Rabu, 29 Oktober 2014

Siswa Berwajah Oriental itu Menangis

Ketika aku sedang tenggelam dalam tumpukkan berkas-berkas rekapitulasi kehadiran siswa, Bapak Kepala Sekolah menghampiriku dan berkata,
"Bu, tolong ditangani anak ini. Namanya R*****."

Mataku pun langsung aktif mendeteksi keberadaan siswa itu---memperhatikan segala penjuru ruang guru karena saat itu tak terlihat ada siswa di samping Bapak Kepala Sekolah. Sesaat setelah itu, ada salah seorang siswa kelas XII yang masuk ke ruangan. Tapi yang aku tau, dia bernama R***, bukan R*****. Nah loh? Sama-sama dari huruf R sih namanya, tapi beda jumlah hurufnya. Yap! Serupa tapi tak sama.

**Ngomong-ngomong, maaf menyembunyikan nama. Demi menjaga nama baik siswa yang bersangkutan.

Awalnya, aku pikir Bapak Kepala Sekolah salah menyebutkan nama. Aku menghampiri R*** dan bertanya, "Ada apa, R***?"

"Enggak, Bu. Cuma mau ngambil LKS." kemudian ngeloyor pergi keluar ruangan.

Aku pasang tampang cengokBingung.
'Ini yang dimaksud sama Bapak Kepala Sekolah tuh siapa ya?' batinku.

Aku pun keluar ruangan untuk memastikan. Siapa tau saja bisa menemukan sosok lain di sana. Ups. Sosok siswa lain maksudnya. Ternyata benar! Ada siswa berwajah oriental berdiri di depan pintu ruang guru. Ganteng! Eh. Hem, iya dia memang ganteng. Serius.

"Kamu namanya siapa?" tanyaku.

"R*****." jawabnya singkat dengan wajah terlihat kesal.

Nah, ini dia yang dimaksud sama Bapak Kepala Sekolah! "Ada masalah apa?" tanyaku lagi.

"Tau tuh! Tadi saya lagi nulis. !@#$%^&*()...." jawabnya panjang lebar nggak karuan dengan nada yang ditinggikan. Sejujurnya aku bingung. Nggak ngerti maksud penjelasannya. Sebelum siswa itu selesai bicara, Bapak Kepala Sekolah keluar dari ruang guru dan bilang,
"Ini Bu, tolong ditangani. Omongannya tidak sopan."

"Apaan sih, Pak? Orang saya lagi nulis..." jawab siswa itu membela diri, (tetap) dengan nada bicaranya yang terkesan nyolot.

"Hey, kamu tuh sekolah di sini bicaranya kok begitu! Panggil aja Bu orang tuanya!" tambah Bapak Kepala Sekolah, terlihat tidak mau kalah nada tingginya. Sempat terjadi adu mulut antara dua makhluk itu hingga akhirnya Bapak Kepala Sekolah bilang, "bawa aja Bu ke Ruang BK!"

Aku pun naik ke lantai dua menuju ruang BK, diikuti oleh siswa berwajah oriental itu di belakangku. Ketika merasa sudah dalam posisi duduk yang nyaman untuk ngobrol, aku pun membuka pembicaraan dengan kepo-in masalah antara siswa berwajah oriental itu dengan Bapak Kepala Sekolah.

Siswa berwajah oriental itu menceritakan bahwa awalnya dia mengeluarkan celetukan ringan di dalam kelas saat Bapak Kepala Sekolah bilang,
"Bapak tinggal dulu ya sebentar".

"Lama juga nggak apa-apa, Pak." kata siswa berwajah oriental itu, disambut oleh tawa teman-teman di kelasnya.

Yah, begitu lah! Nggak sedikit siswa yang memang suka nyeletuk-nyeletuk ringan disela-sela jam pelajaran. Aku pribadi sih menganggapnya wajar karena sepertinya itu adalah obat penawar kebosanan mereka setelah duduk berjam-jam di dalam kelas untuk belajar. Biasanya, dalam kondisi yang seperti itu, aku akan menanggapi santai, selama mereka tidak berlebihan.

Melalui cerita yang disampaikan oleh siswa berwajah oriental itu, (menurutku) celetukannya membuat Bapak Kepala Sekolah menoleh, memperhatikan dirinya. Malangnya, perhatian tersebut membuat Bapak Kepala Sekolah menyadari bahwa siswa berwajah oriental itu memakai gelang di tangannya. Padahal, peraturan sekolah menyatakan bahwa siswa laki-laki tidak diperbolehkan memakai gelang, kalung, cincin dan semacamnya.

Bapak Kepala Sekolah pun meminta siswa berwajah oriental itu menyerahkan gelangnya. Akan tetapi siswa berwajah oriental itu menolak karena mengaku gelang tersebut adalah pemberian mamanya. Ia hanya melepaskan gelang itu dan menaruh di kantong baju seragamnya sambil mengatakan,
"Iya Pak, saya nggak pake lagi, tapi jangan diambil Pak."

Ternyata jawaban siswa berwajah oriental itu tidak membuat Bapak Kepala Sekolah puas. Bapak Kepala Sekolah justru memaksa siswa berwajah oriental itu untuk menyerahkan gelangnya, dengan cara menarik-narik kantong baju seragamnya. Siswa berwajah oriental itu pun menjadi emosi dan akhirnya mengeluarkan gelang tersebut dari kantongnya.
     
"Tuh deh Pak, ambil aja!" kata siswa berwajah oriental itu menirukan kembali adegan dramatis di kelasnya. Terlihat sangat jelas kesan nyolot dari ucapannya. (Mungkin) Bapak Kepala Sekolah nggak terima dengan sikap siswa berwajah oriental itu, kemudian mengusirnya keluar kelas. Yap! Di sinilah kami berdua sekarang (baca: ruang BK).

Semula, siswa berwajah oriental itu masih berusaha menahan tangisnya. Tapi kalian tau? Pada akhirnya siswa berwajah oriental itu menangis sesenggukan sambil menceritakan kronologisnya sampai akhir. Emosinya terlihat jelas! Aku pun harus berusaha keras mencerna setiap kata yang diucapkannya disela-sela isak tangis siswa berwajah oriental itu.



"Saya nggak mau dipanggil orangtua, Bu! Saya malu! Mending saya nggak usah sekolah aja kalo harus dipanggil orang tua! Cuma gara-gara gelang doang Bu, saya harus dipanggil orang tua?" itu sebagian kecil kalimat yang ia ucapkan dan terekam jelas di memory-ku, termasuk ekspresinya saat berusaha mengatur irama nafas diantara nada unik isak tangisnya.

Oke. Setelah merekam kronologis ceritanya dalam otak, waktunya aku untuk kepo-in tentang siswa berwajah oriental itu. Heh. Bukan kepo-in yang aneh-aneh loh maksudnya...

Melalui hasil kepo, aku jadi tau bahwa siswa berwajah oriental yang ada di hadapanku adalah seorang pelatih karate di Brimob. Wow! Seorang pelatih karate yang cute dengan wajah orientalnya, menangis. Yap! M-E-N-A-N-G-I-S.

Iya. Siswa berwajah oriental itu sudah berlatih karate sejak ia kelas 2 SD. Nggak heran kalo di usianya yang sekarang, ia sudah menjadi seorang pelatih. Melalui aktivitasnya itu pula, ia jadi bisa punya penghasilan sendiri. Cool!

Usaha kepo itu pun memberiku informasi lain. Siswa berwajah oriental itu adalah anak satu-satunya dan orang tuanya telah bercerai. Hingga saat ini, ia hanya tinggal berdua dengan mamanya.

Hem, siswa berwajah oriental itu agak menutup diri ketika aku menyinggung tentang kehidupan pribadinya. Bahkan, ia terlihat kembali berusaha menahan tangisnya.

"Kamu kayaknya emosional banget kalo bahas tentang mama. Sayang banget ya sama mama?" tanyaku sok lugu. Tangis siswa berwajah oriental itu pun pecah (lagi). Iya, L-A-G-I! Bahkan semakin jelas terlihat ia berusaha untuk mengatur nafasnya agar tetap stabil.

Ketika aku bertanya, "Mama kerja?"

"Iya, Bu. Guru di SLB (baca: Sekolah Luar Biasa)."

Subhanallah...

"Wow! Pasti mama itu orang yang luar biasa sabar ya? Beliau mengabdikan diri di sebuah Sekolah Luar Biasa." kataku, disambut oleh senyum yang ia selipkan diantara tangisannya. Senyuman itu seolah mewakili perasaan cintanya terhadap Sang Mama. 

Ya Allah...
Itukah yang membuatnya sangat alergi dengan pemanggilan orang tua ke sekolah?
Karena tak ingin melukai perasaan Sang Mama, itukah alasannya?
Itukah yang membuatnya menangis bagaikan bendungan yang pecah?

AllahuKareem...
Tak terbayangkan bagaimana rasanya hanya tinggal berdua dengan Mama. Menjadi anak satu-satunya dan korban dari perceraian orang tua.
Keadaan seakan memaksanya menjadi pribadi yang kuat---seorang anak lelaki yang menjadi pelindung bagi mamanya. Bolehkah ia menangis?
Kalau pun boleh, kurasa ia tidak memberikan toleransi bagi dirinya sendiri untuk menangis di depan mamanya.

Ya Allah...
Bimbinglah ia agar terus berada dalam jalan lurus-Mu.
Berikanlah perlindungan-Mu Yang Maha Sempurna untuk ia dan mamanya.
Kuatkan mereka...
Limpahkan keberkahan-Mu untuk mereka...



Setelah aku memberinya waktu untuk menenangkan diri, aku mengajaknya diskusi untuk mencari titik kesalahannya dari drama yang dilakoninya dengan Bapak Kepala Sekolah. Kemudian kami mencoba menarik kesimpulan tentang apa yang harus dilakukan berikutnya.

"Oke, kamu boleh kembali ke kelas. Cuci muka dulu ya!" kataku, disambut dengan wajahnya yang merona menahan malu, kemudian pamit meninggalkan ruang BK.

Sesaat setelah itu, aku refleks tersenyum.

Ada perasaan aneh yang menggelayut manja dibalik sebuah senyum.

Semacam rasa bahagia, lega, atau bangga. Entahlah! Ada suatu rasa, saat orang lain bersikap sangat terbuka---mempercayaiku untuk mendengarkan ceritanya, bahkan mengijinkanku untuk melihat air matanya.

AllahuAkbar...
Aku jatuh cinta.
Jatuh cinta pada seknario-Mu Yang Maha Sempurna.


Sssttt... I LOVE MY JOB!

Jumat, 17 Oktober 2014

"Akhwat BENERAN"

Hari ini aku baru aja balik ke rumah setelah semalam enggak pulang.
*Loh, kemana? Tidur dimana luh?

Dari Hari Kamis pagi, aku berangkat ke Ciawi sebagai pendamping para siswa dalam kegiatan LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa).

Acara yang seru dan menyenangkan!
Alhamdulillah, Allah kembali menunjukkan kemurahan-Nya memberiku kesempatan merasakan hangatnya kekeluargaan diantara guru-guru sekolah itu, baik guru SMA, SMK maupun SMP (kebetulan kegiatan LDKSnya digabung, termasuk kamar untuk para guru pendamping).

Melalui kegiatan LDKS selama dua hari satu malam itulah aku belajar lebih mengenal guru-guru dan siswa-siswa dari unit lain (SMK dan SMP).
Sempat keliatan juga betapa jauh lebih aktifnya siswa-siswa SMK dibandingkan siswa SMA.

"Wah, apa kabar kalo waktu itu aku diterima jadi guru SMK?" batinku.
"Aku bakal ngadepin anak-anak yang sangat sangat sangat luar biasa aktifnya! Bekerja jauh lebih keras dibandingkan sekarang, tentunya."

