Sabtu, 15 November 2014

Apa Kabar Hati? (part II)


Hati ini sesak dengan kebimbangan dan dibanjiri tanda tanya yang tertuju untuk diri sendiri. Setelah cukup merasa tertampar dengan buku karangan seorang ustad yang mualaf, aku tertarik pada buku lain karangan seorang muslimah yang anggun. Muslimah dengan jilbab ‘lebar’-nya ini memaparkan berbagai kisah nyata dari para perempuan, khususnya para istri, mengenai perjuangan mereka yang luar biasa dalam mempertahankan bahtera rumah tangga mereka masing-masing.
Berbagai macam kisah yang menggetarkan hati terangkum dalam buku itu. Buku kedua yang seolah menyampaikan salam-Nya untuk menegurku. Salah satu kisah dalam buku itu adalah mengenai seorang istri yang memperjuangkan rumah tangganya selama lima belas tahun, dengan sosok suami dambaan, sosok suami terbaik di seluruh dunia, menurutnya. Akan tetapi siapa sangka suami yang didamba-dambakan ternyata menjalin hubungan dengan perempuan lain, tanpa sepengetahuan sang istri, sudah tiga tahun terakhir.

Ah, tiga tahun. Bagaimana jadinya jika aku berada di posisi sang istri itu? Semoga Allah memberinya kekuatan untuk tetap percaya pada hikmah yang diselipkan-Nya.

Bentuk kisah lain yang digambarkan dalam buku itu adalah pengakuan seorang suami yang mengaku sama sekali tidak mencintai istrinya, padahal mereka telah memiliki empat orang anak. Bagaimana mungkin terlahir empat buah cinta tanpa adanya rasa cinta? Ya Allah, sungguh tiada yang benar-benar tau apa maksud yang Kau selipkan dalam setiap rencana terbaik-Mu. Rasaya sangat tidak mungkin seorang suami yang dulunya aktivis rohis kampus, dengan dalamnya ilmu agama, justru melakukan hubungan intim dengan perempuan lain di belakang istrinya. Juga bagaimana mungkin seorang suami yang seiring bertambahnya usia justru semakin bertambah kegilaannya, dengan memamerkan hubungan mesranya bersama perempuan-perempuan lain, di depan istrinya, bahkan di depan anak-anaknya. Astaghfirullah
Padahal hampir seluruhnya dari kisah-kisah itu dimulai dengan keharmonisan dan kemesraan yang sang suami tunjukkan untuk istrinya. Ya, untuk sang istri. Seorang perempuan yang seharusnya menjadi ratu di dalam rumah tangga itu. Hanya Allah Yang Maha Mampu Membolak-balikkan Hati.

Siapa sangka keromantisan itu akan sirna dan berubah menjadi tantangan besar dalam hidup seorang perempuan?

Terdapat beberapa kisah lain yang seolah memancing hati kecilku, yang juga seorang perempuan, untuk memberontak dan teriak. Semoga Allah memberikan kekuatan yang tiada batas kepada para perempuan yang memperjuangkan rumah tangga mereka, meski sang suami membuat keadaan itu timpang.

Telah hilangkah rasa cinta seorang suami terhadap istrinya setelah bertahun-tahun hidup bersama? Atas alasan apa? Ah, cinta. Manusia mana yang benar-benar mengetahui arti rasa itu sesungguhnya?

Dua buku yang baru saja kulahap itu memunculkan banyak pertanyaan untuk diriku sendiri. Betapa tidak mudahnya mempertahankan sebuah rumah tangga. Terlebih lagi jika suami tak lagi mempedulikan keberadaan sang perempuan, sebagai istrinya. Mereka yang sudah terjalin ikatan suci pernikahan saja masih mendapatkan perlakuan tidak terpuji dari sang suami. Bukankah ketika meminang sang istri, suami tersebut melafalkan janji yang seharusnya ia tepati dan ia bawa sampai mati?

Ah, janji.

