Ketika aku sedang tenggelam dalam tumpukkan berkas-berkas rekapitulasi kehadiran siswa, Bapak Kepala Sekolah menghampiriku dan berkata,
"Bu, tolong ditangani anak ini. Namanya R*****."
Mataku pun langsung aktif mendeteksi keberadaan siswa itu---memperhatikan segala penjuru ruang guru karena saat itu tak terlihat ada siswa di samping Bapak Kepala Sekolah. Sesaat setelah itu, ada salah seorang siswa kelas XII yang masuk ke ruangan. Tapi yang aku tau, dia bernama R***, bukan R*****. Nah loh? Sama-sama dari huruf R sih namanya, tapi beda jumlah hurufnya. Yap! Serupa tapi tak sama.
**Ngomong-ngomong, maaf menyembunyikan nama. Demi menjaga nama baik siswa yang bersangkutan.
Awalnya, aku pikir Bapak Kepala Sekolah salah menyebutkan nama. Aku menghampiri R*** dan bertanya, "Ada apa, R***?"
Awalnya, aku pikir Bapak Kepala Sekolah salah menyebutkan nama. Aku menghampiri R*** dan bertanya, "Ada apa, R***?"
"Enggak, Bu. Cuma mau ngambil LKS." kemudian ngeloyor pergi keluar ruangan.
Aku pasang tampang cengok. Bingung.
'Ini yang dimaksud sama Bapak Kepala Sekolah tuh siapa ya?' batinku.
Aku pun keluar ruangan untuk memastikan. Siapa tau saja bisa menemukan sosok lain di sana. Ups. Sosok siswa lain maksudnya. Ternyata benar! Ada siswa berwajah oriental berdiri di depan pintu ruang guru. Ganteng! Eh. Hem, iya dia memang ganteng. Serius.
"Kamu namanya siapa?" tanyaku.
"R*****." jawabnya singkat dengan wajah terlihat kesal.
Nah, ini dia yang dimaksud sama Bapak Kepala Sekolah! "Ada masalah apa?" tanyaku lagi.
"Tau tuh! Tadi saya lagi nulis. !@#$%^&*()...." jawabnya panjang lebar nggak karuan dengan nada yang ditinggikan. Sejujurnya aku bingung. Nggak ngerti maksud penjelasannya. Sebelum siswa itu selesai bicara, Bapak Kepala Sekolah keluar dari ruang guru dan bilang,
"Ini Bu, tolong ditangani. Omongannya tidak sopan."
"Apaan sih, Pak? Orang saya lagi nulis..." jawab siswa itu membela diri, (tetap) dengan nada bicaranya yang terkesan nyolot.
"Hey, kamu tuh sekolah di sini bicaranya kok begitu! Panggil aja Bu orang tuanya!" tambah Bapak Kepala Sekolah, terlihat tidak mau kalah nada tingginya. Sempat terjadi adu mulut antara dua makhluk itu hingga akhirnya Bapak Kepala Sekolah bilang, "bawa aja Bu ke Ruang BK!"
Aku pun naik ke lantai dua menuju ruang BK, diikuti oleh siswa berwajah oriental itu di belakangku. Ketika merasa sudah dalam posisi duduk yang nyaman untuk ngobrol, aku pun membuka pembicaraan dengan kepo-in masalah antara siswa berwajah oriental itu dengan Bapak Kepala Sekolah.
Siswa berwajah oriental itu menceritakan bahwa awalnya dia mengeluarkan celetukan ringan di dalam kelas saat Bapak Kepala Sekolah bilang,
"Bapak tinggal dulu ya sebentar".
"Bapak tinggal dulu ya sebentar".
"Lama juga nggak apa-apa, Pak." kata siswa berwajah oriental itu, disambut oleh tawa teman-teman di kelasnya.
Yah, begitu lah! Nggak sedikit siswa yang memang suka nyeletuk-nyeletuk ringan disela-sela jam pelajaran. Aku pribadi sih menganggapnya wajar karena sepertinya itu adalah obat penawar kebosanan mereka setelah duduk berjam-jam di dalam kelas untuk belajar. Biasanya, dalam kondisi yang seperti itu, aku akan menanggapi santai, selama mereka tidak berlebihan.
Melalui cerita yang disampaikan oleh siswa berwajah oriental itu, (menurutku) celetukannya membuat Bapak Kepala Sekolah menoleh, memperhatikan dirinya. Malangnya, perhatian tersebut membuat Bapak Kepala Sekolah menyadari bahwa siswa berwajah oriental itu memakai gelang di tangannya. Padahal, peraturan sekolah menyatakan bahwa siswa laki-laki tidak diperbolehkan memakai gelang, kalung, cincin dan semacamnya.
Bapak Kepala Sekolah pun meminta siswa berwajah oriental itu menyerahkan gelangnya. Akan tetapi siswa berwajah oriental itu menolak karena mengaku gelang tersebut adalah pemberian mamanya. Ia hanya melepaskan gelang itu dan menaruh di kantong baju seragamnya sambil mengatakan,
"Iya Pak, saya nggak pake lagi, tapi jangan diambil Pak."
Ternyata jawaban siswa berwajah oriental itu tidak membuat Bapak Kepala Sekolah puas. Bapak Kepala Sekolah justru memaksa siswa berwajah oriental itu untuk menyerahkan gelangnya, dengan cara menarik-narik kantong baju seragamnya. Siswa berwajah oriental itu pun menjadi emosi dan akhirnya mengeluarkan gelang tersebut dari kantongnya.
"Tuh deh Pak, ambil aja!" kata siswa berwajah oriental itu menirukan kembali adegan dramatis di kelasnya. Terlihat sangat jelas kesan nyolot dari ucapannya. (Mungkin) Bapak Kepala Sekolah nggak terima dengan sikap siswa berwajah oriental itu, kemudian mengusirnya keluar kelas. Yap! Di sinilah kami berdua sekarang (baca: ruang BK).
Semula, siswa berwajah oriental itu masih berusaha menahan tangisnya. Tapi kalian tau? Pada akhirnya siswa berwajah oriental itu menangis sesenggukan sambil menceritakan kronologisnya sampai akhir. Emosinya terlihat jelas! Aku pun harus berusaha keras mencerna setiap kata yang diucapkannya disela-sela isak tangis siswa berwajah oriental itu.
"Saya nggak mau dipanggil orangtua, Bu! Saya malu! Mending saya nggak usah sekolah aja kalo harus dipanggil orang tua! Cuma gara-gara gelang doang Bu, saya harus dipanggil orang tua?" itu sebagian kecil kalimat yang ia ucapkan dan terekam jelas di memory-ku, termasuk ekspresinya saat berusaha mengatur irama nafas diantara nada unik isak tangisnya.
Ternyata jawaban siswa berwajah oriental itu tidak membuat Bapak Kepala Sekolah puas. Bapak Kepala Sekolah justru memaksa siswa berwajah oriental itu untuk menyerahkan gelangnya, dengan cara menarik-narik kantong baju seragamnya. Siswa berwajah oriental itu pun menjadi emosi dan akhirnya mengeluarkan gelang tersebut dari kantongnya.
"Tuh deh Pak, ambil aja!" kata siswa berwajah oriental itu menirukan kembali adegan dramatis di kelasnya. Terlihat sangat jelas kesan nyolot dari ucapannya. (Mungkin) Bapak Kepala Sekolah nggak terima dengan sikap siswa berwajah oriental itu, kemudian mengusirnya keluar kelas. Yap! Di sinilah kami berdua sekarang (baca: ruang BK).
Semula, siswa berwajah oriental itu masih berusaha menahan tangisnya. Tapi kalian tau? Pada akhirnya siswa berwajah oriental itu menangis sesenggukan sambil menceritakan kronologisnya sampai akhir. Emosinya terlihat jelas! Aku pun harus berusaha keras mencerna setiap kata yang diucapkannya disela-sela isak tangis siswa berwajah oriental itu.
"Saya nggak mau dipanggil orangtua, Bu! Saya malu! Mending saya nggak usah sekolah aja kalo harus dipanggil orang tua! Cuma gara-gara gelang doang Bu, saya harus dipanggil orang tua?" itu sebagian kecil kalimat yang ia ucapkan dan terekam jelas di memory-ku, termasuk ekspresinya saat berusaha mengatur irama nafas diantara nada unik isak tangisnya.
Oke. Setelah merekam kronologis ceritanya dalam otak, waktunya aku untuk kepo-in tentang siswa berwajah oriental itu. Heh. Bukan kepo-in yang aneh-aneh loh maksudnya...
Melalui hasil kepo, aku jadi tau bahwa siswa berwajah oriental yang ada di hadapanku adalah seorang pelatih karate di Brimob. Wow! Seorang pelatih karate yang cute dengan wajah orientalnya, menangis. Yap! M-E-N-A-N-G-I-S.
Iya. Siswa berwajah oriental itu sudah berlatih karate sejak ia kelas 2 SD. Nggak heran kalo di usianya yang sekarang, ia sudah menjadi seorang pelatih. Melalui aktivitasnya itu pula, ia jadi bisa punya penghasilan sendiri. Cool!
Usaha kepo itu pun memberiku informasi lain. Siswa berwajah oriental itu adalah anak satu-satunya dan orang tuanya telah bercerai. Hingga saat ini, ia hanya tinggal berdua dengan mamanya.
Hem, siswa berwajah oriental itu agak menutup diri ketika aku menyinggung tentang kehidupan pribadinya. Bahkan, ia terlihat kembali berusaha menahan tangisnya.
"Kamu kayaknya emosional banget kalo bahas tentang mama. Sayang banget ya sama mama?" tanyaku sok lugu. Tangis siswa berwajah oriental itu pun pecah (lagi). Iya, L-A-G-I! Bahkan semakin jelas terlihat ia berusaha untuk mengatur nafasnya agar tetap stabil.
Ketika aku bertanya, "Mama kerja?"
"Iya, Bu. Guru di SLB (baca: Sekolah Luar Biasa)."
Subhanallah...
"Wow! Pasti mama itu orang yang luar biasa sabar ya? Beliau mengabdikan diri di sebuah Sekolah Luar Biasa." kataku, disambut oleh senyum yang ia selipkan diantara tangisannya. Senyuman itu seolah mewakili perasaan cintanya terhadap Sang Mama.
Ya Allah...
Itukah yang membuatnya sangat alergi dengan pemanggilan orang tua ke sekolah?
Karena tak ingin melukai perasaan Sang Mama, itukah alasannya?
Itukah yang membuatnya menangis bagaikan bendungan yang pecah?
AllahuKareem...
Tak terbayangkan bagaimana rasanya hanya tinggal berdua dengan Mama. Menjadi anak satu-satunya dan korban dari perceraian orang tua.
Keadaan seakan memaksanya menjadi pribadi yang kuat---seorang anak lelaki yang menjadi pelindung bagi mamanya. Bolehkah ia menangis?
Kalau pun boleh, kurasa ia tidak memberikan toleransi bagi dirinya sendiri untuk menangis di depan mamanya.
Ya Allah...
Bimbinglah ia agar terus berada dalam jalan lurus-Mu.
Berikanlah perlindungan-Mu Yang Maha Sempurna untuk ia dan mamanya.
Kuatkan mereka...
Limpahkan keberkahan-Mu untuk mereka...
Setelah aku memberinya waktu untuk menenangkan diri, aku mengajaknya diskusi untuk mencari titik kesalahannya dari drama yang dilakoninya dengan Bapak Kepala Sekolah. Kemudian kami mencoba menarik kesimpulan tentang apa yang harus dilakukan berikutnya.
"Oke, kamu boleh kembali ke kelas. Cuci muka dulu ya!" kataku, disambut dengan wajahnya yang merona menahan malu, kemudian pamit meninggalkan ruang BK.
Sesaat setelah itu, aku refleks tersenyum.
Ada perasaan aneh yang menggelayut manja dibalik sebuah senyum.
Semacam rasa bahagia, lega, atau bangga. Entahlah! Ada suatu rasa, saat orang lain bersikap sangat terbuka---mempercayaiku untuk mendengarkan ceritanya, bahkan mengijinkanku untuk melihat air matanya.
AllahuAkbar...
Aku jatuh cinta.
Jatuh cinta pada seknario-Mu Yang Maha Sempurna.
Melalui hasil kepo, aku jadi tau bahwa siswa berwajah oriental yang ada di hadapanku adalah seorang pelatih karate di Brimob. Wow! Seorang pelatih karate yang cute dengan wajah orientalnya, menangis. Yap! M-E-N-A-N-G-I-S.
Iya. Siswa berwajah oriental itu sudah berlatih karate sejak ia kelas 2 SD. Nggak heran kalo di usianya yang sekarang, ia sudah menjadi seorang pelatih. Melalui aktivitasnya itu pula, ia jadi bisa punya penghasilan sendiri. Cool!
Usaha kepo itu pun memberiku informasi lain. Siswa berwajah oriental itu adalah anak satu-satunya dan orang tuanya telah bercerai. Hingga saat ini, ia hanya tinggal berdua dengan mamanya.
Hem, siswa berwajah oriental itu agak menutup diri ketika aku menyinggung tentang kehidupan pribadinya. Bahkan, ia terlihat kembali berusaha menahan tangisnya.
"Kamu kayaknya emosional banget kalo bahas tentang mama. Sayang banget ya sama mama?" tanyaku sok lugu. Tangis siswa berwajah oriental itu pun pecah (lagi). Iya, L-A-G-I! Bahkan semakin jelas terlihat ia berusaha untuk mengatur nafasnya agar tetap stabil.
Ketika aku bertanya, "Mama kerja?"
"Iya, Bu. Guru di SLB (baca: Sekolah Luar Biasa)."
Subhanallah...
"Wow! Pasti mama itu orang yang luar biasa sabar ya? Beliau mengabdikan diri di sebuah Sekolah Luar Biasa." kataku, disambut oleh senyum yang ia selipkan diantara tangisannya. Senyuman itu seolah mewakili perasaan cintanya terhadap Sang Mama.
Ya Allah...
Itukah yang membuatnya sangat alergi dengan pemanggilan orang tua ke sekolah?
Karena tak ingin melukai perasaan Sang Mama, itukah alasannya?
Itukah yang membuatnya menangis bagaikan bendungan yang pecah?
AllahuKareem...
Tak terbayangkan bagaimana rasanya hanya tinggal berdua dengan Mama. Menjadi anak satu-satunya dan korban dari perceraian orang tua.
Keadaan seakan memaksanya menjadi pribadi yang kuat---seorang anak lelaki yang menjadi pelindung bagi mamanya. Bolehkah ia menangis?
Kalau pun boleh, kurasa ia tidak memberikan toleransi bagi dirinya sendiri untuk menangis di depan mamanya.
Ya Allah...
Bimbinglah ia agar terus berada dalam jalan lurus-Mu.
Berikanlah perlindungan-Mu Yang Maha Sempurna untuk ia dan mamanya.
Kuatkan mereka...
Limpahkan keberkahan-Mu untuk mereka...
Setelah aku memberinya waktu untuk menenangkan diri, aku mengajaknya diskusi untuk mencari titik kesalahannya dari drama yang dilakoninya dengan Bapak Kepala Sekolah. Kemudian kami mencoba menarik kesimpulan tentang apa yang harus dilakukan berikutnya.
"Oke, kamu boleh kembali ke kelas. Cuci muka dulu ya!" kataku, disambut dengan wajahnya yang merona menahan malu, kemudian pamit meninggalkan ruang BK.
Sesaat setelah itu, aku refleks tersenyum.
Ada perasaan aneh yang menggelayut manja dibalik sebuah senyum.
Semacam rasa bahagia, lega, atau bangga. Entahlah! Ada suatu rasa, saat orang lain bersikap sangat terbuka---mempercayaiku untuk mendengarkan ceritanya, bahkan mengijinkanku untuk melihat air matanya.
AllahuAkbar...
Aku jatuh cinta.
Jatuh cinta pada seknario-Mu Yang Maha Sempurna.