahun, dengan sosok suami dambaan, sosok suami terbaik di seluruh dunia,
menurutnya. Akan tetapi siapa sangka suami yang didamba-dambakan ternyata
menjalin hubungan dengan perempuan lain, tanpa sepengetahuan sang istri, sudah tiga
tahun terakhir.
Ah, tiga tahun. Bagaimana jadinya jika aku berada
di posisi sang istri itu? Semoga Allah memberinya kekuatan untuk tetap percaya
pada hikmah yang diselipkan-Nya.
Bentuk
kisah lain yang digambarkan dalam buku itu adalah pengakuan seorang suami yang
mengaku sama sekali tidak mencintai istrinya, padahal mereka telah memiliki
empat orang anak. Bagaimana mungkin terlahir empat buah cinta tanpa adanya rasa
cinta? Ya Allah, sungguh tiada yang benar-benar tau apa maksud yang Kau
selipkan dalam setiap rencana terbaik-Mu. Rasaya sangat tidak mungkin seorang
suami yang dulunya aktivis rohis kampus, dengan dalamnya ilmu agama, justru
melakukan hubungan intim dengan perempuan lain di belakang istrinya. Juga
bagaimana mungkin seorang suami yang seiring bertambahnya usia justru semakin
bertambah kegilaannya, dengan memamerkan hubungan mesranya bersama
perempuan-perempuan lain, di depan istrinya, bahkan di depan anak-anaknya. Astaghfirullah…
Padahal
hampir seluruhnya dari kisah-kisah itu dimulai dengan keharmonisan dan
kemesraan yang sang suami tunjukkan untuk istrinya. Ya, untuk sang istri.
Seorang perempuan yang seharusnya menjadi ratu di dalam rumah tangga itu. Hanya
Allah Yang Maha Mampu Membolak-balikkan Hati.
Siapa sangka keromantisan itu akan sirna dan
berubah menjadi tantangan besar dalam hidup seorang perempuan?
Terdapat
beberapa kisah lain yang seolah memancing hati kecilku, yang juga seorang
perempuan, untuk memberontak dan teriak. Semoga Allah memberikan kekuatan yang
tiada batas kepada para perempuan yang memperjuangkan rumah tangga mereka, meski
sang suami membuat keadaan itu timpang.
Telah hilangkah rasa cinta seorang suami terhadap
istrinya setelah bertahun-tahun hidup bersama? Atas alasan apa? Ah, cinta.
Manusia mana yang benar-benar mengetahui arti rasa itu sesungguhnya?
Dua
buku yang baru saja kulahap itu memunculkan banyak pertanyaan untuk diriku
sendiri. Betapa tidak mudahnya mempertahankan sebuah rumah tangga. Terlebih
lagi jika suami tak lagi mempedulikan keberadaan sang perempuan, sebagai
istrinya. Mereka yang sudah terjalin ikatan suci pernikahan saja masih
mendapatkan perlakuan tidak terpuji dari sang suami. Bukankah ketika meminang
sang istri, suami tersebut melafalkan janji yang seharusnya ia tepati dan ia
bawa sampai mati?
Ah, janji.
Membicarakan
janji seorang lelaki, bukan tidak pernah aku mendengar sang pacar mengucap
janji. Pacarku juga kan seorang lelaki! Jika yang sudah berumah tangga saja
masih berpeluang menerima perilaku yang tidak bermartabat itu, apalagi aku yang
hanya sebatas pacaran? Ya, kutegaskan sekali lagi, hanya p-a-c-a-r-a-n.
Aku
mencoba merangkum dan menarik benang merah dari dua buku yang penuh makna itu.
Sepertinya memang tiada manfaat yang didapat dari pacaran.
Ada yang memperhatikan setiap hari. Ada yang
menemani untuk pergi ke sana kemari, terutama ke beberapa undangan penting. Ada
yang melindungi. Ada pundak yang siap menjadi sandaran. Ada telinga yang siap
mendengarkan keluh kesah. Ada yang memotivasi menggapai mimpi.
Begitukah?
Tidak. Sekali pun iya, apakah semua itu akan menjamin ia tetap setia dan tidak
mengubah sikapnya setelah berpuluh-puluh tahun lamanya menjalani hidup bersama?
Pacaran hanya akan merugikan kaum perempuan, katanya.
Lelaki diciptakan dengan naluri mengembara, yang
hanya akan berlabuh dalam ikatan pernikahan.
Sebuah
kalimat dalam salah satu buku itu membuatkku tertegun.
Pertengkaran-pertengkaran kecil bukan tidak pernah terjadi dalam hubunganku
dengan sang pacar. Bertengkar karena masalah perempuan lain? Ah, tidak hanya
sekali atau dua kali sepertinya. Beberapa kali kudapati adanya perempuan lain
yang masuk dalam hubungan ini, baik melalui pesan singkat atau melalui media
sosial. Dari mulai janji bertemu hingga kirim-kiriman pesan suara dengan
perempuan lain rasanya pernah membumbui hubungan ini selama hampir tiga tahun. Adakah
alasan aku menepis kalimat bercetak miring itu?
Jika dia berani membantah Allah dengan mengajakmu pacaran (padahal Allah
tidak menghalalkan, bahkan tidak menganjurkan hamba-Nya berpacaran), maka bukan
tidak mungkin dia akan mengajak orang lain berpacaran, bahkan ketika kau telah
‘sah’ menjadi miliknya. Toh sama saja berbuat dosa kepada Allah. Jika dia
berani memanggilmu sayang (padahal Allah tidak menghalalkan panggilan itu untuk
yang bukan mahram), maka bukan tidak mungkin dia akan memanggil sayang kepada
orang lain, bahkan ketika kau telah ‘sah’ menjadi miliknya. Toh sama saja
berbuat dosa kepada Allah. Aku sudah terlanjur berbuat dosa sejak pacaran dulu,
mungkin akan seperti itu katanya.
Ah,
kalimat panjang itu kembali membuatku tertegun, bahkan lebih lama dari
sebelumnya. Bukan tidak pernah aku memergoki sang pacar bersayang-sayangan
dengan perempuan lain, bahkan panggilan ‘mamih-papih’ pun pernah menjadi
sebutan akrab antara sang pacar dengan perempuan lain. Terluka? Tentu saja.
Tapi yang perlu aku garis bawahi di sini adalah lelaki itu pacarku, bukan
suamiku.
Calon suami?
Hhhmm,
ingin rasanya aku menjawab, Ya. Bagaimana
tidak, kurasa hampir semua perempuan seusiaku sudah bukan waktunya lagi
menjalin hubungan sia-sia, selain untuk merajut mimpi ke jenjang yang lebih
tinggi.
Tapi kembali hati ini dibanjiri pertanyaan-pertanyaan lain. Jika masih
menjadi pacar saja semua ini pernah terjadi, apakah kelak ketika ia menjadi
suami, ia akan melakukan hal yang jauh lebih parah daripada yang selama ini
terjadi? Wallahu’alam. Naudzubillah min dzalik...
Jaga kehormatanmu, raih kemuliaanmu. Pacaran hanya
akan merugikan kaum perempuan. Ingat, laki-laki dilihat dari masa depannya,
sedangkan perempuan dilihat dari masa lalunya.
Ah,
merasa tertampar untuk kesekian kalinya. Sesak sekali! Sebagai seorang
perempuan, jelas terasa aku tak pandai menjaga kehormatan. Berpegangan tangan,
duduk berdekatan, berbonceng motor dengan tanganku yang melingkari pinggangnya, ah… Sebelumnya aku tiada merasa khawatir dan menganggap hal-hal itu adalah
wajar. Betul rasanya bahwa setan sangat lihai mengelabui manusia. Semua terasa
indah sekali, seolah tiada yang salah. Tanpa disadari, semakin sering bersama,
semakin tumbuh perasaan yang tidak seharusnya, untuk sosok yang sebenarnya
belum menjadi mahram.
Bukan tidak mungkin sang suami kelak akan bertanya,
“Bunda, aku cintamu yang keberapa? Apa saja yang pernah kau lakukan dengan
mantan pacarmu, Bunda?”
Ya,
tiada yang benar-benar tahu, apakah sang pacar yang akan menjadi suamiku kelak?
Atau hubungan ini akan kandas dan kami jatuh cinta pada orang lain serta
membangun rumah tangga masing-masing? Wallahu’alam.
Jangan
tanyakan lagi apa kabar hatiku saat ini. Berbagai pertanyaan mewarnainya hingga
terasa tak jelas lagi apa warna hatiku saat ini. Berbagai perasaan memenuhinya
hingga terasa begitu sesak. Seolah menjadi ring tinju yang pas untuk pergulatan antara rasa dan logika.
Malu. Malu kepada Allah
karena aku belum menjadi hamba-Nya yang benar-benar mencintai-Nya, karena aku
berbagi rasa cinta itu dengan manusia ciptaan-Nya, yang bahkan belum menjadi
mahramku.
Khawatir.
Khawatir pada segala janji dan rasa yang pernah sang pacar ungkapkan selama ini,
bahkan segala bentuk perhatian yang juga hampir selalu ia tunjukkan, akankah menguap
seiring berjalannya waktu?
Takut. Takut dengan
bayang-bayang suamiku kelak (yang mungkin adalah lelaki yang berbeda dari
lelaki dalam hubungan yang kujalin saat ini), akankah ia dapat menerima dan
tetap menghormatiku meski aku tidak semulia muslimah-muslimah lain yang menjaga
rasa cintanya hanya untuk Sang Pencipta?
Bimbang.
Bimbang karena meskipun sederet bumbu tak sedap pernah tertuang dalam hubungan
yang kujalin saat ini, bahkan setelah membaca kedua buku itu, aku masih belum
mampu memantapkan hati untuk menyudahi hubungan ini.
Sedih. Sedih karena aku
pun harus mengakui betapa rasa ini tumbuh begitu saja untuk seorang lelaki
dalam hubungan yang kujalin selama hampir tiga tahun terakhir ini. Ya, tidak
munafik, aku menyayanginya. Bahkan mungkin lebih dari apa yang lelaki itu tahu.
Sang pacar juga bukan hanya sekali mengatakan betapa ia sangat menyayangiku. Tetapi
semakin kuyakini perasaan ini, semakin terasa sakit tamparan yang mendarat di
pipi, lebih tepatnya menusuk hati. Terlebih lagi ketika teringat satu kalimat, bahwa:
Ucapan sayang tidak menyelamatkan wanita dari
kerugian.
Ah,
pedih! Lalu aku harus apa dan bagaimana? Ya Allah, semoga aku selalu berada
dalam perlindungan-Mu yang tanpa cela. Jika memang yang terbaik untukku
(menurut-Mu) adalah dengan menghapus rasa ini untuknya, tolong ajarkan aku
melakukannya. Maafkan aku karena aku telah membagi cinta yang seharusnya saat
ini hanya kuberikan kepada-Mu, wahai Sang Maha CINTA...
*tulisan ini diambil dari tumpukkan file-file dalam folder laptop pribadiku, tertanggal 30 Maret 2013.