Membicarakan janji seorang lelaki, bukan tidak pernah aku mendengar sang pacar mengucap janji. Pacarku juga kan seorang lelaki! Jika yang sudah berumah tangga saja masih berpeluang menerima perilaku yang tidak bermartabat itu, apalagi aku yang hanya sebatas pacaran? Ya, kutegaskan sekali lagi, hanya p-a-c-a-r-a-n.
Aku mencoba merangkum dan menarik benang merah dari dua buku yang penuh makna itu. Sepertinya memang tiada manfaat yang didapat dari pacaran.

Ada yang memperhatikan setiap hari. Ada yang menemani untuk pergi ke sana kemari, terutama ke beberapa undangan penting. Ada yang melindungi. Ada pundak yang siap menjadi sandaran. Ada telinga yang siap mendengarkan keluh kesah. Ada yang memotivasi menggapai mimpi.

Begitukah? Tidak. Sekali pun iya, apakah semua itu akan menjamin ia tetap setia dan tidak mengubah sikapnya setelah berpuluh-puluh tahun lamanya menjalani hidup bersama? Pacaran hanya akan merugikan kaum perempuan, katanya.

Lelaki diciptakan dengan naluri mengembara, yang hanya akan berlabuh dalam ikatan pernikahan.

Sebuah kalimat dalam salah satu buku itu membuatkku tertegun. Pertengkaran-pertengkaran kecil bukan tidak pernah terjadi dalam hubunganku dengan sang pacar. Bertengkar karena masalah perempuan lain? Ah, tidak hanya sekali atau dua kali sepertinya. Beberapa kali kudapati adanya perempuan lain yang masuk dalam hubungan ini, baik melalui pesan singkat atau melalui media sosial. Dari mulai janji bertemu hingga kirim-kiriman pesan suara dengan perempuan lain rasanya pernah membumbui hubungan ini selama hampir tiga tahun. Adakah alasan aku menepis kalimat bercetak miring itu?

Jika dia berani membantah Allah dengan mengajakmu pacaran (padahal Allah tidak menghalalkan, bahkan tidak menganjurkan hamba-Nya berpacaran), maka bukan tidak mungkin dia akan mengajak orang lain berpacaran, bahkan ketika kau telah ‘sah’ menjadi miliknya. Toh sama saja berbuat dosa kepada Allah. Jika dia berani memanggilmu sayang (padahal Allah tidak menghalalkan panggilan itu untuk yang bukan mahram), maka bukan tidak mungkin dia akan memanggil sayang kepada orang lain, bahkan ketika kau telah ‘sah’ menjadi miliknya. Toh sama saja berbuat dosa kepada Allah. Aku sudah terlanjur berbuat dosa sejak pacaran dulu, mungkin akan seperti itu katanya.

Ah, kalimat panjang itu kembali membuatku tertegun, bahkan lebih lama dari sebelumnya. Bukan tidak pernah aku memergoki sang pacar bersayang-sayangan dengan perempuan lain, bahkan panggilan ‘mamih-papih’ pun pernah menjadi sebutan akrab antara sang pacar dengan perempuan lain. Terluka? Tentu saja. Tapi yang perlu aku garis bawahi di sini adalah lelaki itu pacarku, bukan suamiku.

Calon suami?

Hhhmm, ingin rasanya aku menjawab, Ya. Bagaimana tidak, kurasa hampir semua perempuan seusiaku sudah bukan waktunya lagi menjalin hubungan sia-sia, selain untuk merajut mimpi ke jenjang yang lebih tinggi.
Tapi kembali hati ini dibanjiri pertanyaan-pertanyaan lain. Jika masih menjadi pacar saja semua ini pernah terjadi, apakah kelak ketika ia menjadi suami, ia akan melakukan hal yang jauh lebih parah daripada yang selama ini terjadi? Wallahu’alam. Naudzubillah min dzalik...

Jaga kehormatanmu, raih kemuliaanmu. Pacaran hanya akan merugikan kaum perempuan. Ingat, laki-laki dilihat dari masa depannya, sedangkan perempuan dilihat dari masa lalunya.

Ah, merasa tertampar untuk kesekian kalinya. Sesak sekali! Sebagai seorang perempuan, jelas terasa aku tak pandai menjaga kehormatan. Berpegangan tangan, duduk berdekatan, berbonceng motor dengan tanganku yang melingkari pinggangnya, ah… Sebelumnya aku tiada merasa khawatir dan menganggap hal-hal itu adalah wajar. Betul rasanya bahwa setan sangat lihai mengelabui manusia. Semua terasa indah sekali, seolah tiada yang salah. Tanpa disadari, semakin sering bersama, semakin tumbuh perasaan yang tidak seharusnya, untuk sosok yang sebenarnya belum menjadi mahram.

Bukan tidak mungkin sang suami kelak akan bertanya, “Bunda, aku cintamu yang keberapa? Apa saja yang pernah kau lakukan dengan mantan pacarmu, Bunda?”

Ya, tiada yang benar-benar tahu, apakah sang pacar yang akan menjadi suamiku kelak? Atau hubungan ini akan kandas dan kami jatuh cinta pada orang lain serta membangun rumah tangga masing-masing? Wallahu’alam.

Jangan tanyakan lagi apa kabar hatiku saat ini. Berbagai pertanyaan mewarnainya hingga terasa tak jelas lagi apa warna hatiku saat ini. Berbagai perasaan memenuhinya hingga terasa begitu sesak. Seolah menjadi ring tinju yang pas untuk pergulatan antara rasa dan logika.

Malu. Malu kepada Allah karena aku belum menjadi hamba-Nya yang benar-benar mencintai-Nya, karena aku berbagi rasa cinta itu dengan manusia ciptaan-Nya, yang bahkan belum menjadi mahramku.

Khawatir. Khawatir pada segala janji dan rasa yang pernah sang pacar ungkapkan selama ini, bahkan segala bentuk perhatian yang juga hampir selalu ia tunjukkan, akankah menguap seiring berjalannya waktu?

Takut. Takut dengan bayang-bayang suamiku kelak (yang mungkin adalah lelaki yang berbeda dari lelaki dalam hubungan yang kujalin saat ini), akankah ia dapat menerima dan tetap menghormatiku meski aku tidak semulia muslimah-muslimah lain yang menjaga rasa cintanya hanya untuk Sang Pencipta?

Bimbang. Bimbang karena meskipun sederet bumbu tak sedap pernah tertuang dalam hubungan yang kujalin saat ini, bahkan setelah membaca kedua buku itu, aku masih belum mampu memantapkan hati untuk menyudahi hubungan ini.

Sedih. Sedih karena aku pun harus mengakui betapa rasa ini tumbuh begitu saja untuk seorang lelaki dalam hubungan yang kujalin selama hampir tiga tahun terakhir ini. Ya, tidak munafik, aku menyayanginya. Bahkan mungkin lebih dari apa yang lelaki itu tahu. Sang pacar juga bukan hanya sekali mengatakan betapa ia sangat menyayangiku. Tetapi semakin kuyakini perasaan ini, semakin terasa sakit tamparan yang mendarat di pipi, lebih tepatnya menusuk hati. Terlebih lagi ketika teringat satu kalimat, bahwa:

Ucapan sayang tidak menyelamatkan wanita dari kerugian.


Ah, pedih! Lalu aku harus apa dan bagaimana? Ya Allah, semoga aku selalu berada dalam perlindungan-Mu yang tanpa cela. Jika memang yang terbaik untukku (menurut-Mu) adalah dengan menghapus rasa ini untuknya, tolong ajarkan aku melakukannya. Maafkan aku karena aku telah membagi cinta yang seharusnya saat ini hanya kuberikan kepada-Mu, wahai Sang Maha CINTA...

*tulisan ini diambil dari tumpukkan file-file dalam folder laptop pribadiku, tertanggal 30 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar