Senin, 29 Desember 2014

Maaf, Aku Belum Bisa Mencintai-Mu


C-I-N-T-A...

Satu kata yang akrab di telinga manusia, tak peduli berapa pun usia mereka.

Ada yang bilang, "cinta penuh warna".

Bagaimana kah maksudnya?
Mungkinkan wajah menjadi pink-pink unyu ketika malu?
Atau berwarna merah ketika marah?
Lantas menjadi berwarna ungu ketika cemburu?
Lalu, akan menjadi warna apa ketika menahan rindu?

Entahlah...

Kalian pernah jatuh cinta?
Bagaimana rasanya?

Biasanya,
bagi yang punya gebetan akan merasa sangat senang ketika berpapasan, apalagi bisa saling beradu pandang.
bagi yang sudah menjadi pasangan akan selalu harap-harap cemas jika si dia tak memberi kabar, gadget pun akan terus dicek dengan hati berdebar-debar dan bisa berjumpa dengan si dia seolah menjadi kebahagiaan yang tak berbayar.

Lantas bagaimana bagi yang hubungannya baru saja berakhir?
Seperti apa rasanya?
Mungkin hatinya patah!
Kecewa kah?
Gelisah?
Gundah?
Dipenuhi amarah?

Betapa pun hancurnya, semoga bisa tetap mengendalikan diri dan tidak salah arah.

Bagi kalian yang sudah pernah berkenalan dengan cinta, tentu pernah merasakan pula warna-warninya.
Dari mulai melayang karena bahagia, sampai terpuruk karena kecewa.

Mau kah kalian memiliki pasangan yang akan terus membuat kalian bahagia, bahkan tak akan pernah membuat kecewa?

Aku akan mengenalkannya pada kalian.

Kalian siap?

Sekarang kalian harus menutup mata kalian dan buat diri kalian senyaman mungkin.
Tarik nafas secara perlahan, tahan, dan hembuskan.
Ulangi.
Tarik nafas perlahan, tahan, dan hembuskan.
Ulangi dan lakukan setenang mungkin.
Rasakan setiap pergerakan dalam tubuh kalian, ketika paru-paru mengembang dan mengempis.
Tarik nafas perlahan, tahan, dan hembuskan.

Sekarang kalian boleh membuka mata kalian.

Pertanyaannya,

"Kalian tau salah satu keajaiban dunia yang juga disebut sebagai monumen cinta?"

Yap, bangunan Taj Mahal di India!
Konon katanya, Taj Mahal dibangun oleh Raja India sebagai bukti cinta untuk istrinya.

Kalian mau ada seseorang yang mencintai kalian hingga membuatkan bangunan megah sebagai bukti cintanya kepada kalian?

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sekarang kalian coba perhatikan di sekitar kalian.
Betapa cantik dan luar biasa megahnya alam ini.

*Villa Lembah Pertiwi---Cibodas, 22-23 Desember 2014*



(pemukiman penduduk di malam hari, dilihat dari Villa Lembah Pertiwi)




(pelaksanaan PENSIL---Pentas Seni Islami, di sekitar api unggun)



(cantiknya Gunung Pangrango saat fajar)




(saung-saung, dengan background Gunung Pangrango)



(dari gerbang Villa Lembah Pertiwi, terpampang jelas megahnya Gunung Salak)



(menikmati dinginnya air di pagi hari, setelah mendaki bebeberapa ratus meter dari lokasi Villa)



(Kolam renang di dalam area Villa Lembah Pertiwi)



(kegiatan games peserta sebelum outbond, dengan background Gunung Pangrango)





(Kegiatan Outbond peserta di dalam area Villa Lembah Pertiwi)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Siapa arsitek hebat di balik semua ini?

Yap, Allah...

Dia membangun semua ini sebagai bukti cinta-Nya kepada kalian, bahkan tanpa kalian minta.
Semua yang ada di alam ini adalah salah satu cara Allah mengajarkan tentang cinta.
Dia meletakkan setiap benda di sudut yang tepat.
Dia mencerahkan alam ini dengan cahaya yang tepat.
Dia menumbuhkan rerumputan, menjaga keseimbangan pegunungan serta menurunkan hujan dengan kadar yang tepat.

Semua adalah bukti betapa cintanya Dia kepada kalian.
Agar di mana pun kalian berada, dari sudut mana pun yang kalian lihat, kalian akan semakin mencintai-Nya, memuji betapa besar kuasa-Nya dan menyadari betapa agungnya Dia.

Pertanyaan berikutnya,

"Diantara kalian ada yang pernah merasakan 'cinta yang bertepuk sebelah tangan'?"

Bagaimana rasanya?
Sakit kah?
*sakitnya tuh dimana?*

Sakitnya tuh di sini!

Lantas dengan rasa cinta yang telah Allah limpahkan kepada kita,
sudahkah kita membalas cinta-Nya?

Kalau biasanya ke gebetan/pasangan kita akan selalu merespon SMS/BBM/WhatsApp secepat mungkin, sudah kah kita merespon adzan yang berkumandang dengan bersegera melaksanakan sholat? Masih kah kita menunda-nunda waktu sholat?

Kalau biasanya saat gebetan/pasangan menghubungi via telepon/skype kita akan selalu senang mengobrol berlama-lama, sudah kah kita merasa senang untuk berlama-lama bermunajat kepada Allah dalam setiap sholat kita? Masih kah kita melaksanakan sholat dengan tergesa-gesa tanpa menikmati setiap doa dalam gerakannya?

Kalau biasanya sangat menanti-nanti pertemuan dengan gebetan/pasangan, sudah kah kita menanti-nanti kematian sebagai jalan untuk bertemu dengan Allah Sang Pencipta? Masih kah kita merasa belum siap mati (belum siap berjumpa dengan Rabb kita), padahal biasanya kita akan sangat bersuka cita ketika gebetan/pasangan ingin berjumpa dengan kita?

Kalau biasanya kita akan sangat menurut untuk melakukan apa pun yang gebetan/pasangan kita sukai, sudah kah kita menurut untuk melakukan apa pun yang Allah sukai? Masih kah kita lalai mengenakan hijab dalam menutup aurat, enggan bersedekah karena takut melarat, memakan harta orang lain demi menjadi konglomerat, atau menunda-nunda waktu sholat?

Jadi, jika kalian tau sakitnya cinta yang bertepuk sebelah tangan,
sudikah kalian membiarkan cintanya Allah bertepuk sebelah tangan kepada kita?

Padahal, cinta kepada Allah adalah KUNCI!
Jika sudah mencintai Allah, maka kita tak akan membiarkan diri kita dibenci sama Allah.
Maka kita akan melakukan hal-hal yang hanya akan membuat Allah semakin cinta sama kita.

Setiap kali ingin melakukan sesuatu, sepatutnya kita akan bertanya,

"akankah Allah ridho aku melakukan hal ini?"

Contoh sederhananya adalah ketika ingin keluar rumah (bagi kaum wanita), sudah kah kalian berdiri di depan cermin dan bertanya,

"apakah Allah meridhoi aku mengenakan pakaian ini ke luar rumah?"

Semoga pertanyaan itu akan membantu menuntun kita menuju koridor yang baik, menuju keridhoan-Nya di setiap langkah kita.

Jika sudah mencintai Allah, maka tak akan ada lagi keraguan dalam menjalani hidup.

Bukankah semua ini milik Allah?
Mau minta apa?
Pasangan yang cantik/tampan? Uang yang banyak? Keluarga yang harmonis? Otak yang cerdas? Teman-teman yang solid?

Semuanya sudah ada yang mengatur.

Lantas bagaimana cara kita mendekati Sang Pengatur?

Biasanya kita tetap menjaga komunikasi (entah lewat tlp/SMS/BBM/WhatsApp, dsb) dengan gebetan/pasangan dan memiliki jadwal rutin ketemu untuk saling melepas rindu adalah salah satu cara untuk bisa tetap dekat dengan gebetan/pasangan itu.

Maka sholat adalah cara Allah untuk tetap menjaga komunikasi dengan kita.


TENTANG SHOLAT

Bila kau anggap sholat itu hanya penggugur kewajiban, maka kau akan terburu-buru mengerjakannya.
Bila kau anggap sholat hanya sebuah kewajiban, maka kau tak akan menikmati hadirnya Allah saat kau mengerjakannya.

Anggaplah sholat itu pertemuan yang kau nanti dengan Tuhanmu.
Anggaplah sholat itu sebagai cara terbaik kau bercerita dengan Tuhanmu.
Anggaplah sholat itu sebagai kondisi terbaik untuk kau berkeluh kesah  dengan Tuhanmu.
Anggaplah sholat itu sebagai seriusnya kamu dalam bermimpi.

Bayangkanlah ketika adzan berkumandang, tangan Allah melambai-lambai di depanmu untuk mengajak kau lebih dekat dengan-Nya.
Bayangkan ketika kau takbir, Allah melihatmu, Allah tersenyum untukmu dan Allah bangga terhadapmu.
Bayangkanlah ketika rukuk, Allah yang menopang badanmu hingga kau tak terjatuh, hingga kau rasakan damai dalam sentuhan-Nya.
Bayangkanlah ketika sujud, Allah mengelus kepalamu, lalu Dia berbisik lembut di kedua telingamu, "Aku mencintaimu hamba-Ku".
Bayangkan ketika kau duduk di antara dua sujud, Allah berdiri gagah di depanmu, lalu mengatakan, "Aku tak akan diam bila ada yang mengusikmu".
Bayangkan ketika kau salam, Allah menjawabnya, lalu kau seperti manusia berhati bersih setelah itu.

Dari sana kau tak akan terburu-buru dalam sholatmu.
Kau selalu tak sabar dipertemukan dengan sholat setelah kau mengerjakan sholat.
Dari sana kau akan selalu rindu.
Kau tak akan rela bila langsung meninggalkan tempat sujudmu.

Bisa jadi adzan berkumandang kau akan menangis.
Karena kau merasa Allah menantimu, Allah mau kau merapat dengan-Nya lebih dekat.
Bisa jadi takbir pertama kau langsung menangis.
Kau merinding karena pada saat itu kau bayangkan Allah melihat kau dengan senyuman.

- @orirabowo -

Yuk sama-sama kita perbaiki ibadah kita, terutama sholat kita!

Kita tingkatkan rasa cinta kita kepada Sang Pencipta, Sang Maha CINTA.

Karena...
Selagi uang mengatakan, "carilah  aku, lupakan segalanya!"
Selagi waktu mengatakan, "kejarlah aku, lupakan segalanya!"
Selagi masa depan mengatakan, "perjuangkan aku, lupakan segalanya!"

Allah berkata, "ingatlah Aku, maka akan Aku berikan segalanya!"

[dikutip dari berbagai sumber]
Disampaikan oleh Nia Kurniawaty, sebagai materi dalam Kegiatan Tafakur Alam salah satu sekolah islam swasta---Cibodas, 22 Desember 2014.

Sabtu, 15 November 2014

Apa Kabar Hati? (part II)


Hati ini sesak dengan kebimbangan dan dibanjiri tanda tanya yang tertuju untuk diri sendiri. Setelah cukup merasa tertampar dengan buku karangan seorang ustad yang mualaf, aku tertarik pada buku lain karangan seorang muslimah yang anggun. Muslimah dengan jilbab ‘lebar’-nya ini memaparkan berbagai kisah nyata dari para perempuan, khususnya para istri, mengenai perjuangan mereka yang luar biasa dalam mempertahankan bahtera rumah tangga mereka masing-masing.
Berbagai macam kisah yang menggetarkan hati terangkum dalam buku itu. Buku kedua yang seolah menyampaikan salam-Nya untuk menegurku. Salah satu kisah dalam buku itu adalah mengenai seorang istri yang memperjuangkan rumah tangganya selama lima belas tahun, dengan sosok suami dambaan, sosok suami terbaik di seluruh dunia, menurutnya. Akan tetapi siapa sangka suami yang didamba-dambakan ternyata menjalin hubungan dengan perempuan lain, tanpa sepengetahuan sang istri, sudah tiga tahun terakhir.

Ah, tiga tahun. Bagaimana jadinya jika aku berada di posisi sang istri itu? Semoga Allah memberinya kekuatan untuk tetap percaya pada hikmah yang diselipkan-Nya.

Bentuk kisah lain yang digambarkan dalam buku itu adalah pengakuan seorang suami yang mengaku sama sekali tidak mencintai istrinya, padahal mereka telah memiliki empat orang anak. Bagaimana mungkin terlahir empat buah cinta tanpa adanya rasa cinta? Ya Allah, sungguh tiada yang benar-benar tau apa maksud yang Kau selipkan dalam setiap rencana terbaik-Mu. Rasaya sangat tidak mungkin seorang suami yang dulunya aktivis rohis kampus, dengan dalamnya ilmu agama, justru melakukan hubungan intim dengan perempuan lain di belakang istrinya. Juga bagaimana mungkin seorang suami yang seiring bertambahnya usia justru semakin bertambah kegilaannya, dengan memamerkan hubungan mesranya bersama perempuan-perempuan lain, di depan istrinya, bahkan di depan anak-anaknya. Astaghfirullah
Padahal hampir seluruhnya dari kisah-kisah itu dimulai dengan keharmonisan dan kemesraan yang sang suami tunjukkan untuk istrinya. Ya, untuk sang istri. Seorang perempuan yang seharusnya menjadi ratu di dalam rumah tangga itu. Hanya Allah Yang Maha Mampu Membolak-balikkan Hati.

Siapa sangka keromantisan itu akan sirna dan berubah menjadi tantangan besar dalam hidup seorang perempuan?

Terdapat beberapa kisah lain yang seolah memancing hati kecilku, yang juga seorang perempuan, untuk memberontak dan teriak. Semoga Allah memberikan kekuatan yang tiada batas kepada para perempuan yang memperjuangkan rumah tangga mereka, meski sang suami membuat keadaan itu timpang.

Telah hilangkah rasa cinta seorang suami terhadap istrinya setelah bertahun-tahun hidup bersama? Atas alasan apa? Ah, cinta. Manusia mana yang benar-benar mengetahui arti rasa itu sesungguhnya?

Dua buku yang baru saja kulahap itu memunculkan banyak pertanyaan untuk diriku sendiri. Betapa tidak mudahnya mempertahankan sebuah rumah tangga. Terlebih lagi jika suami tak lagi mempedulikan keberadaan sang perempuan, sebagai istrinya. Mereka yang sudah terjalin ikatan suci pernikahan saja masih mendapatkan perlakuan tidak terpuji dari sang suami. Bukankah ketika meminang sang istri, suami tersebut melafalkan janji yang seharusnya ia tepati dan ia bawa sampai mati?

Ah, janji.

Membicarakan janji seorang lelaki, bukan tidak pernah aku mendengar sang pacar mengucap janji. Pacarku juga kan seorang lelaki! Jika yang sudah berumah tangga saja masih berpeluang menerima perilaku yang tidak bermartabat itu, apalagi aku yang hanya sebatas pacaran? Ya, kutegaskan sekali lagi, hanya p-a-c-a-r-a-n.
Aku mencoba merangkum dan menarik benang merah dari dua buku yang penuh makna itu. Sepertinya memang tiada manfaat yang didapat dari pacaran.

Ada yang memperhatikan setiap hari. Ada yang menemani untuk pergi ke sana kemari, terutama ke beberapa undangan penting. Ada yang melindungi. Ada pundak yang siap menjadi sandaran. Ada telinga yang siap mendengarkan keluh kesah. Ada yang memotivasi menggapai mimpi.

Begitukah? Tidak. Sekali pun iya, apakah semua itu akan menjamin ia tetap setia dan tidak mengubah sikapnya setelah berpuluh-puluh tahun lamanya menjalani hidup bersama? Pacaran hanya akan merugikan kaum perempuan, katanya.

Lelaki diciptakan dengan naluri mengembara, yang hanya akan berlabuh dalam ikatan pernikahan.

Sebuah kalimat dalam salah satu buku itu membuatkku tertegun. Pertengkaran-pertengkaran kecil bukan tidak pernah terjadi dalam hubunganku dengan sang pacar. Bertengkar karena masalah perempuan lain? Ah, tidak hanya sekali atau dua kali sepertinya. Beberapa kali kudapati adanya perempuan lain yang masuk dalam hubungan ini, baik melalui pesan singkat atau melalui media sosial. Dari mulai janji bertemu hingga kirim-kiriman pesan suara dengan perempuan lain rasanya pernah membumbui hubungan ini selama hampir tiga tahun. Adakah alasan aku menepis kalimat bercetak miring itu?

Jika dia berani membantah Allah dengan mengajakmu pacaran (padahal Allah tidak menghalalkan, bahkan tidak menganjurkan hamba-Nya berpacaran), maka bukan tidak mungkin dia akan mengajak orang lain berpacaran, bahkan ketika kau telah ‘sah’ menjadi miliknya. Toh sama saja berbuat dosa kepada Allah. Jika dia berani memanggilmu sayang (padahal Allah tidak menghalalkan panggilan itu untuk yang bukan mahram), maka bukan tidak mungkin dia akan memanggil sayang kepada orang lain, bahkan ketika kau telah ‘sah’ menjadi miliknya. Toh sama saja berbuat dosa kepada Allah. Aku sudah terlanjur berbuat dosa sejak pacaran dulu, mungkin akan seperti itu katanya.

Ah, kalimat panjang itu kembali membuatku tertegun, bahkan lebih lama dari sebelumnya. Bukan tidak pernah aku memergoki sang pacar bersayang-sayangan dengan perempuan lain, bahkan panggilan ‘mamih-papih’ pun pernah menjadi sebutan akrab antara sang pacar dengan perempuan lain. Terluka? Tentu saja. Tapi yang perlu aku garis bawahi di sini adalah lelaki itu pacarku, bukan suamiku.

Calon suami?

Hhhmm, ingin rasanya aku menjawab, Ya. Bagaimana tidak, kurasa hampir semua perempuan seusiaku sudah bukan waktunya lagi menjalin hubungan sia-sia, selain untuk merajut mimpi ke jenjang yang lebih tinggi.
Tapi kembali hati ini dibanjiri pertanyaan-pertanyaan lain. Jika masih menjadi pacar saja semua ini pernah terjadi, apakah kelak ketika ia menjadi suami, ia akan melakukan hal yang jauh lebih parah daripada yang selama ini terjadi? Wallahu’alam. Naudzubillah min dzalik...

Jaga kehormatanmu, raih kemuliaanmu. Pacaran hanya akan merugikan kaum perempuan. Ingat, laki-laki dilihat dari masa depannya, sedangkan perempuan dilihat dari masa lalunya.

Ah, merasa tertampar untuk kesekian kalinya. Sesak sekali! Sebagai seorang perempuan, jelas terasa aku tak pandai menjaga kehormatan. Berpegangan tangan, duduk berdekatan, berbonceng motor dengan tanganku yang melingkari pinggangnya, ah… Sebelumnya aku tiada merasa khawatir dan menganggap hal-hal itu adalah wajar. Betul rasanya bahwa setan sangat lihai mengelabui manusia. Semua terasa indah sekali, seolah tiada yang salah. Tanpa disadari, semakin sering bersama, semakin tumbuh perasaan yang tidak seharusnya, untuk sosok yang sebenarnya belum menjadi mahram.

Bukan tidak mungkin sang suami kelak akan bertanya, “Bunda, aku cintamu yang keberapa? Apa saja yang pernah kau lakukan dengan mantan pacarmu, Bunda?”

Ya, tiada yang benar-benar tahu, apakah sang pacar yang akan menjadi suamiku kelak? Atau hubungan ini akan kandas dan kami jatuh cinta pada orang lain serta membangun rumah tangga masing-masing? Wallahu’alam.

Jangan tanyakan lagi apa kabar hatiku saat ini. Berbagai pertanyaan mewarnainya hingga terasa tak jelas lagi apa warna hatiku saat ini. Berbagai perasaan memenuhinya hingga terasa begitu sesak. Seolah menjadi ring tinju yang pas untuk pergulatan antara rasa dan logika.

Malu. Malu kepada Allah karena aku belum menjadi hamba-Nya yang benar-benar mencintai-Nya, karena aku berbagi rasa cinta itu dengan manusia ciptaan-Nya, yang bahkan belum menjadi mahramku.

Khawatir. Khawatir pada segala janji dan rasa yang pernah sang pacar ungkapkan selama ini, bahkan segala bentuk perhatian yang juga hampir selalu ia tunjukkan, akankah menguap seiring berjalannya waktu?

Takut. Takut dengan bayang-bayang suamiku kelak (yang mungkin adalah lelaki yang berbeda dari lelaki dalam hubungan yang kujalin saat ini), akankah ia dapat menerima dan tetap menghormatiku meski aku tidak semulia muslimah-muslimah lain yang menjaga rasa cintanya hanya untuk Sang Pencipta?

Bimbang. Bimbang karena meskipun sederet bumbu tak sedap pernah tertuang dalam hubungan yang kujalin saat ini, bahkan setelah membaca kedua buku itu, aku masih belum mampu memantapkan hati untuk menyudahi hubungan ini.

Sedih. Sedih karena aku pun harus mengakui betapa rasa ini tumbuh begitu saja untuk seorang lelaki dalam hubungan yang kujalin selama hampir tiga tahun terakhir ini. Ya, tidak munafik, aku menyayanginya. Bahkan mungkin lebih dari apa yang lelaki itu tahu. Sang pacar juga bukan hanya sekali mengatakan betapa ia sangat menyayangiku. Tetapi semakin kuyakini perasaan ini, semakin terasa sakit tamparan yang mendarat di pipi, lebih tepatnya menusuk hati. Terlebih lagi ketika teringat satu kalimat, bahwa:

Ucapan sayang tidak menyelamatkan wanita dari kerugian.


Ah, pedih! Lalu aku harus apa dan bagaimana? Ya Allah, semoga aku selalu berada dalam perlindungan-Mu yang tanpa cela. Jika memang yang terbaik untukku (menurut-Mu) adalah dengan menghapus rasa ini untuknya, tolong ajarkan aku melakukannya. Maafkan aku karena aku telah membagi cinta yang seharusnya saat ini hanya kuberikan kepada-Mu, wahai Sang Maha CINTA...

*tulisan ini diambil dari tumpukkan file-file dalam folder laptop pribadiku, tertanggal 30 Maret 2013.

Dia Menyapaku (part I)


Aku seorang muslimah berusia sekitar 20-an tahun. Entah memang waktu-Nya yang tepatkah untuk memberiku hidayah saat ini? Inikah saatnya Dia, Allah SWT, menyapa atau mungkin lebih tepatnya menegurku? Wallahu’alam.
Berawal dari sebuah buku menarik yang kubaca beberapa hari lalu. Karangan seorang ustad muda keturunan Tionghoa, seorang mualaf. Gambaran nyata dunia saat inilah yang mendorongnya untuk mengangkat cerita mengenai hubungan lawan jenis yang belum halal, katanya.
Tak peduli berapa umur setiap individu saat ini, pasti mengenal panggilan sayang untuk ‘hubungan lawan jenis’ itu. Pacaran namanya.
Sebagai seorang muslimah, aku menggolongkan diriku sebagai hamba-Nya yang biasa saja. Aku mengenakan jilbab, meskipun hanya ‘jilbab standar’, kata mereka.

Ah, apalah arti jilbab?
Apakah hanya kain sederhana sebagai penutup kepala?

Banyak orang yang tak lagi percaya bahwa perempuan yang berjilbab menandakan bahwa ia perempuan ‘baik-baik’. Bukan salah mereka yang menilai. Realita kehidupan saat ini memang mendukung pemahaman mereka. Tak jarang perempuan berjilbab tertangkap basah sedang mencuri, membuang atau membunuh anaknya sendiri, kalap terhadap suaminya karena dibakar rasa cemburu, bahkan tanpa rasa malu mempertontonkan kemesraannya dengan lawan jenis di depan umum, padahal belum mahram.
Sedih memang... Padahal sampai detik ini, aku adalah salah seorang dari sekian banyak orang yang percaya bahwa jilbab merupakan salah satu tameng yang mampu melindungi diri dari perbuatan-perbuatan tidak terpuji. Tapi bagaimana pun pendapat mereka, aku memutuskan mengenakan jilbab karena aku percaya ini memang kewajiban yang ditetapkan dalam ajaran Islam, agama kebanggaanku, karena Allah menyayangiku. Ya, Allah selalu menyayangi hamba-Nya.
Tanpa dipungkiri, sebagai seorang muslimah, ibadahku pun masih jauh dari sempurna. Meskipun aku selalu ingin menjadi hamba yang sangat dicintai-Nya karena ibadah dan akhlak yang baik. Tanpa berniat untuk merasa ‘sok suci’, tapi sungguh setiap manusia yang mampu berpikir tentu sangat mendambakan cinta dan kasih sayang-Nya yang Maha Sempurna.
Sebagai seorang muslimah, hal lain yang membuatku sangat malu kepada-Nya saat ini adalah karena aku pacaran. Ya, aku seorang muslimah, tetapi aku pacaran. Padahal dalam ajaran agama Islam tiada mengenal pacaran.
Ah, buku itu... Buku tentang pacaran itu seolah memberikan tamparan keras di pipiku dan meremas-remas hati kecil di dalam diriku. Buku berwarna merah jambu itu telah menyadarkanku bahwa Islam memang agama terindah dari Allah yang telah mengemas aturan-aturan hidup secantik mungkin. Aturan hidup itu dikemas dengan sangat rapih untuk memuliakan setiap manusia yang percaya akan agama-Nya.

Pacaran itu hanya akan mendekatkan kita kepada zina. Padahal zina adalah salah satu dosa besar yang sangat dibenci Allah.

Di usiaku yang masih tergolong dewasa awal, mungkin mempengaruhi pola pikirku yang sangat minim mengenai kedewasaan, tepatnya mengenai pandangan hidup. Sebelumnya aku justru merasa bangga karena aku memiliki seorang pacar yang sangat menyayangiku, katanya. Hubungan ini sudah kami jalin hampir tiga tahun lamanya.
Mungkin sama seperti perempuan-perempuan lain pada umumnya, aku merasa bahagia saat bersamanya, merasa tidak bisa jauh darinya, selalu harap-harap cemas hanya karena menanti pesan singkat darinya hampir setiap hari dan selalu takut dirinya tertarik pada perempuan lain selain aku. Seolah merupakan sebuah prestasi, aku merasa bangga ketika sang pacar menggenggam erat tanganku di depan teman-temanku dan teman-temannya, menatap wajahku lekat, menyatakan betapa dirinya sangat menyayangiku. Aduhai, bahagia sekali rasanya. Sungguh indah. Orang-orang bilang ini perasaan cinta.

Ah, benarkah ini yang dinamakan cinta? Wallahu’alam.

Tapi buku manis berwarna pink itu membangunkanku dari segala bentuk mimpi indah yang beberapa tahun ini aku rasakan. Aku terbangun dari mimpi itu dengan penuh rasa bimbang dan sesal. Melalui buku itu sang penulis menyampaikan dengan kesungguhannya betapa ia ingin menyelamatkan saudara-saudara muslim dan muslimah dari bahaya pacaran. Suatu jalan yang teduh menuju perzinaan yang telah diperindah dengan merdunya nyanyian setan, katanya.

Apakah aku sepenuhnya terbangun? Atau aku akan terlena dengan mimpi indah yang kurajut sendiri? Hhh, dengan bantuan setan tentunya.

Alhamdulillah, Allah memberiku kesempatan untuk membaca buku yang sangat kaya ilmu itu...


*tulisan ini diambil dari tumpukkan file-file dalam folder di laptop pribadiku, tertanggal 30 Maret 2013.

Sabtu, 08 November 2014

Persahabatan dalam Perantauan

Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi


Bersenang-senanglah
Karena hari ini yang 'kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karena waktu ini yang 'kan kita banggakan di hari tua


Reff:
Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan


Yap!
Lirik di atas adalah lagu dari SheilaOn7 yang judulnya, "Sebuah Kisah Klasik".
Lagu itu dirilis sekitar tahun 2000.
Wew! Kira-kira 14tahun yang lalu.

Lagu yang dirilis oleh Band asal Yogyakarta itu, menyapa telingaku lagi dengan sangat ramah, kira-kira dua hari sebelum Hari Wisuda.

Kalian pernah enggak ngerasa jadi inget sama seseorang kalo lagi dengerin lagu tertentu?

Pernah.

Bagus!
Aku ngerasain waktu itu.
Dibikin galau tingkat dewa gara-gara lirik lagu!
Langsung googling tentang lagu itu. Download. Terus dengerin berulang kali!

Lagu "Sebuah Kisah Klasik" itu ngingetin aku sama seorang wanita kesayangan yang saat ini udah balik ke kampung halaman.

Seorang wanita kesayangan yang udah ngabisin waktu kurang lebih 4,5tahun bareng-bareng di bangku kuliah.

Seorang wanita kesayangan yang selalu jadi partner ngebolang, nge-junk food, ngerumpi, nge-es krim, nge-FTV di kamar kosan,  nge-date sambil buka puasa bareng di kamar kosan, nguli-ah (ngebut ngerjain tugas-tugas kuliah), nge-boring sambil nunggu dosen buat bimbingan, nguatin buat tetep optimis maju daftar sidang, dan sebagainya!

4,5tahun! Terlalu banyak memorinya..

Ah, bahkan ngetik ini pun bikin mau netesin air mata!

Waktu itu,
dua hari menjelang wisuda, aku baru sadar kalo ia akan kembali ke kampung halaman tepat di Hari Wisuda!

Artinya, Hari Wisuda nanti adalah hari terakhir aku ketemu sama dia (seenggaknya, sebelum bikin janji untuk ketemu di lain waktu).

Aku baru menyadari itu saat aku cuma punya waktu dua hari!

Enggak nyangka, setelah Hari Wisuda nanti, aku akan dipisahkan oleh jarak beratus-ratus kilometer (Jakarta-Cirebon).
Enggak nyangka, setelah Hari Wisuda nanti, aku enggak akan bisa lagi dengan mudahnya ketemu, ngebolang, nge-junk food, ngerumpi, ataupun sekedar nikmatin weekend bareng di kamar kosan.

Rasanya mirip-mirip kayak putus sama pacar!
Sedih...
Enggak nyangka harus dipisahkan secepat itu.

Akhirnya, aku mencoba 'memutar' otak.
Apa yang bisa aku buat dalam waktu menjelang dua hari lagi?
Saat itu kondisinya pun banyak hal yang harus dipersiapkan untuk wisuda, seperti kebaya, make-up dan sebagainya.

Sempat terpikir untuk bikin semacam Movie Maker dengan lagu SheilaOn7 itu sebagai backsound-nya. Tapi, aku enggak ahli di bidang itu. Lagipula, berkreasi dengan tangan sendiri kayaknya lebih seru!

Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan ia sebuah album foto. Berharap album foto itu bisa membantu mengabadikan moment-moment yang udah pernah kami lewatin bareng-bareng.

Jeng-jeng!
Inilah penampakan cover album fotonya...




Album foto biasa, yang aku beli di salah satu toko, di sebuah Mall deket kampus.

Album foto itu seenggaknya merangkum beberapa moment kebersamaan, tentang sebuah persahabatan di kota perantauan(-nya).

Saat aku menanyakan,
"bagian mana yang menjadi favoritmu dalam album foto itu?"

Ia mengirimkan kedua foto ini via WhatsApp.

Favorite 1:
Ini adalah foto di Ruang Perpustakaan Jurusan di Kampus, tanggal 21 Februari 2014 lalu.



Ia bersama beberapa wanita kesayanganku yang lain, merencanakan sebuah Surprise Party karena hari itu bertepatan dengan Hari Ulang Tahunku.
Masih terekam jelas dalam memori, aku digiring oleh teman-temanku menuju Ruang Perpustakaan Jurusan sesaat setelah kami selesai menandatangani ijazah S1 kami.

Favorite 2:
Ini adalah foto aku bersamanya, tepat di Hari Sidang Skripsi.



Yap!
Seragam hitam putih.
Foto ini menjadi bukti bahwa kami telah berhasil mencapai salah satu impian kami... SIDANG SKRIPSI! Demi meraih gelar sarjana kami...

Sampai detik ini pun, masih melekat rasa haru tiap kali membuka memori itu.
Dulu, kami sangat pesimis dapat menyelesaikan jenjang S1 kami tepat waktu.

Sempat ingin menyerah dan mengambil resiko untuk mundur satu semester lagi.
Tapi kemudian kami mencoba saling menguatkan diri.

"Berjuang sampai titik akhir", itu janji kami...
(ketika seolah hanya keajaiban yang bisa membawa kami ikut SHP di semester 099)


Ah!
Sungguh tak terbayarkan rasanya..
Melangkah, berjuang bersama..
Mengubah impian, menjadi kenyataan.
Saling menguatkan, saling mendoakan.



Seorang Partner Seperjuangan
Terima kasih kepada Siti Hajjar atas hangat pelukan, senyuman, dan dukungan selama pasang surut proses penyelesaian skripsi ini.
“Kalau kita bisa wisuda bareng nanti, gue akan jadi orang pertama yang meluk lo dengan penuh rasa bangga!”, merupakan janji yang sempat kuucapkan padanya ketika kami hampir menyerah.

Dan kini, kami membuktikan bahwa kami berhasil meraih salah satu impian kami. Alhamdulillah. Skripsi ini kupersembahkan untuknya semoga dapat mewakili ucapan terima kasih yang luar biasa, spesial untuknya, wanita yang juga luar biasa.


Kalimat di atas adalah kutipan dalam sebuah Lembar Persembahan (skripsi).
Aku memberi ruang secara khusus, untuknya...
Seorang Partner Seperjuangan!

Kala itu, di Hari Wisuda, aku memeluknya dan memberikan bingkisan album foto untuknya.
Dengan penuh rasa bangga, tentunya!

"Kalo mau buka ini, harus sambil dengerin lagu SheilaOn7 yang judulnya 'Sebuah Kisah Klasik' ya!", pintaku.

Dan,
bagian ini adalah bagian akhir dalam album foto itu.



Jadi, awalnya ini adalah halaman kosong (tanpa foto).
Beberapa waktu lalu, aku memintanya mengirimkan foto albumnya.
Sekarang, halaman ini sudah tidak kosong lagi.
Dan,
ternyata sesuai dugaanku!
Dia cantik dengan kebaya dan toganya...



Kini,
Selain jarak sekitar 231km yang secara terang-terangan memisahkan kami,
Aktivitas kerja pun memaksa kami untuk semakin sulit berkomunikasi.

Ah,
aku rindu bersenda gurau,
berbagi tawa dan canda,
bercerita semua hal yang seolah tak ada akhirnya,
menghabiskan weekend di kamar kosan, walaupun cuma sekedar bermalas-malasan...

Ya Allah,
terima kasih telah mengijinkanku mengenalnya...
lindungi ia dalam setiap langkahnya...
berkahi ia dalam setiap karyanya...
tolong sampaikan salamku untuknya, betapa aku merindukan saat-saat bersamanya...

Rabu, 29 Oktober 2014

Siswa Berwajah Oriental itu Menangis

Ketika aku sedang tenggelam dalam tumpukkan berkas-berkas rekapitulasi kehadiran siswa, Bapak Kepala Sekolah menghampiriku dan berkata,
"Bu, tolong ditangani anak ini. Namanya R*****."

Mataku pun langsung aktif mendeteksi keberadaan siswa itu---memperhatikan segala penjuru ruang guru karena saat itu tak terlihat ada siswa di samping Bapak Kepala Sekolah. Sesaat setelah itu, ada salah seorang siswa kelas XII yang masuk ke ruangan. Tapi yang aku tau, dia bernama R***, bukan R*****. Nah loh? Sama-sama dari huruf R sih namanya, tapi beda jumlah hurufnya. Yap! Serupa tapi tak sama.

**Ngomong-ngomong, maaf menyembunyikan nama. Demi menjaga nama baik siswa yang bersangkutan.

Awalnya, aku pikir Bapak Kepala Sekolah salah menyebutkan nama. Aku menghampiri R*** dan bertanya, "Ada apa, R***?"

"Enggak, Bu. Cuma mau ngambil LKS." kemudian ngeloyor pergi keluar ruangan.

Aku pasang tampang cengokBingung.
'Ini yang dimaksud sama Bapak Kepala Sekolah tuh siapa ya?' batinku.

Aku pun keluar ruangan untuk memastikan. Siapa tau saja bisa menemukan sosok lain di sana. Ups. Sosok siswa lain maksudnya. Ternyata benar! Ada siswa berwajah oriental berdiri di depan pintu ruang guru. Ganteng! Eh. Hem, iya dia memang ganteng. Serius.

"Kamu namanya siapa?" tanyaku.

"R*****." jawabnya singkat dengan wajah terlihat kesal.

Nah, ini dia yang dimaksud sama Bapak Kepala Sekolah! "Ada masalah apa?" tanyaku lagi.

"Tau tuh! Tadi saya lagi nulis. !@#$%^&*()...." jawabnya panjang lebar nggak karuan dengan nada yang ditinggikan. Sejujurnya aku bingung. Nggak ngerti maksud penjelasannya. Sebelum siswa itu selesai bicara, Bapak Kepala Sekolah keluar dari ruang guru dan bilang,
"Ini Bu, tolong ditangani. Omongannya tidak sopan."

"Apaan sih, Pak? Orang saya lagi nulis..." jawab siswa itu membela diri, (tetap) dengan nada bicaranya yang terkesan nyolot.

"Hey, kamu tuh sekolah di sini bicaranya kok begitu! Panggil aja Bu orang tuanya!" tambah Bapak Kepala Sekolah, terlihat tidak mau kalah nada tingginya. Sempat terjadi adu mulut antara dua makhluk itu hingga akhirnya Bapak Kepala Sekolah bilang, "bawa aja Bu ke Ruang BK!"

Aku pun naik ke lantai dua menuju ruang BK, diikuti oleh siswa berwajah oriental itu di belakangku. Ketika merasa sudah dalam posisi duduk yang nyaman untuk ngobrol, aku pun membuka pembicaraan dengan kepo-in masalah antara siswa berwajah oriental itu dengan Bapak Kepala Sekolah.

Siswa berwajah oriental itu menceritakan bahwa awalnya dia mengeluarkan celetukan ringan di dalam kelas saat Bapak Kepala Sekolah bilang,
"Bapak tinggal dulu ya sebentar".

"Lama juga nggak apa-apa, Pak." kata siswa berwajah oriental itu, disambut oleh tawa teman-teman di kelasnya.

Yah, begitu lah! Nggak sedikit siswa yang memang suka nyeletuk-nyeletuk ringan disela-sela jam pelajaran. Aku pribadi sih menganggapnya wajar karena sepertinya itu adalah obat penawar kebosanan mereka setelah duduk berjam-jam di dalam kelas untuk belajar. Biasanya, dalam kondisi yang seperti itu, aku akan menanggapi santai, selama mereka tidak berlebihan.

Melalui cerita yang disampaikan oleh siswa berwajah oriental itu, (menurutku) celetukannya membuat Bapak Kepala Sekolah menoleh, memperhatikan dirinya. Malangnya, perhatian tersebut membuat Bapak Kepala Sekolah menyadari bahwa siswa berwajah oriental itu memakai gelang di tangannya. Padahal, peraturan sekolah menyatakan bahwa siswa laki-laki tidak diperbolehkan memakai gelang, kalung, cincin dan semacamnya.

Bapak Kepala Sekolah pun meminta siswa berwajah oriental itu menyerahkan gelangnya. Akan tetapi siswa berwajah oriental itu menolak karena mengaku gelang tersebut adalah pemberian mamanya. Ia hanya melepaskan gelang itu dan menaruh di kantong baju seragamnya sambil mengatakan,
"Iya Pak, saya nggak pake lagi, tapi jangan diambil Pak."

Ternyata jawaban siswa berwajah oriental itu tidak membuat Bapak Kepala Sekolah puas. Bapak Kepala Sekolah justru memaksa siswa berwajah oriental itu untuk menyerahkan gelangnya, dengan cara menarik-narik kantong baju seragamnya. Siswa berwajah oriental itu pun menjadi emosi dan akhirnya mengeluarkan gelang tersebut dari kantongnya.
     
"Tuh deh Pak, ambil aja!" kata siswa berwajah oriental itu menirukan kembali adegan dramatis di kelasnya. Terlihat sangat jelas kesan nyolot dari ucapannya. (Mungkin) Bapak Kepala Sekolah nggak terima dengan sikap siswa berwajah oriental itu, kemudian mengusirnya keluar kelas. Yap! Di sinilah kami berdua sekarang (baca: ruang BK).

Semula, siswa berwajah oriental itu masih berusaha menahan tangisnya. Tapi kalian tau? Pada akhirnya siswa berwajah oriental itu menangis sesenggukan sambil menceritakan kronologisnya sampai akhir. Emosinya terlihat jelas! Aku pun harus berusaha keras mencerna setiap kata yang diucapkannya disela-sela isak tangis siswa berwajah oriental itu.



"Saya nggak mau dipanggil orangtua, Bu! Saya malu! Mending saya nggak usah sekolah aja kalo harus dipanggil orang tua! Cuma gara-gara gelang doang Bu, saya harus dipanggil orang tua?" itu sebagian kecil kalimat yang ia ucapkan dan terekam jelas di memory-ku, termasuk ekspresinya saat berusaha mengatur irama nafas diantara nada unik isak tangisnya.

Oke. Setelah merekam kronologis ceritanya dalam otak, waktunya aku untuk kepo-in tentang siswa berwajah oriental itu. Heh. Bukan kepo-in yang aneh-aneh loh maksudnya...

Melalui hasil kepo, aku jadi tau bahwa siswa berwajah oriental yang ada di hadapanku adalah seorang pelatih karate di Brimob. Wow! Seorang pelatih karate yang cute dengan wajah orientalnya, menangis. Yap! M-E-N-A-N-G-I-S.

Iya. Siswa berwajah oriental itu sudah berlatih karate sejak ia kelas 2 SD. Nggak heran kalo di usianya yang sekarang, ia sudah menjadi seorang pelatih. Melalui aktivitasnya itu pula, ia jadi bisa punya penghasilan sendiri. Cool!

Usaha kepo itu pun memberiku informasi lain. Siswa berwajah oriental itu adalah anak satu-satunya dan orang tuanya telah bercerai. Hingga saat ini, ia hanya tinggal berdua dengan mamanya.

Hem, siswa berwajah oriental itu agak menutup diri ketika aku menyinggung tentang kehidupan pribadinya. Bahkan, ia terlihat kembali berusaha menahan tangisnya.

"Kamu kayaknya emosional banget kalo bahas tentang mama. Sayang banget ya sama mama?" tanyaku sok lugu. Tangis siswa berwajah oriental itu pun pecah (lagi). Iya, L-A-G-I! Bahkan semakin jelas terlihat ia berusaha untuk mengatur nafasnya agar tetap stabil.

Ketika aku bertanya, "Mama kerja?"

"Iya, Bu. Guru di SLB (baca: Sekolah Luar Biasa)."

Subhanallah...

"Wow! Pasti mama itu orang yang luar biasa sabar ya? Beliau mengabdikan diri di sebuah Sekolah Luar Biasa." kataku, disambut oleh senyum yang ia selipkan diantara tangisannya. Senyuman itu seolah mewakili perasaan cintanya terhadap Sang Mama. 

Ya Allah...
Itukah yang membuatnya sangat alergi dengan pemanggilan orang tua ke sekolah?
Karena tak ingin melukai perasaan Sang Mama, itukah alasannya?
Itukah yang membuatnya menangis bagaikan bendungan yang pecah?

AllahuKareem...
Tak terbayangkan bagaimana rasanya hanya tinggal berdua dengan Mama. Menjadi anak satu-satunya dan korban dari perceraian orang tua.
Keadaan seakan memaksanya menjadi pribadi yang kuat---seorang anak lelaki yang menjadi pelindung bagi mamanya. Bolehkah ia menangis?
Kalau pun boleh, kurasa ia tidak memberikan toleransi bagi dirinya sendiri untuk menangis di depan mamanya.

Ya Allah...
Bimbinglah ia agar terus berada dalam jalan lurus-Mu.
Berikanlah perlindungan-Mu Yang Maha Sempurna untuk ia dan mamanya.
Kuatkan mereka...
Limpahkan keberkahan-Mu untuk mereka...



Setelah aku memberinya waktu untuk menenangkan diri, aku mengajaknya diskusi untuk mencari titik kesalahannya dari drama yang dilakoninya dengan Bapak Kepala Sekolah. Kemudian kami mencoba menarik kesimpulan tentang apa yang harus dilakukan berikutnya.

"Oke, kamu boleh kembali ke kelas. Cuci muka dulu ya!" kataku, disambut dengan wajahnya yang merona menahan malu, kemudian pamit meninggalkan ruang BK.

Sesaat setelah itu, aku refleks tersenyum.

Ada perasaan aneh yang menggelayut manja dibalik sebuah senyum.

Semacam rasa bahagia, lega, atau bangga. Entahlah! Ada suatu rasa, saat orang lain bersikap sangat terbuka---mempercayaiku untuk mendengarkan ceritanya, bahkan mengijinkanku untuk melihat air matanya.

AllahuAkbar...
Aku jatuh cinta.
Jatuh cinta pada seknario-Mu Yang Maha Sempurna.


Sssttt... I LOVE MY JOB!