Alhamdulillah saat ini aku di SMA.
Sungguh Allah sebaik-baik pembuat rencana.

Disela-sela rangkaian acara LDKS,
Aku sempat ngobrol dengan salah satu guru muda (ya begitulah, aku dan bapak guru yang satu ini ngerasa kalo kami adalah guru SMA yang 'masih' muda---secara guru-guru yang lain adalah guru-guru senior).

Bapak guru ini adalah wakil kepala sekolah, bidang kesiswaan.
Bapak guru muda yang kece dan sukses membangun persahabatan dengan siswa-siswanya.
Keren!

"Ini baru akhwat beneran! Berikutnya kalo ada kegiatan Tafakur Alam, ikut ya! Kalo bisa sekalian jadi pembicaranya (baca: pengisi materi)." begitu katanya setelah selesai sarapan pagi tadi.


Aku bengong.
Bukan, bukan!
Bukan karena diminta jadi pendamping kegiatan (lagi) atau jadi pembawa materi.

Tapi kalimat pertamanya itu yang bikin aku seolah langsung menciut.

Akhwat 'beneran'?
Sekali lagi, Akhwat BENERAN?

Entah alasan apa yang bikin bapak guru muda itu bisa bilang demikian.

Masya Allah,
beberapa kali dipanggil dengan sebutan 'akhwat' pun aku merasa malu.
Malu karena merasa aku tidak pantas menerima sebutan itu.
Masih sangat banyak kecacatan dalam ibadahku.
Masih sangat sedikit ilmu agama dalam diriku.
Masih sangat jauh dari nilai 'cukup' untuk akhlaq-ku.

Dan kali ini, ada satu kata yang ditambahkan setelah sebutan 'akhwat' itu.
Satu kata yang menurutku begitu terasa penekanan di dalamnya!

Yap.
BENERAN.
Akhwat BENERAN!

Ya Allah,
Maafkan aku...
Aku sama sekali tak bermaksud melakukan tipu daya apa pun kepada siapa pun.
Sungguh Engkau Yang Maha Tau keadaan hamba-Mu ini.
Aku hanya seorang hamba-Mu yang diliputi kekurangan di berbagai sisi.

Semoga Engkau berkenan memberiku kesempatan untuk terus memperbaiki diri.
Semoga Engkau tak pernah bosan membimbingku untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

APAKAH ALLAH MENCINTAIKU?

Apakah aku dicintai Allah?

Sungguh pertanyaan ini berkecamuk dalam pikiran dan perasaanku.


Aku teringat bahwa kecintaan Allah terhadap hamba-Nya bukan datang seenaknya hamba, tapi karena sebab-sebab yang disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya.

Aku coba mentadabburi dan memutar file-file tentang hal itu yang terdapat di dalam Al-Qur'an.
Aku berusaha mengukur diriku terhadap ayat-ayat itu dengan harapan akan menemukan jawaban terhadap kegundahan ini.

Semoga aku termasuk ke dalam kelompok orang yang dicintai Allah.

1. Pertama sekali aku menemukan ayat Al-Qur'an yang mengatakan bahwa,


ALLAH MENCINTAI ORANG YANG BERTAQWA

Namun sayang, langsung batinku berkata dengan jujur...
"Aku tidak termasuk ke dalam golongan ini."


2. Langkah kedua, aku ketemu ayat yang mengatakan bahwa,

ALLAH MENCINTAI ORANG YANG SABAR

Dengan penuh pengakuan tulus, batinku langsung mengakui...
"Teramat jauh diriku dari kelas bergengsi ini."
Betapa aku tidak mampu bersabar dalam menghadapi segala hal.

3. Langkah ketiga, aku menemukan ayat yang mengatakan bahwa,

ALLAH MENCINTAI ORANG-ORANG YANG BERSUNGGUH-SUNGGUH DI JALANNYA

Bukan sok tawadhu', batinku langsung terkulai mengakui...
"Betapa aku lebih banyak dikalahkan oleh rasa malas daripada bersungguh-sungguh."

4. Langkah keempat, aku menemukan ayat Al-Qur'an yang mengatakan bahwa,

ALLAH MENCINTAI ORANG YANG BERBUAT BAIK

Batinku pun tersenyum getir sambil merenung penuh insaf...
"Kebaikan apa yang sudah kulakukan? Aku masih punya malu untuk tidak mengaku-ngaku termasuk kelompok orang yang baik."



Di saat itu, aku berhenti merenung...

Aku takut!
Takut kalau-kalau aku tidak menemukan sifat di dalam diriku yang membuat Allah cinta kepadaku.

Kemudian aku mencoba untuk membuka lembaran amal apa saja yang pernah aku lakukan...

Namun, jangankan mendatangkan keoptimisan,
Telingaku memerah sendiri,
Keringat dingin mulai berkucuran...

Aku berusaha langsung melupakannya.

Aku malu dengan diriku sendiri.
Ternyata semuanya bercampur dengan kemalasan, kekurangan dan cacat.
Belum lagi perbuatan semata-mata itu dosa dan maksiat.

Ketika aku akan mengakhiri perenunganku,
tiba-tiba tanganku membalik mushaf Al-Qur'an yang berada di pangkuanku.

Saat itu mataku langsung tertuju kepada potongan ayat yang artinya,

"...SESUNGGUHNYA ALLAH MENCINTAI ORANG_ORANG YANG BERTAUBAT..." (QS. Al-Baqarah: 222)

Seolah-olah aku merasa kalau ayat itu diturunkan kepadaku saat itu untuk menghilangkan gundah di hatiku dan menimbulkan harapan kalau Allah juga cinta kepadaku.


Air mata haru tak bisa terbendung lagi...

Perasaan lembut menjalar dari hulu jantung sampai ke seluruh pori-pori tubuhku.

Hatiku bergumam, "ternyata aku juga dicintai Allah."

Aku sampai terisak menahan haru.
Aku pun mulai melantunkan kalimat istighfar.

Aku minta ampun kepada Allah yang tiada Tuhan selain Dia,
Yang Maha Hidup dan Maha Mengatur,
dan aku bertaubat kepada-Nya.

Aku betul-betul berharap,
meskipun aku jauh dari empat kriteria sebelumnya,
jangan sampai aku juga tersingkir dari kelompok orang yang terakhir ini.

"Orang yang bertaubat dari segala dosanya."

Ya Allah,
jadikanlah kami termasuk orang yang bertaubat dan jadikanlah kami termasuk orang yang mensucikan diri...

*diambil dari postingan Zulfi Akmal, Al-Azhar - Kairo.

Hijab Syar'i


Alhamdulillah, hijab syar'i kini mulai semarak dan mulai menjadi trend.
Ini adalah kebaikan dan kemuliaan.

Tapi setan enggak mau ketinggalan.
Dia terus berusaha tetap menyesatkan walau hijab sudah syar'i.

Setan menumbuhkan semangat di hati para muslimah untuk mengoleksi hijab syar'i dengan berbagai mode.
Serta membuatnya lupa dengan semangat memperbaiki akhlaq.

Setan menjeratnya dengan senang menumpuk-numpuk pakaian dan mengurangi sedekahnya.

Setan terus menumbuhkan semangatnya untuk tampil cantik dan syar'i namun melupakan diri untuk menambah ilmu agama.

Belum puas dengan itu,
setan menyemangati agar para wanita yang berhijab syar'i untuk hadir di majelis-majelis ta'lim dengan tujuan memamerkan koleksi hijab syar'i miliknya.

Setan pun semakin senang karena wanita muslimah sudah melupakan ilmu tawadhu dan kesederhanaan.
Hijabnya memang syar'i tapi mahalnya enggak ketulungan.

Wanita muslimah pun menabung sedikit-sedikit untuk beli hijab syar'i dan melupakan tabungan ke tanah suci.
Lupa menabung untuk qurban,
bahkan mudah menabung untuk beli baju daripada keluar untuk sedekah.

Ketika hijab syar'i yang baru dibelinya ada sedikit cacatnya, pikirannya resah penuh kecewa.

Setan telah membuatnya lupa dengan cacat sholatnya, cacat sedekahnya dan cacatnya baca Al-Qur'an.

Jika hijab syar'i yang dimilikinya memiliki keindahan sempurna, ia tidak siap menyedekahkannya.
Hatinya telah menikah dengan dunia dan bercerai dari Rabb-Nya.

Jika sudah demikian, masihkah punya keinginan untuk mengoleksinya?

Milikilah hijab syar'i seperlunya.
Sederhanakanlah penampilan.
Belilah yang harganya tidak terlalu jauh dengan harga kain kaffan.

Saat-saat begini, setan masih ingat satu hal.
Dia membuat wanita muslimah yang belum berhijab syar'i bergumam,
"Mendingan gue, walaupun belum berhijab syar'i yang penting kan hati gue."

Jawaban setan adalah,
"iyeee, hati elu sama aje! Maksudnye, sama ame gue..."
(baca: ngerasa punya hati suci dan bersih. Itu namanya ujub bin takabur.)
"Itu kan dosa pertama gue, sist... Hahaha. Sukses deh gue!"

*diambil dari postingan Awan Abdullah---Rumah Ta'aruf Taman Surga.

Fix Remedial!

"Ibu, ngawas di ruangan ini lagi, Bu?" tanya seorang siswa ketika aku akan masuk ke ruang kelas.

"Emang kenapa?" aku balik mengajukan pertanyaan.

"Ya gapapa sih, Bu." jawab singkat anak itu, dilanjutkan dengan suara yang dipelankan, "Jadi susah aja nyonteknya!"

Nggak lama setelah aku ada di tengah-tengah ruangan, suasana kelas pun jadi ruaammmeeee!
Keliatan jelas kekecewaan mereka pas ngeliat pengawas di hadapannya.

Secara jamaah dan saling saut-sautan pun terdengar ucapan,
"YAH, UDAH, INI SIH FIX REMEDIAL!"
"YAUDAH SIH REMEDIAL RAME-RAME INI..."

Yap.
Kalimat semacam itu pun meramaikan suasana kelas!

Di dalam hati sebenernya sih aku mau ketawa ngakak :p
Puas juga rasanya...
Seenggaknya bisa menaklukan mereka (untuk sementara ini, semoga juga berhasil untuk kedepannya).

Di kelas itu emang terkenal anak-anak yang super duper aktifnya!
Dari mulai aktif mulutnya yang berkicau mancing respon temen-temnnya yang lain,
aktif kakinya---jalan-jalan seolah pantatnya mendidih kalo kelamaan duduk di bangku,
aktif tangannya---main handphone ataupun sekedar asik sendiri corat-coret di bukunya,
dan berbagai macam bentuk keaktifan lainnya.

Guru-guru lain pun cuma bisa senyum kecut kalo kebagian ngawas di kelas itu.
Ada yang nolak secara halus, "Saya udah pernah ngawas di ruangan itu, mau ngerasain ngawas di ruangan lain."
Ada juga yang terang-terangan nolak, "Enggak, saya enggak mau ah ngawas di ruangan itu!"

Lucunya,
selama pekan UTS, aku kedapetan tiga kali ngawas di ruangan itu.
Bayangin, tiga kali!

Ya jelas aja aku semakin hafal sama makhluk-makhluk (baca: siswa) di dalemnya.
Siapa-siapa aja yang punya contekkan,
Siapa-siapa aja yang bisik-bisik,
Siapa-siapa aja yang bisanya cuma bengong-bengong mandangin soal UTSnya (giliran waktu udah mepet, baru deh sibuk celingak-celinguk).

Sejujurnya, sedih sih ngeliat mereka kayak gitu...
Bisa diitung pake jari berapa orang yang serius ngerjain UTS.
Untuk anak-anak yang punya contekkan, biasanya aku deketin dan duduk disebelahnya. Alhasil, dia cuma bisa bengong-bengong doang tanpa ngerjain soal (yaiyalah, dia kan enggak bisa ngisi kalo enggak buka contekkan). Kasarnya, dia cuma bisa berharap aku segera pergi dari sampingnya.

Tuh, gimana enggak sedih sih kalo kelakuan yang katanya "pelajar" tapi kayak begitu?

Parahnya, enggak cuma satu atau dua siswa yang kayak begitu.
Giliran aku deketin siswa yang duduk di paling belakang, kesempatan buka contekkan dimanfaatin sama siswa yang duduknya di pojok paling depan.

Kayaknya dua sampai empat orang siswa perlu dijaga sama satu orang pengawas deh! Tapi kan enggak mungkin... Jumlah pengawas enggak sebanyak jumlah siswa. Bahkan setengahnya pun enggak!

Aku rasa, 'tugas' guru dan orang tua sekarang ini emang enggak mudah.

Semoga dari berbagai pihak bisa saling bekerjasama memperbaiki mental dan akhlak anak bangsa...
Semoga Sang Maha CINTA bersedia memberi kemudahan dan kelancaran jalan-Nya...

Sabtu, 11 Oktober 2014

MID TEST!


Midterm Test!

Dimulai dari tanggal 8 Oktober kemarin, sekolah mulai masuk ke pekan UTS (Ujian Tengah Semester) dan aku ditugaskan sebagai guru pengawas.

Gimana sih rasanya ngawas murid-murid yang lagi ulangan?



Hem,
Sebenernya bukan hal yang baru sih.
Pas masa-masanya aku masih proses penyelesaian skripsi juga pernah beberapa kali diminta sama Dosen Pembimbingku untuk gantiin beliau ngawas ujian, selagi temen-temenku yang lain bimbingan skripsi (re: bimbingan skripsinya gantian).

Kalo ditanya gimana rasanya?

Satu kata sih... "LUCU!"

Lucu? Kenapa?

Karena ternyata kalo di posisi sebagai guru, itu keliatan jelas SIAPA-SIAPA AJA YANG NYONTEK! *ngakak guling-guling*

Berarti dulu waktu aku nyontek, juga keliatan banget dong yah sama gurunya? #eeaaa Malu eeuuyyy!

Berarti waktu itu gurunya cuma pura-pura enggak liat kali ya?
Soalnya kemarin aku sempet pura-pura enggak liat gitu karena males negurnya. *ups

Berbagai macam cara nyontek udah aku liat.
Dari mulai bisik-bisik nanya temennya, buka buku di kolong meja, oper-operan kertas, sampe buka handphone diem-diem.

Berbagai macam cara menegur pun udah aku coba.
Dari mulai aku duduk di samping si murid yang punya contekkan, aku tanya contekkannya punya siapa, siapa yang bikin, bla bla bla...
Aku panggil namanya dan aku kasih peringatan,
Aku bentak bahkan sampe aku catet namanya pun udah.

Dan, berbagai macam reaksi murid-muridnya pun udah aku hadepin.
Dari mulai yang langsung diem sekalinya ditegur, mulai nyontek lagi pas aku lengah, tetep cuek nyontek walaupun aku pelototin, bales marah waktu aku tegur, sampe yang terang-terangan nunjukkin sikap ngelawan dengan nyelonong keluar kelas sambil cemberut.

Ckckckckck!

Macem-macem yah tingkah remaja jaman sekarang
*eh
Apa dari jamannya aku sekolah juga ada yang bertingkah kayak gitu ya?
Keterlaluan deh!
Aku sih dulu siswa yang baik ya, enggak kayak gitu. *tsailaahhh
Pada percaya emang? :p

Tragedi *tsah, tragedi(?)* contek-mencontek bikin aku makin tau karakteristik beberapa murid. Jadi bantu ngehafal nama-nama murid juga sih...

Ada yang ngira aku adalah mahasiswa PPL. Dia kekeuh manggil aku dengan sebutan "kakak", enggak mau manggil "ibu".
Ada yang terang-terangan ngelawan waktu aku marah. Dia bilang dengan cueknya, "Ibunya galak banget sih. Masih muda jangan galak-galak, Bu.
Ada juga yang dengan santainya ngeledekkin aku pas aku mau pulang tapi pintu gerbang sekolah dikunci karena satpamnya lagi sholat jumat. Dia pasang ekspresi puas sambil bilang, "Pintunya dikunci, Bu. Makanya ibu jangan jutek-jutek". Yap. Dia adalah murid yang kepergok sama aku nyontek di kelas pas lagi UTS.

Duh!
Macem-macem deh pokoknya.

Anehnya,
Setiap kali pulang dari sekolah, aku selalu ingin cepet-cepet sampe di rumah dan peluk cium Mama.
Ngeliat kelakuan murid-murid di sekolah yang 1001 macemnya, bikin aku bertanya-tanya sendiri,
'Sikap ataupun ucapku selama ini nyakitin dan ngecewain Mama enggak ya?'

Sejujurnya,
di posisi Guru agak susah memang.
Apalagi kalo berhadapan dengan anak remaja.

Mau bersikap bersahabat, tapi enggak jarang malah ada yang lupa batas antara murid dan guru (re: jadi bersikap seenaknya).
Mau bersikap strength, tapi kesulitan untuk mendekat dan bertukar pikiran dengan mereka (re: murid-murid di usia remaja).

Di sinilah dituntut untuk bersikap tegas sesuai porsinya.
Jangan terlalu dekat, juga jangan kelewat jauh menjaga jarak.

Dan kalian tau?
Itu enggak mudah.

Tapi gimana pun, rasanya jadi guru itu seru!
Amanah yang diemban emang enggak main-main, tapi insyaAllah ridho-Nya juga terjamin!

"Teaching is the one profession that creates all other professions."
-Unknown-

Hijrah Menuju Berkah

Secara etimologi kata hijrah berasal dari bahasa Arab yang berarti memutuskan hubungan, pindah, dan meninggalkan suatu tempat pindah kepada yang lain. (Habbudin, 2011)



Ya, begitulah.
Aku juga hijrah, dari kantor ke sekolah. Aih!

Aku jadi inget waktu salah seorang rekan kerja di kantor yang sebelumnya itu nanya,
"Kalo guru tuh gajinya lebih gede ya daripada di sini?"
Aku pun cuma ketawa.

Waktu aku di-interview sama Kepala Sekolah dan aku cerita kalo aku sempet kerja sebagai Staf Admin di sebuah kantor, Kepala Sekolah senyum dan bilang,
"Kamu udah tau kan gaji di sini berapa? Artinya, kamu akan kehilangan 50% dari pendapatan kamu sebelumnya. Apa kamu siap?"

Kalo kalian jadi aku, gimana?
Ya secara kan aku masih muda ya! *tsailaaahhh
Masih ada dong keinginan untuk shopping ini-itu, kulineran sama temen kesana-kemari dan sebagainya?

Akan ragu enggak buat jawab, "iya saya siap"?

Bahkan, Kepala Sekolah lanjut bilang,
"Rumah kamu di Tebet, ke sini naik motor. Uang bensinnya gimana? Belum lagi katanya harga BBM akan naik. Bisa jadi harga lipstik pun akan naik."
Begitu Kepala Sekolah meledekku dan kami pun ketawa.

"Insya Allah, saya siap!"
Pada akhirnya, satu kalimat itu terlontar dari mulutku dan menandakan komitmenku secara enggak langsung kepada sekolah itu.

Di hari pertama masuk dan bertemu dengan guru-guru lain, beberapa hal yang aku inget sampe sekarang adalah,
"Di sini emang gajinya kecil, tapi insya Allah berkah."
"Di sini kekeluargaan banget guru-gurunya."

Alhamdulillah wa syukurillah...

Di hari pertama aku masuk (saat itu Hari Rabu),
Langsung ketemu sama pendamping dari Dinas yang mau nilai Implementasi BK dalam Kurikulum 2013.
WAW!!!!
Langsung ikut rapat pergantian Kepala Sekolah baru
(otomatis semua guru kumpul dan jadi bisa kenalan sama semuanya sekaligus).

Di hari kedua aku masuk (Hari Kamis),
Aku sibuk obrak-abrik ruang BK demi kenyamanan kerja aku sendiri nantinya. *tsaahhh!
Sekolah pulang cepet karena besoknya libur terkait puasa Arafah.

Di hari ketiga aku masuk (Hari Senin),
Semua guru kumpul untuk makan-makan dan siswa-siswa lomba masak
(terkait peringatan Idul Adha).
MAKAN BESAR dan bersilaturahmi sekaligus sama guru-guru SMP dan SMK.
*ternyata, di sekolah ini biasa melakukan kumpul-kumpul (semua guru SMP, SMK dan SMA) dalam perayaan-perayaan besar
(re: Idul Adha, 17 Agustus, Idul Fitri, dsb)*

Di hari keempat aku masuk (Hari Selasa),
Sekolah pulang cepat (lagi) karena murid-murid cuma ngambil nomor untuk Mid Semester esok harinya.

Subhanallah...
Baru empat hari jadi guru pun aku udah ngerasain banget nikmat-Nya.
Berangkat pagi-pagi dengan udara sejuk dan jalanan Jakarta belum macet.
Sore hari udah di rumah (udah bisa santai-santai sambil nonton FTV *ups).
Hampir setiap hari adaaa ajaaa makanan dari sekolah yang aku bawa pulang. Insya Allah berkah...
Ngerasain kekeluargaan diantara guru-guru dan staff di sekolah itu. (Tiap kali dikasih kesempatan oleh-Nya untuk ngerasain indahnya kekeluargaan itu, aku enggak berhenti ucap syukur penuh haru. Indahnya ukhuwah islamiyah itu...)

Tapi, tetep sih, yang namanya kehidupan enggak akan lurus-lurus aja.

Aku juga ngerasain jadi 'junior' (guru baru) yang disuruh-suruh (eh, maksudnya "dimintain tolong") terus sama (guru-guru) senior!
Dari mulai bantu-bantu guru piket, inval kelas, pasang karpet ruang BK dan ruang UKS, bolak-balik ambil berkas di TU, ngukur tinggi badan dan berat badan siswa kelas X, gantiin guru untuk ngawas Mid Semester, ngisi materi di acara LDKS kelas X, dan 'tugas-tugas manis' lainnya.

Bahkan tanggal 9 Oktober kemarin, aku baru aja selesai menyulap ruang BK jadi lebih kece dan oke!

Aku udah bawa beberapa kardus dari rumah, bawa kemoceng, kertas kado, lem, gunting, penggaris dan segala perlengkapan perang lainnya!

Aku keluarin semua isi lemari yang penuh debu.
Aku tempelin kertas kado dan kertas HVS bekas di setiap sisi lemari.
Aku sortir file-file lama berdasarkan judul dan tahunnya.
Aku masukkin ke kardus segala jenis file yang sekiranya udah nggak diperluin.
Aku usir semua debu yang nempel dan aku sapu ruangannya.

Bahkan, aku pasang sendiri karpet di ruangan itu.
Dari mulai angkat-angkat dan geser-geser meja, sampai gunting-gunting karpet biar ukurannya sesuai dengan ruangan.

Pas!
Semuanya selesai. Rapih. Puas.
Alhamdulillah. AllahuAkbar!

Aku masih inget tampang cengok Bapak Pesuruh Sekolah waktu aku minta tolong beliau angkutin barang-barang yang udah enggak kepake dan tolong bantu untuk dibuang.
Beliau berdiri di depan ruang BK dan bilang,
"Ibu ngerjain semua ini sendirian?"

"Iya".

"Yah Bu, maaf ya saya belum bisa bantuin apa-apa. Tadi lagi ada urusan dulu Bu." begitu katanya, dengan ekspresi lucu seolah penuh rasa bersalah.

"Enggak apa-apa kok, Pak. Saya minta tolong angkutin itu aja, Pak. Tolong bantu buang ya!" jawabku.

Masih terasa bahagianya kala itu.
Bahagia karena satu tugas telah berhasil aku selesaikan.
Bahagia karena bisa bebas mendekorasi ruangan sesuka hati.

Hem, kalo lagi ngerjain banyak hal kayak gitu, boleh ngeluh enggak sih? *ups!

Aku inget kata Papaku,
"Apa pun yang masih bisa kita kerjain, walaupun itu seharusnya bukan kerjaan kita, ya kerjain aja! Toh, kita jadi bisa tau kan tugas-tugas lain yang (mungkin) selama ini belum pernah kita lakuin."

Aku juga inget kalimat dari salah satu buku yang pernah aku baca,
"Jangan menyibukkan diri untuk mengeluh, anggaplah segala kesempatan yang ada sebagai ladang amal untuk kita."

Yap!
Gimana bisa ngeluh sih kalo Dia aja enggak pernah bosen ngasih nikmat-Nya selama aku hidup di bumi-Nya?
Gimana bisa ngeluh kalo Dia aja enggak pernah berhenti nunjukkin kasih sayang-Nya walaupun aku masih seringkali lalai beribadah kepada-Nya?
Gimana bisa ngeluh kalo Dia aja enggak pernah ninggalin aku meskipun aku seringkali melupakan-Nya demi kepetingan dunia semata?

Masya Allah...
Sungguh enggak ada alasan sekecil apa pun untuk enggak bersyukur kepada-Nya.

Wahai Sang Maha CINTA,
Pembuat skenario Yang Maha Sempurna,
Semoga Engkau tidak membiarkanku terjebak dalam tipu daya dunia.
Semoga Engkau tak pernah lelah membimbingku meraih berkah dalam setiap langkah.

JODOH YANG KUMAU (?)



Bicara hal mencari jodoh kadang lucu juga.

Maunya banyak, tapi enggak ngaca diri sendiri seperti apa.
Alhasil enggak nikah-nikah.

Ada sih yang sholeh, ganteng, pinter, kaya,
cuma ya apa mau sama kamu, toh?

Kalau pun dia mau sama kamu,
lah apa enggak kasian dia dapet kamu?
#JLEB!

Saranku nih, "deskripsikan kata 'cukup'mu agar datang kata syukurmu."

Apa yang terpenting buat kamu?
Sering cewek bilang,
"aku mau yang kayak 'dia', lebih dalam segala hal.."

Yakin lo?
Emang udah pernah audit?
Apa itu cashingnya doang?

"Rumput tetangga kelihatan lebih hijau, padahal sintetis. Suami tetangga keliatan lebih macho, padahal itu satpamnya.."

Yang paling sering dengar,
"kenapa ya, cowok-cowok yang oke-oke kok sudah menikah?"
Karena dia dibentuk dengan waktu dan kejadian bersama istrinya, (mungkin) penuh air mata di dalam prosesnya.

Apa yang 'cantik' atau 'ganteng' di luar, belum tentu cantik atau ganteng pula di dalam.

Jika pun iya, itu pun karena hasil 'perjalanan', BUKAN SIAP SAJI.

Kalo orang Jawa bilang, "Tugut Tubitru".
Jangan percaya pernikahan itu enak.
Tapi percayalah pernikahan itu mendewasakanmu.

"Jodohmu ada pada dirimu, saat kamu menerima kekurangan pasanganmu dan kelebihannya menjadi alasan syukurmu."

*diambil dari Postingan Juragan @JayaYEA (Founder YukBisnis.com)

**dengan sedikit pemolesan kata.

Bermegah-megahan Dalam Harta

  

Bermegah-megahan dalam harta itu melalaikan karena ada masa setiap nikmat akan ditanyakan.

"Dunia ini celaka, karena setiap (amal) halal akan dihisab, sementara yang (amal) haram akan diadzab". (Ali bin Abu Thalib)

Lalu kita menyangka miskin berarti Allah murka, sedang gelimang harta adalah tanda Allah ridha.

Padahal Rasulullah mengkhawatirkan pada masa kita fitnah harta.
Layakkah apa yang dikhawatirkan Nabi menjadi puncak cita-cita?

Abdurrahman bin Auf menangis iri pada Mus'ab bin Umair yang wafat papah, sedang kita menangisi diri kenapa tak sampai sekaya Abdurrahman.

Jiwa-jiwa yang haus kekayaan dan hanya kilau dunia yang diharapkan.

Tersebab harta dia taat, tersebab ujian dia semangat.

Kasihan.


*diambil dari postingan Utadz Felix Siauw (re-establishment of Syariah-Khilafah)

WELCOME HOME!



"Welcome Home!"

Yap. Kalimat itu yang terlontar dari salah seorang temanku (re: rekan magang di masa kuliah dulu) pas aku ceritain kalo aku akan kembali ke dunia sekolah. Ini adalah capture-an obrolanku dengannya via WhatsApp.



Alhamdulillah.
Inikah waktu yang telah Allah siapkan untukku?
Telah tibakah waktu-Nya?

Aku kembali ke dunia sekolah!

Ya. Menjadi guru adalah salah satu dari sekian impianku.

Skenario kehidupan buatan-Mu emang enggak pernah terduga.
Semuanya begitu sempurna.
Allahu Akbar, aku enggak nyangka secepat ini mendapatkannya.

Segala puji dan syukur bagi-Mu, telah mengijinkanku kembali ke dunia pendidikan.

Tanggal 1 Oktober lalu adalah hari pertamaku jadi guru.
Ya. Pertama kali jadi guru (setelah menjadi seorang 'Sarjana Pendidikan')!

Adakah yang mau tau gimana rasanya?

Sejujurnya, aku agak kikuk.
Gimana enggak?
Aku jadi guru 'beneran'!

Ya. Aku seorang guru BENERAN!
(sebelumnya pernah ngerasain jadi guru magang----artinya, saat itu statusku masih jadi mahasiswa)

Dag Dig Dug Dag Dig Dug~
Degupan jantung rasanya cepet banget kala itu.
Aku kalap menyebut nama-Nya saat pertama kali memasuki gerbang sekolah di hari pertamaku.
Sebuah gedung sekolah tiga lantai dengan sebuah Masjid dan dua lapangan (lapangan basket dan lapangan futsal) dalam satu gerbang.

Kebayang? Sebuah bangunan sekolah yang luas!
Kebayang juga lah ya seberapa gugupnya aku kala itu.

Sebuah bangunan sekolah islam swasta di daerah Jakarta Barat.
Terdiri dari tiga unit dalam satu gerbang, yaitu tingkat SMP, SMK dan SMA.
Dan aku adalah seorang guru baru di tingkat SMA.

Aku masih ngerasa enggak percaya waktu diajak oleh seorang wakil kepala sekolah untuk berkenalan dengan guru-guru lain dan staf Tata Usaha.
Aku masih enggak percaya kalo statusku udah berubah menjadi seorang GURU!
Alhamdulillah wa syukurillah...

Oh iya, sebagai seorang Guru Bimbingan dan Konseling (re: Guru BK satu-satunya di sekolah itu), aku punya ruang kerja sendiri tentunya.
Aku diantar sama wakil kepala sekolah ke salah satu ruangan di lantai 2.
Sebuah ruangan sederhana bertuliskan "Ruang BP/BK SMA" di pintunya.

Pertama kali aku buka pintu itu, aku tersenyum.
"Inilah yang akan menjadi ruang kerjaku selanjutnya", batinku.

Bagi yang penasaran sama ruangannya, aku mau bantu kasih gambaran di sini.
(kurasa, teman-teman dari bidang Bimbingan dan Konseling akan lebih mengerti).

Sebuah ruangan sederhana,
dengan satu buah lemari, tiga buah kursi, satu buah meja kerja,
satu buah rak sepatu, satu buah sapu, satu buah kain pel,
satu buah vas bunga + bunga plastik di atas meja,
beberapa box file, satu box tissue, satu Al-Quran
dan beberapa ornamen penghias dinding.

Ya.
Tanpa ada bagan program BK atau bahkan sekedar feeling list.

Bagaimana isi lemarinya?
Lemari kayu sederhana yang terdiri dari enam bilik itu...

Bilik pertama terkunci. Aku enggak bisa buka. Kayaknya kuncinya ilang.
Bilik kedua bersih (dengan kertas HVS menghiasi setiap sisinya). Aku rasa cuma bilik ini yang digunakan sama guru BK sebelumnya.
Bilik ketiga dan bilik keempat isinya adalah tumpukkan file-file lama, dari mulai kumpulan Surat Perjanjian Siswa, kumpulan Kronologis Kasus sampai kumpulan Surat Pemanggilan Orang Tua. Dan kalian tau? File-file itu adalah file sekitar tahun 2006 - 2010. Lawas, bro!
Bilik kelima dan bilik keenam lebih random lagi! Isinya dari mulai soal-soal ulangan Bahasa Inggris, tiga box amplop yang udah berselimut debu, bola basket dan bola voli yang udah kempes, sampai sepatu dan sendal yang udah enggak jelas bentuknya!

Setelah selesai mengamati bilik-bilik lemari itu, aku cuma bisa bilang,
"AllahuKariim"...
Aku sadar tugas berat menanti di depan mata.
Cuma satu yang aku harapkan, semoga Allah enggak pernah ninggalin aku.
Kehadiran-Nya adalah sumber penyemangat yang enggak akan ada gantinya, menurutku.

Oh iya, ada beberapa pertanyaan yang muncul kala itu.
"Gimana mungkin guru BK yang sebelumnya bisa betah kerja di ruangan yang seperti itu?"
"Apa aja yang udah dilakukan sama beliau? Kenapa aku enggak nemuin hasil analisis assesmen ataupun satuan layanan BK di sana?"

Aku pun jadi kalap nyari informasi ke guru-guru lain tentang pelaksanaan BK di sekolah itu. Ternyata, guru BK yang sebelumnya adalah lulusan dari Universitas yang sama denganku. Beliau udah lima tahun di sekolah itu dan akhirnya memutuskan pindah ke sekolah swasta dekat rumahnya (di daerah Ciledug).

Hem, mungkin segala berkas instrumen BK dan kawan-kawannya dibawa sama beliau ke sekolah yang baru.
Artinya?
Ya. Aku harus memulai semuanya dari awal di sekolah itu.
Benar-benar dari awal!

Lagi dan lagi kusebut nama-Nya.
Aku berusaha mengingatkan diriku bahwa akan selalu ada kehadiran-Nya.
Semoga Dia enggak membiarkan aku menjadi putus asa.
Allahu Akbar!

Ada yang menanyakan,
"Menyesalkah aku bergabung di sekolah itu?"

Aku pun kembali bertanya,
"Apakah aku berhak untuk menyesal?"
"Bukankah menjadi guru adalah impianku?"
"Haruskan menyesal ketika Allah mengijinkanku meraih hal itu?"
"Adakah yang harus disesalkan dari skenario kehidupan-Nya Yang Maha Sempurna?"
"Tidakkah aku percaya bahwa rencana-Nya pasti jauh lebih indah dari yang kupunya?"
"Bukankah hanya Dia Yang Mengetahui segala yang terbaik untuk hamba-Nya?"

Terjawab sudah.
Sebagaimana aku tekankan pada diriku sendiri,

"Semua akan baik-baik saja selama kita percaya pada-Nya. Insya Allah..."

Terima kasih Engkau telah memberiku kesempatan mengabdi melalui sekolah itu.
Semoga aku tidak termasuk hamba-Mu yang menyia-nyiakan kesempatan dari-Mu.