Selasa, 15 November 2016

7 Hal Menguntungkan Jika Kamu dan Pasangan Berprofesi sebagai Guru

Di era modern ini, masih banyak yang mengganggap kalau profesi guru itu kurang keren. Apalagi dibandingkan dengan profesi-profesi berkelas seperti dokter, insinyur, pilot, pengusaha ataupun arsitek.

Padahal profesi guru itu yang paling keren lho! Profesi guru adalah satu profesi yang bisa melahirkan berbagai macam profesi lainnya. Orang-orang sukses yang kamu kenal sekarang, apa pun itu profesinya, pasti dulunya pernah menimba ilmu dari seorang guru kan?

Nah, buat kamu yang berprofesi sebagai guru, berbahagialah! Kamu adalah orang yang dipilih Tuhan untuk mengemban tanggung jawab besar. Keren! Tuhan nggak akan pernah salah pilih kan?

Kalau kamu seorang guru dan memiliki pasangan yang juga berprofesi sebagai guru, berikut adalah 7 (tujuh) hal yang sangat menguntungkan untuk kalian:




1. Kalian bisa berkolaborasi menciptakan pola asuh yang jitu

Background kalian yang dijejeli dengan ilmu kependidikan, tentu menjadi aset berharga untuk bisa menciptakan pola asuh yang nyaris sempurna.Keseharian di sekolah pun membekali kalian dengan hal-hal yang up to date di kalangan pelajar. Kalian jadi bisa meracik resep yang tepat untuk menciptakan pola asuh yang baik tapi tetap kekinian. So, label 'orang tua kolot' dijamin akan jauh dari sosok kalian!




2. Kalian akan punya kesabaran double power

Dalam mengikuti setiap tahap tumbuh kembang anak, pasti diwarnai dengan tingkahnya yang beraneka macam. Dari mulai yang menggemaskan, hingga yang bikin geram. Ini bukan lagi hambatan buat kalian karena keseharian kalian di sekolah sudah menjadi semacam training khusus dalam menangani macam-macam tingkah laku anak. Jadi, kesabaran kalian tidak perlu lagi diragukan!




3. Kalian menjadi orang tua yang sangat menghormati sosok guru

Profesi kalian yang juga sebagai tenaga pendidik tentu membuat kalian paham betul dengan posisi guru-guru pengajar di sekolah anak kalian. Bukan hal yang mudah untuk mengontrol puluhan bahkan ratusan jumlah siswa di sekolah. Oleh karena itu, masing-masing guru selalu punya caranya sendiri untuk membangun kedisiplinan. Kalian sangat mengerti bahwa guru adalah pengganti orang tua di sekolah. Kalian percaya bahwa setiap guru pasti mau yang terbaik untuk anak-anak didiknya. So, menuntut guru ke jalur hukum hanya karena menegur, menjewer atau pun mencukur rambut anak kalian? Duh, nggak lah ya!




4. Kalian tau bagaimana menciptakan suasana belajar yang seru

Kalian memahami bahwa duduk di dalam kelas untuk belajar selama sekian jam tentu tidak terlalu menyenangkan. Berbekal dengan ilmu tentang kurikulum terbaru, kalian bisa menciptakan suasana belajar di rumah menjadi mengasyikkan dan seru. Tidak melulu harus duduk diam di atas meja belajar karena anak kalian sudah melakukan itu di sekolah selama hampir seharian. Kasihan.




5. Punya segudang bahan obrolan untuk didiskusikan

Berinteraksi dengan para peserta didik di sekolah membuat kalian selalu update tentang hal-hal yang sedang kekinian di kalangan mereka. Dari mulai film, lagu, hingga bahasa gaul yang sering mereka gunakan. Ini bisa menjadi bahan diskusi bersama anak kalian disela-sela pembahasan tentang prestasi. Pahami 'dunia mereka' dan temukan celahnya. Kalian akan menjadi orangtua yang tegas, bijaksana, tapi tetap kekinian. Keren, kan!




6. Kalian punya lebih banyak waktu luang, sehingga bisa ekstra pengawasan

Profesi guru selalu menang dalam hal banyaknya waktu yang dihabiskan bersama anak. Setiap harinya, jam berangkat kerja dan jam pulang kerja kalian nyaris sama dengan anak. Artinya, kalian berangkat ketika anak berangkat dan kalian pulang ketika anak pulang. Tentu berbeda dengan keluhan para orang tua pekerja kantoran yang seringkali harus pulang ke rumah dalam keadaan anak sudah tertidur nyenyak. Kalian bisa lebih jelas memantau apa saja aktivitas anak seharian, sehingga meminimalisir peluang anak akan salah pergaulan.




7. Waktu libur yang panjang dan berbarengan

Nggak cuma dalam keseharian, dalam liburan pun profesi guru sangat menguntungkan. Kalian bisa menikmati masa liburan panjang secara bersamaan. Nggak cuma libur lebaran! Berlibur dengan formasi lengkap antara orang tua dan anak adalah hal yang menakjubkan, bukan? Tinggal pilih aja lokasi-lokasi liburan yang bisa dijangkau. Dalam kota, luar kota, atau luar negeri?

Selasa, 01 November 2016

Kehangatan dalam Kesederhanaan



"Hai, Topi! Bagaimana keadaanmu di atas sana?"

"Ah, kau ini! Masih saja senang menanyakan hal yang sama. Kau kan tau, kita sama-sama tidak punya alasan untuk mengeluh selagi Bapak tetap tersenyum dengan ikhlasnya. Malu!" kata Topi menjawab pertanyaan dari Sendal.

"Iya, kau benar, Top. Lalu, bagaimana dengan kau, Karung? Apa masih sanggup menampung?"

"Halah, tidak perlu ditanya! Beban yang aku tanggung masih belum ada apa-apanya dibandingkan apa yang harus ditanggung oleh punggung Bapak." kata Karung menanggapi.

*

Betapa bahagianya Topi karena bisa melindungi Sang Bapak dari teriknya matahari. Merasakan setiap titik peluh yang keluar malu-malu. Menikmati setiap kali tubuhnya basah oleh keringat Bapak yang menjemput rezeki dengan usaha sendiri.

Betapa bahagianya Sendal karena bisa melindungi Sang Bapak dari tajamnya bebatuan di jalan. Merasakan setiap titik kekuatan telapak kaki yang menjadi tumpuan. Mengiringi perjuangan setiap inchi langkah kaki Bapak yang menjemput rezeki dengan usaha sendiri.

Betapa bahagianya Karung karena bisa menyediakan ruang untuk barang-barang yang Bapak temukan sepanjang perjalanan. Merasakan bertambahnya setiap gram berat beban yang harus ditanggung oleh punggung. Meresapi setiap bisikan syukur kepada Ilahi Robbi dari mulut Bapak yang menjemput rezeki dengan usaha sendiri.

*

Topi, Sendal dan Karung sudah menjadi teman setia Bapak selama sekian tahun. Mereka paham betul bagaimana rasanya menjadi yang satu-satunya, menjadi benda yang berharga. Dijaga. Jelas beda dengan barang koleksi orang-orang kaya yang lebih sering disimpan di lemari, bahkan mungkin dilupakan ketika dianggap sudah tidak modern lagi.

*

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibu pun sudah berdiri di tempat biasanya, bersiap menyambut kepulangan Bapak.

Bapak berjalan gagah menghampiri Ibu. Lengkap dengan sunggingan senyum yang paling mahal. Sebuah senyum keikhlasan. Ibu mencium punggung tangan kanan Bapak, disusul dengan Bapak yang mencium kening Ibu.

"Alhamdulillah, semoga besok lebih berkah." ucap Bapak dan Ibu bersamaan.

*

Itulah pemandangan favorit Topi, Karung dan Sendal setiap hari. Potret kehangatan sebuah keluarga dalam kesederhanaan. Dilengkapi sorot matahari petang yang menenangkan.

-Nici-
01/11/2016
#MalamNarasi

Minggu, 30 Oktober 2016

Berdamai dengan Jerawat !

Hayooo, siapa yang nggak kenal sama jerawat? Aku rasa anak SD jaman sekarang juga udah kenal sih. Eh, apa mungkin anak TK pun udah kenal ya? :D
Kalo ngomongin soal jerawat, rasanya kayak ada gemesh-gemeshnya gitu. Bukan manis-manisnya lho, ya! Ya iyalah, gimana nggak gemesh, sosoknya aja imut-imut ngeselin gimana gitu. :P



Buat kamu-kamu-kamu yang sampe sekarang masih musuhan sama jerawat, luangin waktu buat baca postingan ini sampe kelar, yuk!

Jerawat atau acne vulgaris dalam istilah medis, pada dasarnya adalah benjolan yang timbul akibat penyumbatan pori atau peradangan pada kulit yang disertai dengan nanah atau darah.

Nah, ada beberapa faktor nih yang bisa memicu timbulnya jerawat, diantaranya infeksi akibat bakteri, kulit berminyak, ketidakseimbangan hormon, pola makan yang nggak sehat dan lain sebagainya.

Kalo dipikir-pikir nih ya, kulitku tuh berminyak, terus dari dulu pola makan aku kacau, plus nggak telaten ngerawat kulit. Duh, ya jelas dong kalo jerawat betah banget berleha-leha di muka aku. Eh, tapi itu dulu lho! Sekarang alhamdulillah udah enggak lagi, eh, udah mendingan. Ciyeee~

Dulu aku juga sempet dibikin frutrasi sama jerawat. Aku pernah gonta-ganti skincare yang dijual di pasaran. Pas SMP sih aku setia banget sama salah satu varian dari Pond's, tapi pas SMA dan pas jadi mahasiswa, aku mulai berpaling ke yang lain. Dari mulai berbagai varian Pond's, berbagai varian Garnier, Sari Ayu, Fair 'n Lovely, Wardah, Body Shop, Face Shop sampe produk herbal, pernah mampir ke kulit mukaku. Ugh!

Ngeliat temen bening dikit, langsung kepo nanya, "Eh, perawatan muka lo pake apaan?" Pas denger jawabannya, aku langsung antusias pengen nyoba juga. Ya gitu deh yang bikin aku coba-coba produk ini-itu.

Aku juga pernah sok-sokan ikut perawatan di dokter kecantikan. Kenapa aku bilang "sok-sokan"? Karena aku itu udah kayak cewek jadi-jadian. Aseli! Boro-boro ke dokter kecantikan buat konsul, perawatan, facial, peeling dan lain-lain. Wong ke salon aja cuma kalo mau potong rambut doang! Buat creambath, hair mask, lulur, spa atau apalah itu macam-macamnya, duh, mana pernah!

Pertama kali ikut daftar di dokter kecantikan itu (lagi-lagi) karena iri liat muka temen yang kinclong. Akhirnya ikutan daftar dan perawatan bareng doi. Selain harus rutin pake sabun cuci muka, toner, plus krim pagi dan malemnya, salah satu agenda rutinnya adalah facial.

Oke, aku pernah satu kali nyobain facial dan sampe detik ini, facial itu adalah yang pertama dan yang terakhir. Sakit! Aseli, aku nggak mau lagi-lagi! Muka dikerok-kerok, dicongkel-congkel, duh, diapainlah itu namanya. Sungguh tidak berkeperimukaan. Lah!

Pas nanya sama temen, katanya, "Emang begitu rasanya. Come on, beauty is pain!"

Oemjih!
Harus banget menderita ya buat cantik? :")

Selama sekian minggu aku ikutin jadwal perawatan di dokter itu, KECUALI FACIAL! Tapi aku tetep optimis bakal punya kulit kinclong kayak temen aku. Sampe pada akhirnya ada salah satu temen yang komen pas aku pasang foto profil lagi bareng sama temen-temen aku.

"Ni, kok muka lo merah banget?"

JENG! JENG!
Dari situ aku baru merhatiin muka aku sendiri. Aku bandingin sama muka temen-temenku di foto itu. Ternyata bener, muka aku merah kayak kepiting rebus. Nggak wajar. Nggak kayak temen-temenku yang lain. Emang dasar bukan cewek! Cuek banget sampe aku nggak sadar kalo temen aku nggak bilang. Duh, maklum ya, masih amatiran ikut-ikut perawatan. :P

Sejak itu aku stop ikut perawatan di dokter itu. Temen-temenku bilang mungkin aku nggak cocok. Akhirnya aku balik lagi bergelut dengan berbagai macam produk yang beredar di pasaran. Nyobain yang belom pernah aku cobain. Eh, nggak gitu-gitu banget juga sih!

Terus aku dapet rekomendasi salah satu dokter kecantikan (lagi) dari sepupuku yang nggak sengaja rumpiin jerawat di sebuah pertemuan keluarga. Penting banget kan bahan rumpiannya? :D

Nah, aku ikutan daftar lagi dan akhirnya perawatan bareng sama sepupu aku itu. Sekian bulan aku coba perhatiin perkembangan muka aku. Alhamdulillah nggak ada yang aneh sih. Nggak kayak kepiting rebus.

Tapi ... nggak ada perubahan signifikan juga! Ya gitu-gitu aja. Terus aku kepoin sepupuku yang udah setahun lebih perawatan di sana. Aku pantengin foto-foto dia. Kayaknya emang masih gitu-gitu aja. Ya kayak nggak ada perubahan yang cetar gimana gitu deh.

Akhirnya karena aku ngerasa disitu cuma buang-buang duit, aku milih buat stop. Apa emang akunya aja yang nggak sabar ya? Mbuh! :P

Lagi-lagi aku coba gonta-ganti produk. Bahkan jadi lebih absurd! Aku nyoba-nyoba produk yang dijual online, yang bahkan aku nggak tau itu aman apa nggak. Aku juga pernah nyoba Vitacid yang katanya bisa ampuh babat jerawat. Nyatanya, muka aku malah tambah parah. Jerawat subur-subur udah kayak bayi (super) sehat. Katanya sih masa purging. Tapi, nggak kelar-kelar, men! Jerawat oh jerawat!

Di satu kesempatan, aku ketemuan sama salah satu sahabat aku yang udah lama banget nggak ketemu. Di situ aku terpesona sama mukanya dia. Putih. Bersih. Mulus. Beuh! Sampe pas foto berdua, keliatan banget kontrasnya antara kulit muka dia yang cucok abis sama kulit muka aku yang kucel plus jerawatan. Sadis!

Lagi-lagi aku kepoin produk yang dia pake. Ternyata biasa dijual online. Ya sama aja kayak skincare yang biasanya, terdiri dari sabun muka, toner, krim pagi dan krim malem. Katanya, tantenya dia jual.

Tanpa pikir panjang, langsung aja aku order.

Kalo nggak salah, aku sempet pake skincare itu selama tiga bulan. Waktu itu, belom genap sebulan aja muka aku udah kinclong. Aku berubah jadi cantik. Duileh! Tapi, putihnya putih aneh. Pucat. Nggak wajar. Jerawat nggak nongol satu pun. Ajaib kan? Belakangan aku tau kalo itu adalah ciri-ciri krim yang berbahaya. Wow! Akhirnya aku stop.

Dulu aku pernah mikir "Nggak peduli deh itu skincare aman apa nggak. Yang penting bisa cantik, cucok, kinclong! Jerawat bisa enyah dari muka gue!"

Tapi ternyata aku salah. Jangan asal cantik ya, girls!

Nah, itulah perjalanan panjang yang udah aku jalanin demi ngusir jerawat yang nge-gemesin. Kebayang kan betapa aku udah bersikap nggak berkeprimukaan selama ini? Sekarang aku udah tobat! Aku udah menemukan tambatin hati. Eh salah, tambatan muka. Eh! Ya apalah itu namanya. :D


Mau tau?
Nih ya, aku kenalin satu per satu!


Yang pertama, Ovale Facial Lotion ! Aku pake yang varian Aloe Vera (anti acne) dengan ekstrak jeruk nipis dan tea tree oil. Ini dia penampakannya!


InsyaAllah aman karena udah terdaftar di BPOM. Nomornya NA18151201573. Harganya IDR 23.500 di Indomaret. :D
Aku pake ini tiap sebelum cuci muka. Pengaplikasiannya pake kapas, ya! Biasanya aku pake tiap sebelum mandi pagi dan sebelum tidur. Kalo lagi rajin sih, aku juga pake tiap pulang kerja. Maklum, pengendara motor. Kebayang kan kalo abis ditempa sama polusi Jakarta? Ugh!

Ovale Facial Lotion ini fungsinya untuk membersihkan kotoran dan sisa tata rias. Seenggaknya ini jadi langkah awal pembersihan sebelum menggunakan sabun muka.

Yang kedua, si mungil Amoorea !


Sabun amoorea ini kecil-kecil cabe rawit. Harganya lumayan bisa bikin dompet sesak napas! :D
Untuk satu box (isi dua bar) harganya IDR 400.000. Kalo satu bar, harganya IDR 200.000. Ada juga yang jual eceran dengan harga IDR 100.000 (satu bar dibagi dua). Walaupun nggak banyak, ada juga yang jual eceran dengan harga IDR 50.000 (satu bar dibagi empat). Kebayang nggak kecilnya kayak apa? Coba googling deh! Hati-hati shock ya, girls... :P

Awal aku kenal Amoorea lewat broadcast message BBM dari salah satu akun online shop. Sama kayak sebelumnya, aku sih iseng mau coba-coba aja. Eh ternyata aku jatuh cinta! Ciyeee... Aku ngerasa lebih baik sih setelah pake sabun ini. Jerawat aku nggak brutal lagi. Ya walaupun harganya ... ah, sudahlah!

Amoorea diperkaya oleh kombinasi unik ekstrak Microalgae dengan lumpur Heilmoor, sehingga bersifat menenangkan dan merevitaslisasi kulit sehabis mandi. Aku rasa kandungan lumpur Heilmoornya ini bikin Amoorea jadi sabun yang teksturnya sensitif. Kalo berlama-lama dalam kondisi basah, dia jadi lumer. Bukan sabun padat lagi nanti, jadinya sabun cair. :D

Kalo udah lumer, pemakaian sabun Amoorea jadi lebih boros. Sabunnya jadi lebih gampang abis. Nah, untuk ngatasin hal ini, aku letakkin sabun amoorea di sebuah cup yang bolong-bolong. Ini bisa bantu tirisin air (biar lebih cepet kering) setelah Amoorea dipake. Sabun Amoorea juga bukan sabun yang banyak busanya. Jadi kamu nggak perlu gosok lama-lama biar busanya banyak. Percuma. Yang ada malah boros pemakaian kalo digosok-gosok terus. Sayang tau, mahal! :P 

Oh iya, Amoorea juga insyaAllah aman karena udah terdaftar di BPOM. Nomornya NA32141203338.

Yang ketiga, Elora Beauty Organic !


Toner, krim pagi dan krim malem dari Elora Beauty Organic ini yang juga nemenin keseharian aku. Kecuali sabun mukanya, ya! Aku nggak pake sabun mukanya karena aku kan pake Amoorea. Emang sih setiap aku beli satu paket Elora Beauty Organic ini jadi mubadzir sabun mukanya. Tapi ya mau gimana, aku terlalu cinta sama Amoorea. Duileh! Eh iya lho, seriuuusss... :P

Aku liat penampakan Elora Beauty Organic pertama kali di instagram pas aku masih dalam masa pencarian tambatan muka. Halah! Sama kayak sebelumnya, niat awal sih coba-coba, eh ternyata malah jatuh cinta. :D

Oh iya, Elora ini harganya IDR 200.000 per paket. InsyaAllah aman karena udah terdaftar juga di BPOM. Nomornya:
- Toner NA18161201062
- Facial Wash NA18161201061
- Day Cream NA18160100635
- Night Cream NA18160100634

Awal-awal pemakaian, aku pure cuma pake toner dan krim pagi dari Elora Beauty Organic ini sebelum keluar rumah, tanpa polesan bedak sama sekali! Not bad sih... Cuma ada efek mengkilap gimana gitu di muka. Entah emang karena muka aku yang oily, atau emang krim ini punya efek shiny (?)

Akhirnya, belakangan aku aplikasiin bedak setelah aku pake krim paginya. Aku ngerasa lebih baik setelah pake bedak. Walaupun agak ngeri juga milih produk bedaknya. Takut malah bikin jerawat brutal lagi.

Aku jatuhin pilihan sama bedak Marcks' yang Creme. Iya, bedak Marcks'. Tau kan, bedak yang dari jaman baheula, yang kayaknya sampe setahun pun nggak bakal abis kalo dipake! :D

Iyap, ini penampakannya!


Berhubung packaging bedak Marcks' agak sulit buat dibawa-bawa karena ngeri tumpah di tas, aku baru beralih ke Wardah Everyday Compact Powder nih! Baru banget kemarin beli dan baru sekali pake tadi pagi. Agak kurang suka pas udah diaplikasiin ke muka sih. Kayak dempulan, ups! Ada tebel-tebelnya gimana gitu. Beda sama bedak Marcks' yang terasa halus dan ringan banget di kulit muka.

Eh ya ampun, ini nulis udah panjang banget ya? Maap ya, suka nggak tau diri emang! :D

Yowesh, begitulah pengalaman aku bersama jerawat. Sekarang alhamdulillah aku udah bisa lebih bersahabat dengan jerawat. Kalo kata temen-temenku sih, muka aku udah jauh lebih mendingan dibandingin yang dulu, Duileh! Eh, kalo emang kepo sama perubahannya, langsung stalk aja foto aku yang dulu-dulu sama yang sekarang. :P

Maap ya, nggak nampilin foto Before-After di sini. ^.^

Buat kamu-kamu-kamu yang punya masalah juga sama jerawat, kuncinya sih ya harus segera nyari produk yang jadi tambatan muka kamu. Halah! Jangan cuma ikut-ikut temen (kayak pengalaman aku) karena kecocokan masing-masing kulit itu beda.

Oh iya, saranku sih (lagi-lagi dari pengalaman pribadi), ngga usah pake makeUp tebel-tebel cuma buat nutupin jerawat kamu. Karena itu cuma jadi solusi sementara, tapi nggak bikin jerawat ilang dari muka. Malah bisa jadi lebih parah! Kasian kulit kamu. Menurutku (lagi dan lagi, dari pengalaman pribadi), untuk kulit berminyak (yang udah pasti cenderung berjerawat) yang penting itu telaten ngerawat dan jangan pake produk yang berat-berat.

Kulit yang sehat bukan berarti sama sekali nggak berjerawat lho! Normal-normal aja satu-dua jerawat muncul kalo hormon kamu lagi nggak stabil atau pola makan kamu lagi ancur. :P

Cobalah untuk (lebih) bersahabat dengan jerawat, ya!

GOOD LUCK !

Kamis, 19 Mei 2016

Menu Menyalakan Tanda Bahaya

Hai, salam kenal. Namaku Menu. Aku tahu namaku sudah familiar di telingamu. Tenang saja, kamu bukan orang pertama yang bilang kalau namaku pasaran. Tapi kamu hanya akan menemukanku di sebuah restoran, dengan steak sebagai menu utama yang ditawarkan. Biasanya aku memakai baju berwarna hitam dan kuning yang mendominasi, dengan tulisan “Waroeng Steak and Shake” bertengger di salah satu sisi.

Aktivitasku sehari-hari adalah berpindah dari satu meja ke meja yang lain. Digenggam oleh satu tangan, kemudian berpindah ke genggaman yang lain. Kamu harus tahu bagaimana rasanya dipelototi oleh mata para pengunjung, dari mulai ujung kepala hingga ujung kaki. Rasanya seru sekali! Kamu akan bisa mengenali wajah-wajah yang sedang kelaparan, kehausan, atau bahkan mengidam. Walaupun tak jarang aku mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan. Aku pernah ditarik-tarik oleh kakak beradik yang berebut ingin memesan makanan. Aku juga pernah dilemparkan begitu saja oleh pasangan yang sedang bertengkar. Dan hal yang paling menyebalkan adalah ketika aku digerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri berulang kali oleh pengunjung yang sedang kegerahan. Uh, andai saja dia tahu itu membuatku pusing dan agak mual!

Aku lebih suka rebahan di atas meja daripada harus berdesak-desakan dengan teman-temanku di dalam kotak penyimpanan. Aku senang memperhatikan setiap detail aktivitas yang terjadi di restoran, dari mulai para pelayan yang sibuk berlalu lalang di jam makan siang hingga ekspresi lucu para pengunjung yang kekenyayangan. Aku suka. Setiap meja selalu menawarkan cerita.

Siang hari tadi, ketika restoran baru saja buka, aku diletakkan di salah satu meja yang dikelilingi oleh sebuah keluarga. Ada seorang ibu muda yang menggendong anak balita, serta ada seorang laki-laki paruh baya yang duduk berhadapan dengannya. Laki-laki itu terlihat asyik menikmati sebatang rokok. Asapnya menari-nari di udara, menjelma sebagai pembunuh tanpa suara.

“Uh, aku benci dengan pemandangan ini! Aku benci melihat seorang perokok yang tanpa dosa mengepulkan asapnya di dekat anak balita. Mereka seolah tidak peduli dengan bahaya yang tertulis di setiap bungkus rokoknya. Seharusnya mereka cukup merusak badan mereka sendiri, tidak perlu mengajak anak balita ataupun istri. Tega sekali!” Ucapku emosi.

“Hey, kamu membicarakan aku?” Terdengar suara yang menimpali ucapanku. Ternyata itu berasal dari sebuah bungkus rokok yang tergeletak tak jauh dari tempat pisau dan garpu.

“Oops. Sorry, aku nggak ngeliat kamu tadi.” Kataku.

“Oh, nggak apa-apa. Aku udah biasa kok nggak dianggap ada.” Jawabnya drama.

“Maaf, aku nggak bermaksud menyinggung, tapi…”

“Iya, tenang aja. Aku nggak tersinggung kok. Aku cuma iri sama kamu. Orang-orang yang memegangmu pasti akan selalu memperhatikan kamu secara detail. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, sebelum memesan makanan atau minuman yang mereka cari. Sedangkan aku seringkali hanya dianggap angin lalu. Padahal di bajuku tertulis banyak ilmu tentang bahaya rokok yang dapat membunuh orang itu. Sayangnya aku selalu diabaikan. Bahkan walaupun di bajuku terselip gambar yang menjijikkan!” Suara bungkus rokok terdengar lirih.

“Kalian harus merasakan bagaimana rasanya jadi aku. Masuk ke dalam rongga mulut seorang perokok adalah mimpi buruk! Seperti yang kalian tahu, merokok dapat menghambat aliran darah ke gusi, sehingga membuat gusi kekurangan nutrisi, oksigen dan menjadi rentan untuk terserang infeksi. Merokok juga mengakibatkan bau nafas tidak sedap yang bersifat menetap, meningkatkan penumpukan plak dan karang gigi, menimbulkan peradangan kelenjar ludah dan bercak-bercak putih di dalam mulut yang disebut leukoplakia, serta meningkatkan resiko lubang pada gigi. Menjijikkan bukan?” Kata garpu yang tiba-tiba ikut menyerbu.

Tiba-tiba terdengar suara isak tangis. Aku, bungkus rokok dan garpu segera mencari asal suara itu. Ternyata itu berasal dari kaos yang dipakai oleh laki-laki paruh baya, penghuni meja kami. “Lantas bagaimana dengan aku? Zat nikotin yang terkandung dalam rokok tidak hanya berpengaruh pada organ dalam perokok. Nikotin juga terserap melalui kulit dan memengaruhi produksi kelenjar keringat, sehingga menyebabkan bau badan yang tidak sedap. Berbeda dengan bahan makanan pada umumnya, bau yang ditinggalkan akibat rokok jauh lebih pekat. Bahkan aku harus terbiasa hidup dengan bau yang menyebalkan itu, selama berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan berminggu-minggu.” Kaos berseru pelan.

Belum sempat aku menimpali ucapan mereka, aku segera diangkat oleh seorang pelayan dan dipindahkan ke meja lain yang berbeda ruangan. Ruangan ber-AC dan bertuliskan larangan merokok di pintu masuknya. Ruangan ini bagaikan surga. Aku suka. Dan percayalah, bahwa garpu, kaos ataupun benda-benda lainnya juga pasti suka. Seandainya saja aku bisa, aku ingin mereka, para perokok di luar sana, menyadari bahwa merokok itu lebih banyak dampak buruknya daripada manfaatnya. Seandainya saja aku bisa, aku ingin menyuarakan ini pada dunia.

(ditulis dalam rangka Lomba Cerpen Waroeng Steak And Shake, dengan Tema: Bahaya Merokok)

Senin, 04 April 2016

Sajak di Depan Cermin

Kamu ada, meski tak kasatmata
Menjelma, kata demi kata
Ada saatnya kita seirama
Ada saatnya kita beradu asa

Berkawan, melangkah beriringan
Berperang, pecah saling serang
Di satu waktu, kita berdua adalah teman
Di lain waktu, salah satu jadi pecundang

Kita dua, tapi satu
Mereka menyebutnya 'aku'
Hanya aku, tanpa kamu
Hanya aku, satu

Mungkin esok lusa mereka tahu
Ada kamu, di dalam 'aku'
Mungkin esok lusa mereka tahu
Tentangmu, musuh terbesarku

-Nici-
Jakarta, 04 April 2016
#sajakdidepancermin

-------------------------

"Barangsiapa yang memerangi hawa nafsu karena Allah, maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan yang diridhoi-Nya, yang akan menghantarkannya kepada surga. Dan barangsiapa tidak memeranginya, maka ia akan ditelan hawa nafsunya." (Ibnul Qayyim)

Rabu, 09 Maret 2016

Cinta Dibalik Gerhana


"Kalau memang cinta, perbanyaklah berdoa. Bukan berdua."
Kalimat itu kudengar dari seorang manusia.

Aku tersenyum jenaka,
terpancing untuk memamerkan kisah cinta yang kita punya.

Lihatlah, meski jarak ratusan ribu mil membuat kita terpisah,
ada cinta-Nya yang selalu menghibur dikala resah.

Kita saling menyelipkan nama di dalam doa,
sebagai cara terindah mengobati luka rindu yang menganga.

Bukankah Dia pernah berjanji akan mempertemukan kita lagi?
Haruskah kita sangsi, padahal tak ada satu pun janji yang pernah Dia ingkari?

Percayalah,
setelah mengumpulkan setiap lantunan doa, Dia akan mengijinkan kita untuk berjumpa.
Duduk dalam satu singgasana, berdua. Bahagia.

Hingga nanti saatnya tiba,
Bertemunya kita akan menunjukkan kepada manusia tentang arti cinta yang sesungguhnya.
Tentang keihklasan tunduk dan patuh pada ketetapan-Nya.
Rela berpisah sekian lama, untuk dipertemjkan sesaat saja.

Tak ada yang lebih menyempurnakan kebahagiaan kita, selain melihat para manusia bersujud dan berdoa.

Mengakui kebesaran-Nya.

-Nici-
(Jakarta, 9 Maret 2016 | 04.04 AM)

---------------------
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)

Senin, 07 Maret 2016

Ini (Bukan) Cinta kan?

Cuaca cerah menyapa semesta di hari Minggu siang, saat seharusnya sudah memasuki musim hujan. Aku mencari posisi di sebuah sofa cokelat di ruang televisi. Tangan kananku tenggelam ke dalam toples yang berisi keripik talas, berusaha menemukan potongan keripik yang diselimuti bumbu barbeque paling tebal. Sedangkan tangan kiriku menggenggam erat remote TV, bersiap mengganti saluran acara kalau tiba-tiba sosok penampakannya muncul di layar kaca. Ya, selain keripik talas, siang itu aku memilih untuk melahap film horror yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi dalam negeri.

Tok tok tok. "Assalamualaikum." terdengar suara dari arah pintu ruang tamu yang terbuka. Aku berjalan santai menghampiri sumber suara.

"Waalaikumsalam." sambutku sambil mengamati tiga orang yang berdiri di ambang pintu. Seorang bapak penuh wibawa dan terlihat sangat bijaksana, seorang ibu berparas cantik dengan hijab syar'i membalut tubuhnya, serta seorang pemuda yang manis dengan lesung pipi mendampingi senyumnya. Kurasa mereka adalah satu keluarga.

"Eh Ibu Hana, Pak Joko dan... Ryan kan? Ayo mari masuk!" kata Ibuku yang tiba-tiba muncul di belakangku. Sepertinya Ibu memang sudah sejak tadi menanti tamu.

'Oh, jadi mereka teman Ibu.' batinku. Aku pun ngeloyor pergi untuk kembali menikmati acara TV. Memanjakan diriku sendiri sebelum besok kembali masuk kantor lagi.

Tiba-tiba Ibu sudah berdiri di sampingku, mencubit pipiku dan tersenyum. Senyumnya aneh, menurutku. Mencurigakan. Kemudian Ibu langsung menarik tanganku dan mengajakku masuk ke kamar Ibu. Seolah tidak akan ada masalah, Ibu antusias menceritakan bahwa kedatangan tiga orang itu adalah untuk melamar.

"Kak, Ibu Hana itu sahabat Ibu dari pas kuliah dulu. Dia dateng ke sini dampingin anaknya karena mau ngelamar putri ibu yang pertama." kata Ibu. Terlihat jelas binar di matanya berpadu serasi dengan senyum bahagia. Aku baru saja akan bergabung dalam kebahagiaan Ibu, ketika kemudian aku tersadar kalau putri pertama Ibu adalah aku.

"Tunggu, tunggu! Maksud Ibu, tujuan mereka adalah untuk melamarku?" tanyaku kikuk. Ibu pun mengangguk. "Tapi kan aku udah punya pacar, Bu." lanjutku.

"Iya, Ibu tau. Tapi pacarmu itu nggak ada kejelasannya. Kalian udah pacaran lama, tapi masih disitu-situ aja. Lebih baik sama yang udah pasti kan? Ibu udah ngomong ke Ayah. Kita udah sepakat. Lagipula, pamali nolak orang yang dateng ngelamar. Nyatanya Ryan yang dateng ngelamar lebih dulu. Kemana aja pacarmu?" tegas Ibu panjang lebar.

"Tapi, Bu..."

*****

Aku terbangun, kemudian tertegun. "Astaga, mimpi macam apa itu!" ucapku setengah berteriak seraya menepuk dahiku. Aku langsung mengambil smartphoneku dan melihat jam yang tertera di layar itu. Pukul 02.35 dini hari. Aku membuka aplikasi WhatsApp dan mencari sebuah nama di daftar kontak.

*is typing...*
"Aku mimpi. Mimpinya horror. :(
Aku mau dijodohin sama orang lain."

Aku mengirim pesan itu ke Tio, pacarku. Walaupun aku tahu Tio pasti baru akan membacanya ketika dia terbangun pagi nanti. Aku menutup aplikasi WhatsApp dan berpaling ke aplikasi lain, Facebook. Ibu jari kananku membelai lembut layar smartphone, dari bawah ke atas, berulang-ulang. Mataku menjelma sebagai sebuah mesin scanner, melahap setiap kata dan gambar yang muncul di sepanjang timeline.

Ada sebuah foto tangan yang sedang diinfus dengan latar belakang kain sprei berwarna biru. Khas Rumah Sakit. Di bagian atas foto itu tertera caption, "Semoga besok udah bisa pulang. Nggak mau di sini lama-lama."


Ketika melihat nama pemilik akun itu, aku terpaku. Tanganku berhenti membelai layar. Kaku. "Apa-apaan nih? Dika dirawat di Rumah Sakit? Sakit apa? Sejak kapan?" ucapku setengah berteriak. Ya, lagi. Kalau saja aku sedang berdiri di depan cermin mungkin aku akan menatap jijik ke diriku sendiri. Bayangkan, ini kedua kalinya aku dibikin setengah berteriak padahal masih dini hari. Aku punya dosa apa sih?

Aku menutup aplikasi Facebook dan kembali membuka WhatsApp.

*is typing...*
"Sahabat macam apa? Gue sampe nggak tau kalo lo dirawat di RS! Udah sejauh inikah kita sekarang?"

Pesan itu aku kirim ke Dika. Aku tidak peduli meskipun ini masih terlalu pagi. Setelah aku menutup aplikasi WhatsApp, aku menyadari bahwa perasaan aneh itu muncul lagi. Ya, memang ada rasa yang aneh, yang menggangguku beberapa waktu belakangan ini. Aku sadar ini berhubungan dengan Dika.

*****

Saat aku masih kelas satu Sekolah Dasar, keluargaku memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Sejak itulah aku menjadi anak kota. Tinggal di bagian selatan Jakarta, tepat di samping rumah Dika. Itulah kenapa hampir semua fase perkembangan anak-anak sampai remaja aku lewati bersama Dika.

Aku dan Dika tidak pernah satu sekolah, apalagi satu kelas. Dika dua tahun lebih tua di atasku, jadi kurasa wajar kalau dia seringkali bersifat melindungi layaknya seorang kakak. Meskipun tidak pernah merasakan belajar di satu sekolah yang sama, Ibu dan Emak, panggilanku untuk Ibunya Dika, pernah mendaftarkan kami di sebuah lembaga les Bahasa Asing dekat rumah. Di sana, aku dan Dika setidaknya bisa memiliki gambaran tentang bagaimana rasanya satu sekolah.

Semasa masih menjadi bocah ingusan yang culun dan cupu, sore hari menjadi waktu favorit kami. Biasanya aku dan Dika akan bermain sepeda ke taman komplek, bermain kelereng, atau bermain galasin bersama teman-teman yang lain. Ya, aku dan Dika pernah merasakan serunya berlari-larian di jalan, tanpa mempedulikan paparan sinar matahari yang membuat kami banjir keringat dan tidak wangi lagi. Fase perkembangan anak-anak memang menyenangkan. Ceria tanpa kekang.

Memasuki fase perkembangan remaja, aku dan Dika sudah tidak bermain lari-larian lagi. Kami sudah tidak mengenakan seragam putih merah lagi. Tapi bukan berarti aku dan Dika tidak punya cerita untuk dibagi.

Ini waktunya kami mengenal rasa. Ya, rasa tertarik pada lawan jenis, misalnya. Aku dan Dika tidak pernah kehabisan bahan cerita. Aku selalu tahu untuk siapa dia merajut rasa. Begitu pun dia selalu tahu dengan siapa aku jatuh cinta. Hal sekecil apa pun kami selalu cerita. Terlepas dari hal itu penting atau tidak. Tanpa peduli itu cerita baru atau sudah kadaluarsa.

*****

"Eh Leq, gue lagi deket sama cewek." kata Dika ketika kami sedang duduk santai di teras rumah. Lucunya, aku dan Dika memang tidak pernah saling menyebut nama. Kami saling memanggil dengan sebutan 'jeleq'. Entahlah, rasanya aneh kalau memanggil nama asli.

"Bocah mana lagi yang berhasil lo kibulin?" godaku menimpali ucapannya.

"Hahaha. Asem lo!" kata Dika sambil menoyor kepalaku.

"Masih kaku aja lo, Leq. Semua kartu lo kan ada di gue!" balasku. Kalimat itu memang selalu berhasil menjadi ancaman jitu.

Obrolan kami pun berlanjut tentang asal muasal gebetan Dika yang baru. Kemudian beralih ke topik pembahasan tentang pacarku. Selayaknya remaja tingkat SMA, kami jadi lebih sering bercerita tentang cinta. Percaya atu tidak, Dika bisa gonta-ganti pacar sampai tiga kali, disaat aku bahkan merasa bosan bertemu pacar yang itu-itu lagi.

******

Sore itu awan kehabisan tenaga untuk menahan jutaan liter air di atas punggungnya. Akhirnya awan merelakannya jatuh, meski hanya tetes demi tetes. Cuaca membuat guling minta dipeluk manja.

Aku menuju sebuah warung dekat rumah untuk mencari cemilan. Memanjakan perut di kala hujan. Baru saja keluar dari pagar, aku berpapasan dengan Dika yang baru saja pulang.

"Mau kemane, lo?" sapa Dika dengan logat betawinya.

"Ke warung. Jajan." jawabku singkat seraya berlari kecil. Berusaha melindungi tubuhku dari rintik-rintik hujan kala itu.

"Eh, entar dulu. Nih, buat lo!" ucap Dika sambil memukul kepalaku dengan sesuatu. Cokelat.

"Asik! Daritadi kek, kan gue jadi nggak usah ke warung. Thanks, Dik!" kataku, sebelum menjulurkan lidah ke arah Dika.

"Hahaha. Yaudah sana, masuk! Ujan, nanti sakit." ucap Dika menunjukkan sisi ke-kakak-an dari dirinya.

Aku pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Di dalam kamar, aku membuka cokelat yang tadi diberikan Dika. Ternyata ada sebuah kertas yang diselipkan di bungkusnya.

"Leq, gue tau mungkin kita udah sahabatan dari dulu. Tapi, jujur, gue sayang sama lo. Gue berharap kita bisa lebih dari sekedar sahabat."

Aku membaca tulisan di kertas itu pelan-pelan. Uh, lagi. Ini adalah yang keempat kalinya Dika menyatakan hal ini. Tiga kali sudah aku menjawab bahwa aku hanya menganggapnya sebagai sahabat. Mungkin aku tetap akan memberikan jawaban yang sama kali ini. Dika hampir selalu melakukan ini di saat aku baru saja patah hati. Dia seolah sengaja hadir untuk memperbaiki hatiku, supaya tidak patah lagi.

Meski berulang kali ada pernyataan cinta dan aku memberikan jawaban yang selalu sama, Dika tetap menjadi Dika yang biasanya. Persahabatan kami tetap berjalan tanpa drama. Dika seolah-olah tidak merasakan ada luka di hatinya. Mungkin itu sebabnya aku beranggapan bahwa Dika tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang dia rasa. Bukankah selama ini pun dia berganti-ganti pacar dengan mudahnya?

*****

"Sorry, Leq. Belom sempet ngabarin lo." Aku membaca balasan pesan WhatsApp dari Dika. Ternyata dia masih terjaga. Mungkin karena situasi Rumah Sakit membuatnya tidak bisa tidur dengan leluasa.

Dalam fase perkembangan dewasa kami, seharusnya kami semakin mudah untuk berkomunikasi. Saat ini kecanggihan teknologi menyuguhkan banyak sekali aplikasi, sehingga tidak ada alasan untuk berhenti berbagi informasi. Tapi kenyataanya bukan itu yang terjadi.

"Sakit apa lo?" tanyaku melanjutkan pembicaraan.

"Demam berdarah. Besok ke sini ya, Leq. Di sini juga ada Nesha." balas Dika.

"Diusahain ya." aku kembali membalasnya. Singkat. Aku kehilangan selera untuk melanjutkan percakapan setelah melihat nama Nesha muncul di sana. Nesha adalah pacarnya Dika. Wanita bermata bulat, berambut lurus panjang sebahu dan memiliki bibir tipis berwarna pink yang membuatnya terlihat semakin manis. Aku pernah bertemu dengannya satu kali. Iya, hanya satu kali.

Dika dan Nesha sudah menjalin hubungan selama satu tahun delapan bulan. Itu rekor yang cukup luar biasa untuk seorang Dika. Aku turut berbahagia melihat Dika akhirnya bisa menjalin hubungan serius dengan satu wanita. Tapi entah kenapa seperti ada goresan luka yang bersembunyi dibalik rasa bahagia.

Aku tidak tahu pasti sejak kapan, aku mulai mengenal adanya tembok pembatas dalam persahabatan. Aku dan Dika sudah semakin jarang bertemu, apalagi untuk sekedar bercerita tentang ini dan itu. Bermula dari hadirnya Nesha, si 'wanita satu tahun delapan bulan', aku mulai merasakan adanya jembatan. Dika ada di sana, di sudut yang jauh, di ujung jembatan itu.

Pernah suatu ketika aku kehilangan jejak Dika. Mungkin karena dia terlalu rajin berkunjung ke konter handphone hanya untuk sekedar membeli nomor baru yang dia suka. Ya, Dika memang senang melakukan hal itu sejak masih SMP dulu.

*****

"Nesha, punya nomernya Dika nggak?" sapaku melalui sebuah pesan singkat. Aku dan Nesha memang pernah saling bertukar kontak.

"Ada yang mau disampein? Biar nanti aku sampein ke Dika." balasan Nesha membuatku tercengang.

'Astaga, haruskah aku menyampaikan pesan melalui dia? Bagaimana kalau ada yang ingin aku ceritakan ke Dika dan itu adalah sebuah cerita yang panjang? Apa Nesha akan merekam ucapanku, baru kemudian meminta Dika untuk mendengarkannya? Lalu Dika harus menanggapi ceritaku dengan cara yang sama juga?' aku mengumpat di dalam hati. Oh, come on! Aku merasa seperti balik ke zaman alat komunikasi pager, dengan Nesha sebagai mbak-mbak operator.

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi mencoba untuk mendapatkan kontak Dika. Kupikir, biar saja Dika yang menemukanku kalau memang dia ada perlu. Aku sudah terlalu malas berbasa-basi dengan Nesha.

*****

Aku sedang menjemur baju di Minggu pagi yang cerah ketika aku melihat sosok Nesha lewat di depan rumah. Seingatku, ini bukanlah yang pertama kali aku melihat penampakan Nesha gentayangan di sekitar perumahan.

"Kak, kontrakan yang di belakang itu udah ada yang ngisi ya? Ibu denger-denger, katanya yang ngontrak itu pacarnya Dika. Emang bener, kak?" tanya Ibu yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku sambil memegang tumpukkan gantungan baju. Entah kenapa Ibuku selalu muncul tiba-tiba bagai hantu.

"Kayaknya sih bener, Bu. Aku beberapa kali liat pacarnya Dika lewat sini." jawabku mencoba untuk senormal mungkin. 'Oh, jadi sekarang Nesha tinggal di dekat sini?' batinku.

*****

Sesuai dugaan, jembatan itu kini terasa semakin panjang. Hampir setiap kali terjebak berpapasan, aku dan Dika hanya bisa bertegur sapa sekedarnya. Bahkan terkadang hanya saling berlalu tanpa kata. Kaku. Tidak lagi seru.

Rumahku dan rumah Dika memang berdekatan. Tembok rumah kami pun saling menempel tanpa penghalang. Tapi seolah ada jembatan yang tidak bisa disebrangi oleh aku ataupun Dika. Terlalu jauh. Terlalu bahaya.

Rasanya aneh. Sekian tahun aku mengenal Dika, aku kira dunia kami sama. Dulu kami selalu bertukar cerita tanpa mengenal rahasia. Tapi kini semua berbeda. Terlalu banyak rahasia antara aku dan Dika. Aku tidak tahu hal menarik apa saja yang sudah dilalui oleh seorang Dika dewasa. Ya, aku semakin tidak mengenal Dika.

Aku sadar sedang merasakan kehilangan. Tapi...
Kehilangan sahabat seperti Dika atau kehilangan cinta?

'Ah, cinta? Tidak mungkin! Kalau memang aku cinta sama Dika, aku sudah menerima pernyataan cintanya dari dulu bukan?' batinku. Aku mencoba menepis pikiranku sendiri.

*****

"Ah, persahabatan antara cewek dan cowok itu bullshit! Pasti salah satunya ada yang baper." Tidak sengaja aku mendengar ucapan salah seorang wanita di meja sebelah, saat aku dan Tio sedang bersantai sore di sebuah cafe.

"Iya, bener! Kalo nggak ceweknya, ya cowoknya baperan. Bedanya cuma ada yang berani ngungkapin, ada yang milih didiemin." sahut seorang wanita lagi. Sepertinya mereka adalah kumpulan wanita-wanita muda yang sedang arisan.

'Uh! Pembahasan macam apa itu?' aku membatin. Anganku mengembara, mengingat apa yang terjadi antara aku dan Dika. Di saat yang sama, aku menemukan sebuah tanya, "Kalau selama ini aku merasa Dika berubah sejak ada Nesha, apa Dika juga merasakan hal yang sama tentang aku dan Tio?" Jangan-jangan iya.

"Sayang, kamu nggak cemburu kalo aku deket sama Dika?" tanpa berpikir panjang, aku langsung menodongkan pertanyaan itu ke Tio.

"Hem, enggak. Kan Dika yang lebih dulu kenal kamu. Sama aja aku bikin malu diri sendiri dong kalo aku cemburu." jawab Tio santai. Kata-katanya menyadarkanku sesuatu.

'Ternyata benar. Laki-laki lebih menggunakan logika daripada perasaan. Beda dengan wanita!'

Beberapa saat kemudian aku segera menepis anggapanku barusan. Kurasa pola pikir laki-laki tidak terlalu mempesona. Terkadang mereka hanya terlalu gengsi untuk mengakui . Aku bisa melihat usaha Tio menyembunyikan kecemburuan dibalik sikap tenangnya. Sudah tiga tahun aku menjalin hubungan dengan Tio. Aku bisa menangkap sinyal kebohongan dari gelagatnya.

Aku curiga selama ini Nesha cemburu. Makanya dia mengambil semua waktu yang Dika punya, hanya untuknya, tanpa sisa. Aku tidak menyalahkan Nesha kalau memang dia tidak nyaman dengan kedekatanku dan Dika. Bagaimana pun aku juga seorang wanita. Aku saja tidak yakin akan tetap bisa bersikap santai kalau Tio memiliki seorang sahabat berjenis kelamin berbeda. Iya, seperti aku dan Dika.

'Bisa-bisa nanti sahabat jadi cinta!' umpatku dalam hati.

"Kayaknya emang harusnya nggak usah ada persahabatan antara cowok dan cewek deh! Daripada nantinya cuma akan nyakitin perasaan pasangan masing-masing. Iya kan?" Kembali aku mendengar ucapan dari arah sekumpulan wanita-wanita muda tadi.

'Astaga, kenapa ucapan mereka selalu pas sih?' ucapku dalam hati. Kurasa seharusnya aku duduk bergabung saja dengan mereka, bukan dengan Tio.

*****

Aku memutuskan untuk membiarkan jembatan antara aku dan Dika tetap ada. Anggap saja jembatan terlarang yang tidak boleh, atau bahkan tidak perlu disebrangi. Oleh aku ataupun Dika. Mungkin ini yang terbaik.

Kurasa memang waktuku dan Dika saja yang sudah habis untuk bisa seenak atau seseru dulu lagi.

*****

Iya, benar.
Waktu kami telah habis.

Minggu, 06 Maret 2016

Aku Rindu Pulang


Judul: Aku Rindu Pulang
Author: Nici
Genre: Comfort, Spiritual

Aku berbaring santai di atas tempat tidurku sambil memandang ke langit-langit kamar. Kosong. Aku berusaha menikmati belaian angin yang menyerbu masuk melalui jendela-jendela kamar yang terbuka. Ya, aku membuka lebar-lebar jendela kamar dengan sengaja. Sesekali aku berganti posisi, melihat ke luar jendela, memperhatikan perpaduan warna putih dan biru yang terbentang indah di luar sana. Lukisan alam ciptaan-Nya berpose dengan penuh pesona. Cantik.

Aku sadar ini bukanlah yang pertama kali. Akhir-akhir ini aku sering mengkhianati daftar agendaku hanya untuk berhenti. Entahlah. Hanya untuk sejenak berdiam diri. Ada rasa rindu yang memancing untuk dicumbu.

*****

Sebuah cafe di pusat Ibukota menjadi saksi bisu bagi kelima wanita muda yang saling menuntaskan rindu. Mereka memutuskan untuk bertatap muka sambil berbagi cerita yang seolah tidak akan ada akhirnya. Termasuk cerita tentang masa-masa jaya mereka saat masih menjadi mahasiswa. Senja itu cuaca cerah. Sinar matahari masih menari riang seolah enggan bertukar tempat dengan sang rembulan.

"Deya, kamu sekarang beneran udah mantep pake rok terus?" tanya Ika membuka percakapan.

"Iya. Hehe." jawabku.

"Celana jeansnya udah pada dibuang ceunah. Keren nggak tuh?" kata Bia mengompori situasi.

"Hah? Serius? Kok bisa sih, De? Sekarang kerudungmu juga udah panjang menutup dada ya? Keren, keren!" Rias, sahabatku yang paling cerewet itu, menyerocos sambil mengacungkan dua jempolnya.

"Wah, udah makin mirip Ustadzah dong nih! Sungkem dulu yuk sama Ustadzah Deya!" Tika menimpali tidak kalah hebohnya sambil berusaha meraih tanganku. Aku justru membalas dengan mencubit punggung tangannya.

Ya, aku memang seringkali dipanggil dengan sebutan Ustadzah oleh keempat sahabatku itu. Mereka bilang, akulah sosok yang paling religius. Tempat mereka berkonsultasi tentang agama dan hal lain yang bersifat serius.

*****

"Eh De, kamu nggak sholat qabliyah dulu?" tanya Bia saat melihatku sudah bersiap di posisi imam untuk melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Dia sedang bermain ke rumahku dan kami hanya berdua saat itu. Bia sudah selesai melaksanakan dua rakaat sunnahnya lebih dulu saat aku masih mengambil air wudhu.

"Enggak."

"Loh, kenapa?" Bia bertanya lagi.

"Ya... nggak apa-apa." jawabku. Entah kenapa aku menjadi kikuk saat itu. Sekilas aku melihat ada perubahan ekspresi di wajah Bia. Semacam kecewa atau entah apa. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.
Kami pun memutuskan untuk memulai sholat dzuhur berjamaahnya.

Melaksanakan sholat secara berjamaah memang menjadi kebiasaan sejak kami masih kuliah dulu. Walaupun hampir selalu dimulai dengan hom pim pa sebelum bismillah. Iya, hom pim pa untuk menentukan siapa yang akan menjadi imamnya. Percaya atau tidak, tanpa hom pim pa kami akan membutuhkan waktu yang lama hanya untuk saling tunjuk, saling melempar amanah sebagai imam dalam sholat berjamaah.

Saat sholat dzuhur berjamaah selesai, aku melihat Bia melaksanakan sholat ba'diah dzuhur. Aku melipat mukena sambil sesekali memperhatikan Bia diam-diam.

Bia sudah berubah. Semasa kuliah dulu, kami hanya melaksanakan sholat wajib berjamaah tanpa memikirkan sholat rawatibnya. Sekarang Bia berbeda. Ada rasa kagum dan sedih yang menari-nari di dalam hati. Aku kagum kini Bia sudah menjadi lebih baik dari yang aku kenal dulu. Aku sedih karena aku masih saja seperti ini. Bia sudah berlari memperbaiki diri, sedangkan aku masih ngaso di sini.

*****

Aku berjalan gontai memasuki kamar dan membanting tubuhku ke atas tempat tidur. Ini menjadi hari yang cukup melelahkan di kantor. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku sudah mengancam diriku sendiri akan segera mandi. Uh, rasanya badan ini sudah sangat lengket dan bau sekali! Tapi saat ini yang aku lakukan justru kembali berdiam sambil memandangi langit-langit kamar. Lagi.

Aku memaksa diriku untuk menikmati sebuah film dokumenter yang diputar oleh otakku sendiri. Aku mengingat-ngingat tentang kapan terakhir kali aku antusias menanti waktu sholat, mencintai Al-Quran sebagai obat di kala penat dan menjadikan puasa sebagai tameng dari perilaku maksiat. Seolah aku ditarik ke dalam sebuah mesin waktu untuk memilah-milah ingatan itu. Ah, ternyata bernostalgia dengan masa-masa ketika iman masih berjaya itu lelah juga. Aku memilih untuk beristirahat sejenak dan memejamkan mata.

Pukul 03.05 WIB dini hari aku terbangun. LED smartphoneku menyala dan memancing aku untuk membukanya. Ada sebuah pesan dan nama Bia muncul di sana.

"Deya, maaf ya baru bales lagi. Kemaren lagi banyak banget kerjaan. Nanti lanjutin lagi ya ceritanya, De. Eh, kamu udah tahajud belom nih? Bangun yuk! Sahur sekalian. :*" celoteh manis Bia dalam pesan itu menyadarkanku bahwa aku pun sudah melupakan indahnya bermunajat di sepertiga malam.

Mengenaskan! Kini aku paham apa yang membuatku semakin sering berhenti, hanya untuk sekedar berdiam diri. Aku sudah terlalu jauh meninggalkan kebaikan dan justru sangat menikmati bermain di kolam kenistaan.

Kini aku tahu dengan siapa rindu itu ingin dicumbu. Aku rindu pulang. Iya, aku rindu pulang. Aku ingin pulang ke istana kebesaran-Nya, memanjakan diri dengan kehangatan cinta-Nya dan menikmati keteduhan perlindungan-Nya.

"Iya, Bia. Ini aku udah bangun kok. Eh Bi, kamu bersediakah jadi alarm khusus untukku? Sering-sering ajak aku kayak gini. Aku udah mulai lalai nih..." pintaku melalui balasan pesan itu.

"Dengan senang hati! Mau dibangunin jam berapa Ibu Peri?" goda Bia dalam balasan singkatnya. Aku pun tersenyum. Haru. Bagaimana pun, aku sudah tertinggal beberapa langkah dari Bia. Sungguh, aku tidak ingin tertinggal semakin jauh.

'Tunggu aku pulang ya, Bia.' ucapku dalam hati.

*****

Apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga, lalu mereka tidak menemukan sahabat-sahabat mereka yang selalu bersama mereka dahulu di dunia, mereka bertanya tentang sahabat mereka kepada Allah.

"Ya Allah, kenapa kami tidak melihat sahabat-sahabat kami yang sewaktu di dunia sholat bersama kami, puasa bersama kami dan berjuang bersama kami?"
Maka Allah berfirman, "Pergilah ke neraka lalu keluarkan sahabat-sahabatmu yang di hatinya ada iman walau hanya sebesar zarrah."

(HR. Ibnu Mubarak dalam kitab "Az-Zuhd")

*****

Semoga Bia akan menjemputku jika dia tidak menemukanku di surga-Nya kelak.

Sabtu, 05 Maret 2016

Filosofi Nici (Bukan Filosofi Kopi)

Aku Nici. Nici Kurniawaty. Hem, bukan, bukan. Sebenernya sih Nia Kurniawaty.

Sebutan Nici nongol sekitar 12 tahun yang lalu. Yap, di awal tahun ajaran baru, pas wali kelas lagi ngabsen anak-anak didiknya di kelas itu. Aku udah jaim maksimal bangetlah pas itu. Berharap bisa ngasih kesan pertama yang keren di depan temen-temen baru. Agak deg-degan juga sih nunggu dipanggil (karena aku kan nggak tau namaku ada di nomer urut berapa).

Tik tok tik tok... "Nici Kurniawaty."

JENG! JENG! *melongo*
'Hah? Nici? Siapa dah tuh? Aku salah denger nggak sih?'

Aku mau angkat tangan, tapi takut beneran ada yang namanya Nici. Nanti wali kelas sama anak-anak yang lain bingung, "Kok yang angkat tangan ada dua orang?" Kan tengsin!

Aku nggak angkat tangan, tapi ternyata yang lain nggak ada yang angkat tangan juga. Pas anak-anak lain mulai celingak-celinguk nyari sang pemilik nama, aku putusin buat angkat tangan. Kebayang dong gimana tampang dungunya aku pas itu? Ah, rusaklah sudah citra kesan pertama!

Ternyata di daftar absen emang namaku ditulis Nici Kurniawaty! Yak, terima kasih bapak-bapak Tata Usaha yang udah salah baca. Padahal aku udah ukir tulisan namaku di formulir pendaftaran pas daftar ulang. Apalah daya hasil ukirannya kelewat berkelas! N-i-a dibaca jadi N-i-c-i. 

Yak begitulah, akhirnya nama Nici masih kepake sampe sekarang. Ada satu orang yang tetep setia manggil aku dengan nama Nici. Apalagi dia seolah menularkan ke orang-orang untuk ikut memanggilku dengan sebutan itu. :D

Beberapa hari yang lalu, aku gabung dalam sebuah Kampus Menulis. Dia, iya orang itu, mengenalkanku sebagai Nici di dalam Kampus itu. Hem, Nici? Not badlah ya... Aku putusin pake nama itu sebagai nama penaku. Kayaknya udah harus membiasakan nih dipanggil (oleh lebih banyak orang) dengan nama Nici. ^^

Rabu, 20 Januari 2016

Anak IPA vs Anak IPS

Bismillahirrohmanirrohim.
Assalamu'alaikum, Blogger... (Wa'alaikumsalam Wr.Wb.)

Makasi lho udah dijawab salamnya. :D

Ini hari ketiga Try Out Ujian Nasional dari Suku Dinas Pendidikan. Aku dapet jadwal ngawas di ruang 02 (kelas IPA). Bagi yang penasaran gimana rasanya ngawas ulangan, nih aku kasih tau...

Ngawas tuh ngebosenin. Ngantuk! Bayangin, tugas kita cuma melototin anak satu-satu. *ups Nggak melototin juga sih sebenernya, ngeliatin doang. Nah tuh, bayangin aja, selama lebih dari satu jam harus ngeliatin anak lagi ngerjain soal. Kurang kerjaan banget kan! Kalo ngeliatin balita lagi main sih iya deh lagi lucu-lucunya. Lha ini?

Jadi inget, belom lama kemaren Ibu Wakil Bidang Kurikulum ngingetin ke salah satu guru,
"Pak, besok jangan lupa ngawas ya!"
"Ngawas apaan?"
"Ya ngawas anak-anak Try Out lah!"
"Ngapain? Udah pada gede, masih aja diawasin!"

Nah tepat!

Tapi emang sih, ada kelucuan tersendiri kalo lagi ngawas. Bisa ngeliatin karakter masing-masing anak. Ada yang anteng seolah tenggelam dalam kertas soalnya. Ada yang bisanya cuma tidur doang seolah itu otak nggak nyimpen memori apa pun untuk jawab soal. Ada juga muka-muka was-was yang dipoles ekspresi sok lugu, nungguin pengawasnya meleng. Nungguin waktu yang tepat buat nyontek atau ngeluarin contekkan dari tempat persembunyiannya.

Percaya atau nggak, pembagian tugas ngawas di kelas IPA atau IPS akan mempengaruhi jalan hidup kalian selama kurang lebih 120 menit ke depan lho!

By the way, dulu jaman SMA, aku adalah anak IPS (Ikatan Pelajar Santai, katanya). Dan dari duluuu (aseli, masih sampe sekarang), orang-orang hobi banget ngebanding-bandingin antara anak IPA dan IPS. Katanya anak IPA lebih disiplin lah, lebih rajin lah, lebih pinter lah, lebih kalem lah dan segala macam kelebihan lainnya. Dulu aku sebel banget dibandingin kayak gitu! Seolah antara anak IPA dan IPS itu bagaikan antara penghuni surga dan neraka. Kalo emang bener gitu, nggak perlu dipertegas lah ya aku masuk ke golongan mana. *ups Naudzubillahimindzalik...

Tapi...
Sejak dalam skenario-Nya tertulis kalo ada kesempatan yang Allah kasih untuk aku ngerasain jadi seorang guru, aku berpikir, "ternyata EMANG BEDA!" :D

Iya, anak IPA dan IPS emang beda.

Kalo lagi belajar di kelas, anak IPA lebih legowo, nerimo, kalem! Sekalinya bersuara juga 'berbobot'. Kalo anak IPS? Aktif! Dari mulai celotehan sampe kinestetiknya nggak kekontrol (jalan-jalan lah, ngetok-ngetok meja pake pulpen lah, geser-geser bangku lah, dsb).

Kalo dalam hal pelanggaran tata tertib sekolah, beuh... nggak usah ditanya! Anak IPS seolah sangat menghayati perannya masing-masing. Dari mulai yang bolos jam pelajaran karena makan di kantin, yang berangkat dari rumah tapi nggak nyampe sekolah, yang bawa rokok ke sekolah, yang ngerokok di kamar mandi sekolah, bahkan sampe yang celana seragamnya seolah ketuker dengan celana legging wanita pun ada (karena saking sempitnya)! Kalo anak IPA mah paling juga satu atau dua orang yang bertingkah kayak gitu. Itu pun karena dihasut sama anak IPS. *ups Suudzon ih  sama anak IPS. Haha. Peace yo, aku juga anak IPS kok! :D

Nah kalo dalam hal ngawas, gini nih...
Biasanya untuk ulangan satu mata pelajaran itu kurang lebih 120 menit. Makanya tadi aku bilang, pembagian tugas ngawas di kelas IPA atau IPS akan mempengaruhi cerah atau suramnya masa depan kalian selama 120 menit ke depan! :D

Biasanya, kalo ada tugas ngawas, aku selalu mikir, "Apa ya yang bisa aku lakuin sambil ngawas?"

Karena kalo selama 120 menit cuma melototin anak-anak aja, selain ngantuk dan bisa mati bosen, menurut aku sama aja menyia-nyiakan 120 menit dalam hidup aku secara percuma. Cielah...

Jadi biasanya aku akan bawa 'kerjaan' ke ruang ngawas. Itung-itung sambil nyicil beberapa hal yang perlu diselesaikan. Iya kan? :D

Nih ya, kalo ngawas di ruang kelas IPA tuh tenteram banget, damai, sejuk, menenangkan. Cielah, kayak lagi iklan pengharum ruangan. :D

Eh tapi bener lho! Bayangin, aku sampe pernah tamatin baca satu novel waktu ngawas di ruang kelas IPA. Tanpa terusik. Tanpa harus khawatir anak-anaknya akan nyontek. Kenapa? Karena saking tenangnya itu ruangan, kalo ada satu anak aja yang berbisik, bakal kedengeran dan langsung jadi pusat perhatian. :D

Gimana kalo ngawas di ruang kelas IPS? Duh, nggak usah ditanya! Kedamaian terancam, sob! :D
Jangankan buat menghayati baca novel atau nyicil kerjaan lain, buat main HP aja nggak tenang. Mata tuh rasanya harus berulang kali menyorot ke seluruh kelas, merhatiin tiap-tiap anak. Meleng dikit aja, udah langsung kedengeran suara-suara ghaib (bisik-bisik) sana-sini. Meleng dikit aja, udah langsung ada yang berubah posisi (tangan di kantong lah, kepala nengok sana sini lah) dan sebagainya. Maklum, terlalu aktif kinestetiknya! :D

Hufth... Boro-boro bisa nyicil kerjaan. :(

Tapi, di luar semua itu, aku salut sama anak IPS. Solidaritasnya nggak diragukan, coy! Terus juga lebih 'open' aja gitu ke lingkungan. Sense of humor-nya juga lebih berasa. Kalo anak IPA kenapa terkesan agak kaku ya? :D

Udah hukum alamnya kah? :p

By the way, ini buktinya. Lagi ngawas di ruang 02 (anak kelas IPA), bisa bikin satu postingan di Blog gini coba. Mayaaannn kan ... :D

Udah ah, lanjut nyicil kerjaan yg lain dulu. Wassalamu'alaikum, Blogger... :)