Minggu, 22 Maret 2015

Masjid Lautze dan Muslim Tionghoa




Ada yang sudah pernah mendengar tentang Masjid Lautze?

Sepertinya nama itu memang tidak asing bagiku, tapi sejujurnya aku baru mengetahui lebih jauh beberapa waktu lalu. Bermula ketika aku sedang santai di ruang tamu, menikmati aroma kemalasan di akhir pekan. Kemudian mataku tertarik pada setumpuk majalah di bawah meja ruang tamu. Iseng-iseng aku menarik salah satu majalah.

Majalah AULIA, terbitan bulan April tahun 2012. Yap, tahun 2012! Sudah hampir 3 tahun lalu..

Aku membolak-balikkan halaman di majalah itu. Kemudian aku berhenti di halaman 24. Sebuah artikel yang berjudul "Silaturahim ke Masjid Lautze" berhasil menarik perhatianku. Halaman itu menyajikan gambar sebuah bangunan berbentuk ruko, dengan warna merah menyala yang identik dengan etnis Tionghoa. Sekilas dilihat, tidak ada yang membedakan bangunan ini dengan ruko-ruko lain di sekelilingnya. Akan tetapi jika lebih diperhatikan, akan terlihat orang-orang yang hendak memasuki bangunan itu melepaskan alas kakinya.

Ya. Bangunan mirip ruko tersebut adalah sebuah masjid. Masjid yang diberi nama sesuai dengan lokasinya di Jl. Lautze, yakni Masjid Lautze, merupakan sebuah masjid tanpa kubah apalagi menara. Bagian dalam masjid memperlihatkan warna merah yang kian kental, ditambah dengan warna kuning di dinding dan warna hijau pada tiang-tiang penyangga bangunan. Di dinding-dinding masjid juga terpasang berbagai kaligrafi dan hampir di setiap kaligrafi tersebut ada makna tulisan kaligrafi dalam bahasa China.



Sebagaimana bangunan rumah toko alias ruko, bangunan masid ini memiliki empat lantai. Lantai pertama dan kedua untuk shalat, lantai tiga untuk kantor pengurus masjid, sedangkan lantai empat adalah aula untuk mengadakan berbagai acara dan tempat pertemuan. "Kami ingin di lantai empat itu dipakai untuk tempat pernikahan," ujar Ali Karim Oei, Wakil Ketua Umum Yayasan Karim Oei---yayasan yang mengelola Masjid Lautze ini.

Bermula pada tahun 1991, tokoh-tokoh Muslim dari berbagai organisasi masyarakat, seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, melihat keberadaan etnis Tionghoa yang jumlahnya cukup banyak belum didekati secara optimal oleh masyarakat Muslim. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang malah lari ke agama Nasrani. Pandangan orang keturunan China tentang Islam saat itu sungguh negatif. Untuk itu, didirikanlah masjid di kawasan pecinaan. "Sengaja langsung masuk ke 'sarang macan', supaya mereka mengetahui seperti apa Islam itu sebenarnya," ujarnya.

Dengan menyewa bangunan rumah toko, berdirilah masjid di tengah kawasan etnis Tionghoa. Setelah dua tahun mengontrak, rupanya si pemilik bangunan merasa gerah melihat tempatnya dijadikan sebagai masjid. Ia pun mengancam tidak memperpanjang masa sewa lagi dan menawarkan opsi kepada pengelola masjid untuk membelinya, bila tidak ingin diusir. Yayasan Karim Oei sebagai pengelola masjid lantas dibantu oleh BJ Habibie, yang kala itu menjabat sebagai Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, untuk melunasi sisa kebutuhan dana dalam proses pembelian masjid tersebut. Sehingga Masjid Lautze itu tidak lagi bestatus kontrak.

Keadaan masjid ini sedikit banyak mengundang ketertarikan sejumlah masyarakat Tionghoa, baik yang ada di kawasan sekitar masjid maupun yang ada di berbagai penjuru ibukota. Banyak yang kemudian berpandangan berbeda setelah mengenal Islam lebih jauh. Mereka senang mengetahui bahwa Islam tak membedakan suku dan golongan. 'Cici' dan 'Koko' pengurus masjid akan menyambut baik semua warga Tionghoa yang datang untuk mengetahui lebih dalam tentang Islam. Lama-lama banyak juga orang China yang kemudian menjadi muallaf di masjid ini.



Di Masjid Lautze, mereka yang telah menjadi muallaf akan mendapatkan bimbingan dan pelajaran. Setiap hari Ahad pagi, ada pengajian yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. Siapa pun boleh mengikuti pengajian yang terdiri dari beberapa kelas ini.

Dari mulai kelas dasar, seperti belajar mengaji, shalat, berwudhu, hingga pembinaan aqidah. Ada pula kelas bahasa Mandarin bagi mereka yang tertarik belajar. Menariknya lagi, semua pengajaran itu diberikan gratis, termasuk makan siang bagi seluruh peserta. Pesertanya pun tak harus dari etnis Tionghoa. Siapa pun yang ingin belajar akan diterima dengan tangan terbuka di masjid ini.

Hem... Sepertinya seru!

Ketika membaca artikel deskriptif mengenai Masjid Lautze dari majalah AULIA itu, ada rasa yang mendorongku untuk mencoba bertandang langsung ke daerah Pasar Baru di Jakarta Pusat. Aku ingin melihat langsung! Artikel itu memang dibuat pada tahun 2012, lantas sudah seperti apa Masjid Lautze itu sekarang?

Oh iya, di Bandung ada juga loh Masjid Lautze! Dikenal dengan Masjid Lautze 2 yang berafiliasi dengan Masjid Lautze di Jakarta. Keren ya! ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar