Kamis, 09 April 2015

Jembatan dalam Persahabatan

Aku terbangun sekitar jam 3 pagi tadi. Yah, seperti orang-orang (di era sekarang) pada umumnya, yang dicari pertama kali adalah smartphone. Jemari pun mulai lincah jogging di atas layar smartphone. Mata ibarat radar yang sibuk menelusuri setiap kata yang muncul di dalam layarnya. Ada beberapa pesan di BBM dan WhatsApp yang belum sempat aku balas karena aku terlanjur tertidur semalam. Mau membalas, tapi, "Ini kan jam 3 pagi. Nanti tidur mereka terganggu karena getaran di smartphone mereka ketika pesan balasanku masuk." batinku. Aku pun mengurungkan niat untuk membalas.

Tiba-tiba aku nggak ngerasa ngantuk. Iseng-iseng aku buka Facebook dan berselancar di timeline. Saat itu aku terpaku pada salah satu postingan dari seseorang yang aku kenal. Yap, aku kenal. Dia tinggal persis di belakang rumahku. Tembok rumah kami saling menempel. Kami sudah saling kenal sejak kami masih sama-sama culun dulu.

Dia memposting sebuah foto tangan yang sedang diinfus dengan background sebuah kasur berlapis sprei berwarna biru. Di foto itu tertera caption 'Semoga besok udah bisa pulang, gak mau di sini lama-lama'.



Apa-apaan ini?
Dia dirawat di Rumah Sakit?
Sakit apa?
Sejak kapan?
Aku sama sekali nggak tau!

Saat itu juga, aku langsung kirim pesan via WhatsApp ke dia (nggak peduli masih jam berapa), "Sahabat macam apa? Gue sampe nggak tau kalo lo dirawat di RS!"

Sudah sejauh ini kah kita sekarang?

Ada rasa yang aneh, yang menggangguku beberapa waktu belakangan ini. Entahlah... Dia merasakannya juga kah?

Aku sama dia udah kenal dari kecil, dari kami masih sama-sama culun, dari kami masih jadi bocah ingusan!

Hampir semua hal kami lewatin bareng. Dari mulai pertama kali dicekokkin bahasa asing (dulu kami les bahasa inggris bareng), main sepeda ke taman komplek, main benteng-bentengan, main polisi-polisian, main kelereng, .....

Hem, jadi senyum-senyum sendiri kalau inget dulu. Ya, kami pernah ada di zaman yang belum 'gila gadget' seperti sekarang.

Dulu kami adalah bocah yang merasakan serunya berlari-larian di jalanan depan rumah, bukan bocah yang cuma bisa duduk / nongkrong di restoran sambil asik main games melalui gadget mereka.
Dulu kami adalah bocah yang merasakan bahagianya berlarian kesana-kemari, nggak peduli terpapar sinar matahari dan bau keringat yang bikin kami nggak wangi lagi.

Waktu terus berjalan...

Kami sama-sama tumbuh menjadi lebih besar. Kami udah nggak pake seragam putih merah lagi. Kami udah nggak main lari-larian lagi. Tapi bukan berarti kami nggak punya cerita untuk dibagi.

Tumbuh menjadi remaja, waktunya kami mengenal rasa. Yap, rasa tertarik pada lawan jenis. Saat itu, kami nggak pernah kehabisan bahan untuk cerita, nggak pernah ada tembok pemisah untuk berbagi. Aku selalu tau dengan siapa dia merajut rasa. Begitu pun dia selalu tau dengan siapa aku jatuh cinta. Hal sekecil apa pun selalu cerita. Nggak peduli itu penting apa nggak. Nggak peduli itu cerita baru atau udah kadaluarsa.

"Kartu lo ada di gue!" kalimat itu yang selalu jadi ancaman jitu diantara kami.

Lucunya, dari dulu sampai detik ini, kami nggak pernah saling menyebut nama.
"jeleq" adalah nama panggilan untuk masing-masing diantara kami.
Rasanya aneh kalau menyebut nama asli.

Mungkin dia masih ingat, ketika di hari ulangtahunnya yang ke-17, aku menyiksanya dengan brutal menggunakan telur dan tepung terigu dalam perjalanan pulang ketika turun dari bus kala itu. Dia langsung berlari pulang ke rumah dan mandi dengan kembang tujuh rupa... :p
Dia sangat menyayangkan jaket barunya jadi bau amis dan nggak bisa dipakai lagi.

Mungkin dia masih ingat, ketika bolos di hari sekolah dan pergi ke Dufan di masa SMA, bersama beberapa teman lainnya.

Mungkin dia masih ingat, ketika kami secara diam-diam makan siang di warteg saat Bulan Ramadhan... :D

Mungkin dia masih ingat, ketika dia menemaniku melalui telepon selama berjam-jam, hanya untuk mendengarkanku menangis karena diduakan oleh seseorang.

Mungkin dia masih ingat, ketika aku bagaikan bocah yang kegirangan menodongkan oleh-oleh setiap kali dia ada trip ke luar kota. Kalung dari Bali, batik dari Yogya...

Mungkin dia masih ingat, ketika aku selalu menagih susu putih hangat buatannya untuk menemani kami berbagi cerita.

Mungkin dia masih ingat, ketika .....

Ah, sudahlah!
Mungkinkah dia masih ingat?

Masa dewasa seperti saat ini, seharusnya kami semakin mudah berkomunikasi. Kecanggihan teknologi menyuguhkan banyak aplikasi, seharusnya nggak ada alasan bagi kami untuk nggak lagi berbagi.

Tapi justru bukan itu yang terjadi...

Dia memang tipikal orang yang sering kali gonta-ganti nomor handphone atau pin BBM. Tapi kami nggak pernah kehilangan jejak. Selalu ada cara untuk tetap berbagi cerita. Sampai suatu ketika, dia sudah terlalu sibuk dengan pasangannya. Ya, kami memang telah memiliki pasangan masing-masing.. Tapi, bukan kah dari dulu juga begitu? Lantas, kenapa sekarang kami nggak bisa tetap seru-seruan seperti dulu?

Aku nggak tau pasti sejak kapan... aku merasa ada jembatan.
Dia ada di sana. Di sudut yang jauh, di ujung jembatan itu...

Pernah terjadi, untuk kesekian kali dia ganti nomor handphone lagi. Aku menanyakan nomor barunya kepada pasangannya. Tapi... "Ada apa? Ada yang mau dibantu disampein?"

Waw!
Rasanya kayak balik ke zaman masih pake alat komunikasi pager. Mau nyampein pesan aja harus lewat operator dulu... :p

Belum lama ini, pasangannya mengontrak di dekat rumah kami. Semakin terasa jarak jembatan itu semakin panjang. Bahkan hampir setiap kali berpapasan, kami hanya bisa bertegur sapa sekedarnya. Bahkan terkadang hanya berlalu tanpa kata. Kaku. Nggak lagi seru.

Rumah kami memang saling berdempet, tapi seolah ada jembatan yang nggak bisa kami sebrangi. Terlalu jauh. Terlalu bahaya.

Sampai di hari ini, haruskah aku tau melalui Facebook saat dia sedang dirawat di Rumah Sakit? Itu pun secara nggak sengaja karena postingannya muncul di timeline-ku. Padahal dulu hampir semua hal kami ceritakan. Mengoceh panjang lebar tanpa bosan.

Aneh rasanya...
Aku mengenalnya sekian tahun. Dari dulu seolah punya dunia yang sama, nggak pernah kehabisan bahan buat cerita. Tapi sekarang dunia kami beda. Yap, semua beda!

Mungkin benar, "nggak akan pernah ada persahabatan diantara cewek dan cowok."

Yap, mungkin benar!
Itu hanya akan merusak perasaan pasangan masing-masing kan?

Aku pernah menanyakan pada pasanganku, "Kamu akan cemburu kalo aku tetep deket sama dia?"
Kesayanganku ini jawab, "Insya Allah kalo sama dia enggak. Karena aku tau gimana kalian. Lagipula dia yang kenal kamu jauh lebih dulu, dibanding aku."

Hem... Jawabannya menyadarkanku bahwa, 'ternyata benar, laki-laki lebih menggunakan logika. Beda sama perempuan yang didominasi perasaan.'

Aku nggak menyalahkan wanita itu kalau cemburu atau nggak nyaman dengan kedekatan kami. Aku juga wanita. Makanya aku memutuskan untuk membiarkan jembatan itu tetap ada. Anggap saja jembatan terlarang. Nggak perlu, atau bahkan nggak boleh disebrangi! Oleh aku, ataupun dia.

Mungkin ini yang terbaik.
Seperti kata salah seorang temanku, "mungkin emang waktunya aja yang udah abis untuk bisa seenak / seseru dulu lagi."

Yap! Waktu kami telah habis...

Terimakasih karena sudah sempat berbagi.
Terimakasih karena sudah menjadi sosok sahabat yang baik selama ini.

SEMOGA LEKAS SEMBUH, JELEQ!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar